(RIAUPOS.CO) -- MENTERI Agama (Menag) Fachrul Razi kembali mengeluarkan peraturan yang memicu polemik. Kali ini adalah kebijakan majelis taklim harus daftar ke Kemenag. Setiap tahun majelis taklim juga diminta untuk melaporkan kegiatannya.
Kebijakan yang mengharuskan majelis terdaftar di Kantor Kemenag kabupaten atau kota itu tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) 29/2019 tentang Majelis Taklim. Peraturan yang diteken pada 13 November 2019 itu menggunakan kata majelis taklim harus mendaftar. Bukan wajib mendaftar.
Karena menggunakan kata harus, maka tidak ada ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mau mendaftar. Ini dipertegas penjelasan dari Direktur Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Kemenag Juraidi.
Dia menegaskan bahwa PMA itu tidak mewajibkan majelis taklim untuk mendaftar. “Dalam pasal 6, kita gunakan istilah harus, bukan wajib. Harus sifatnya lebih ke administratif. Kalau wajib berdampak sanksi,” kata Juraidi di Jakarta, Sabtgu (30/11).
Dia menjelaskan dengan terdaftarnya sebuah majelis taklim, maka akan memudahkan Kemenag untuk melakukan pembinaan. Juraidi menjelaskan banyak pembinaan yang bisa dilakukan Kemenag untuk majelis taklim. Misalnya workshop dan dialog tentang manajemen majelis taklim.
Kemudian pembinaan soal materi dakwah, penguatan organisasi, peningkatan kompetensi pengurus, dan pemberdayaan jamaah. “Termasuk juga pemberian bantuan pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. PMA ini bisa dijadikan dasar atau payung hukum,” jelasnya.
Juraidi menuturkan, PMA itu bisa jadi panduan saat membentuk majelis taklim. Misalnya ada ketentuan soal rukun sebuah majelis taklim untuk didaftarkan ke Kemenag. Salah satu rukun majelis taklim adalah jamaah.
Dalam regulasi itu diatur jumlahnya minimal 15 orang. Tujuan ketentuan ini supaya majelis taklim yang dibentuk itu benar-benar ada jamaahnya. Selain soal jamaah, rukun majelis taklim lainnya adalah ustaz, pengurus, sarana tempat atau domisili, dan materi.
Mantan Dekan Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Arief Subhan mengatakan, PMA tersebut isinya terlalu administrasi yakni soal pendaftaran dan peluang mendapatkan pendanaan. Namun dia kurang melihat adanya upaya Kemenag untuk meningkatkan mutu majelis taklim.
“Padahal cantolan aturan ini adalah UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional, red),” jelasnya.
Dia mengatakan di UU Sisdiknas, majelis taklim masuk kategori satuan pendidikan nonformal. Dia mengatakan, sebagai sebuah satuan pendidikan nonformal maka harus dijaga mutunya. Pada prinsipnya, Arief menuturkan, Kemenag sah saja mengatur majelis taklim karena masuk kategori satuan pendidikan nonformal. Namun menurutnya PMA ini menempatkan majelis taklim di bawah Ditjen Bimas Islam. Harusnya berada di bawah Ditjen Pendidikan Islam.
Kemudian jika ketentuan pendaftaran dilakukan terlalu kaku, malah merepotkan masyarakat. Padahal selama ini majelis taklim muncul swadaya dari masyarakat. Idealnya pengaturan soal majelis taklim tidak malah membuat gairah masyarakat menjalankan majelis taklim malah meredup.(wan/das)
Laporan JPG, Jakarta