BALIKPAPAN (RIAUPOS.CO) - Kelapa sawit menyumbang devisa ekspor Indonesia sekitar Rp318,78 triliun. Jumlah itu lebih besar dari sektor minyak dan gas bumi (migas). Sawit bahkan disebut sebagai industri yang menyelamatkan defisit neraca perdagangan kala itu.
Pun saat dolar perkasa, ekspor industri agribisnis inilah yang menjadi penyelamat nilai tukar rupiah. Namun ironisnya, di balik fakta kontribusi sawit bagi perekonomian bangsa, hoaks mengenai industri ini masih marak beredar di kalangan masyarakat.
Itulah yang diungkapkan Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesi (Gapki) Tofan Mahdi dalam workshop Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Balikpapan, Rabu (28/11).
Tofan menyoroti isu sustainable palm oil atau pengelolaan minyak sawit berkelanjutan yang selama ini dipersoalkan negara Eropa. Itu juga mendapat banyak sorotan dari media massa internasional maupun nasional. Misalnya saja isu deforestasi yang kerap dialamatkan pada industri sawit. Padahal produktivitas sawit jauh lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Data Oil World 2017, menyatakan kelapa sawit mampu menghasilkan minyak 4 ton per hektare, 10 kali lebih besar dibandingkan minyak kedelai Amerika yang hanya 0,4 ton per hektare.
‘’Siapa sebenarnya yang melakukan deforestasi? Lahan kedelai di Amerika Latin 140 juta hektare . Baru-baru ini terjadi kebakaran di California, namun kenapa media asing maupun LSM tidak ada yang mempersoalkan,’’ kata Tofan.
Tofan menilai, lahirnya isu negatif kelapa sawit tak lepas dari kepentingan politik dagang semata. Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia menjadi ancaman bagi negara produsen minyak nabati lainnya. Apalagi kini sawit telah dikembangkan menjadi sumber energi terbarukan.
“Negara yang menguasai energi adalah negara yang menguasai dunia. Ketika sawit menjadi sumber energi, maka Indonesia akan menjadi negara yang super power,’’ tegas Tofan.(aga)