Peneliti Pussainsa Lapan Emanuel Sungging Mumpuni mengatakan kolaborasi Lapan dan NASA ini, bukan ekspedisi perdana peneliti Amerika di Indonesia. Dia menjelaskan peneliti Amerika sudah melakukan ekspedisi pengamatan dan penelitian GMT sejak awal abad ke-20. Tepatnya pada 1901, 1926, dan 1929 di kawasan Sumatera Utara.
Dia menuturkan ada beberapa unsur GMT tahun ini begitu menarik. Di antaranya adalah lintasan GMT melalui 12 provinsi di Indonesia. Baginya sangat jarang GMT itu melalui daratan yang begitu luas. Bahkan ada kalanya GMT itu hanya terjadi di lautan.
Sungging menjelaskan selain di Maba, Halmahera Timur, tim peneliti Lapan juga diterjunkan ke Ternate. Di lokasi ini nantinya tim Lapan akan melakukan dua penelitian. Yaitu penelitian tentang efek lensa gravitasi melalui pengamatan gerhana dan gangguan geomagnet terkait pengaruh gerhana.
Peneliti NASA Nelson Leslie Reginald mewakili rekannya menyampaikan rencana penelitian mereka di Indonesia. Dia menjelaskan di antara permasalahan yang ingin mereka pecahkan dengan pengamatan GMT di Indonesia adalah temperatur dan elektron matahari.
Pada saat puncak GMT terjadi, bakal ada sinar yang terpencar-pencar di luar lingkaran hitam gerhana. Sinar yang terpencar-pencar inilah yang disebut dengan korona. Sinar yang terpencar-pencar di korona itu merupakan pantulan cahaya fotosfer yang dipantulkan oleh elektron bebas di korona matahari. ’’Kami akan meneliti yang lebih cerah itu K-corona atau F-corona,’’ jelasnya.
Nelson mengatakan dia sudah terlibat dalam beberapa kali di tim pemburu GMT NASA. Di antaranya pada 2001 lalu di Zambia. Kemudian dia juga pernah mengamati gerhana di Saudi (2002), Libya (2004), dan Cina (2008). ’’Saya sangat antusias menyambut GMT di Indonesia ini,’’ katanya.(wan)
Laporan: JPG
Editor: Fopin A Sinaga