JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Wacana untuk menunda pemilu 2024 didesak untuk segera dihentikan. Pasalnya, bukan hanya alasan yang tidak substantif, cara tersebut juga akan mengkhianati semangat reformasi 1998.
Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengingatkan, pembatasan masa jabatan merupakan salah satu cita-cita digolkan saat Reformasi 98. Karena kekuasaan tak terbatas yang berlangsung di era Orde Baru terbukti membawa efek negatif.
Untuk itu, ketentuan pembatasan jabatan dua periode yang sudah disepakati harus terus dipegang. Wanita yang akrab disapa Wiwik itu mengajak semua elit politik untuk berkomitmen dan konsisten dengan konstitusi.
"Perpanjangan masa jabatan bertentangan dengan spirit Reformasi," ujarnya dalam diskusi yang digelar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), kemarin (28/2).
Sebagaimana diketahui, usulan penundaan pemilu terus berkelindan. Apalagi, usulannya disampaikan partai politik pendukung pemerintah. Mulai dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Mereka beralasan, situasi ekonomi tidak cukup baik untuk menyokong pemilu. Di sisi lain, kepuasan pada Presiden Joko Widodo juga tinggi.
Wiwik mengingatkan, sebagus apapun presiden atau sebesar apapun kepuasan masyarakat, tidak bisa dijadikan dasar menambah jabatan. Dalam sistem demokrasi presidensial, jabatan sifatnya tetap. Sebaliknya, pembatasan merupakan instrumen untuk menjaga kekuasaan tidak jatuh pada rezim otoriter.
Lebih lanjut lagi, Wiwik menyebut kepentingan regenerasi kepemimpinan harus juga diperhatikan. Sehingga Demokrasi di Indonesia bisa tetap sehat. "Jadi poinnya itu. Tidak lu (kamu) lagi, lu (kamu) lagi," imbuhnya.
Terkait adanya indikasi elite khawatir program strategis tidak berjalan jika terjadi perubahan kepemimpinan, Wiwik menilai solusinya bukan dengan memperpanjang masa jabatan. Namun bisa diantisipasi dengan upaya lain yang lebih ramah terhadap demokrasi. Misalnya membuat haluan pembangunan nasional yang disepakati bersama.
Koordinator Komite Pemilih (TePI) Indonesia Jeirry Sumampow juga berharap langkah penundaan pemilu tidak diambil. Meski secara politik peluang itu terbuka karena kuatnya posisi partai pemerintah Parlemen, Jeirry memprediksi berisiko. "Ini akan repot, kacau dan gaduh," tegasnya.
Sebaiknya, lanjut dia, fokus politik dikembalikan lagi ke persiapan tahapan pemilu yang tantangannya tidak mudah. Apalagi, tahapan sudah akan dimulai bulan Juni tahun ini. Jeirry menambahkan, sebagian kelompok masyarakat yang menyetujui rencana tersebut harus melakukan refleksi. Sebab, Indonesia sudah memiliki catatan kelam atas munculnya rezim otoriter di era Orde Baru. Di mana asal mulanya adalah kekuasaan yang berlebihan.
"Makin lama kekuasaan diberikan, makin terbuka potensi diselewengkan," kata pria yang juga pengurus pusat Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) itu. Implikasi lainnya, kekuasaan yang makin kuat, maka akan sulit dikontrol.
Pihaknya juga mendesak agar Presiden Joko Widodo mengambil langkah tegas. Misalnya dengan mengeluarkan pernyataan Pemilu 2024 dilanjutkan. Sehingga isu penundaan tidak jadi bola liar.
"Kita harus ingatkan Pak Presiden buah Reformasi," tegasnya.
Kritik atas rencana penundaan juga dilontarkan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Dia menyoroti wacana perpanjangan masa bakti Presiden Jokowi yang dilontarkan sejumlah politikus. Menurut dia fenomena ini mengingatkannya pada masa Orde Baru. "Di mana para politikus dan para petinggi di negeri ini sudah mulai pula menyuarakan untuk memperpanjang periode kepemimpinan Pak Jokowi," kata Anwar yang juga Ketua PP Muhammadiyah itu.
Anwar menjelaskan di tengah aspirasi dari elite partai itu, Jokowi sendiri sudah menegaskan menolak rencana masa jabatan tiga periode atau tambahan masa jabatan tersebut. Pernyataan seperti itu, diantaranya disampaikan Jokowi saat bertemu dengan sejumlah pemipmin redaksi pada 15 September 2021 lalu.
Kepada para politisi dan petinggi bangsa Indonesia, Anwar mengetuk hati nurainya.
"Kepada para politisi yang masih memiliki moral dan hati nurani, janganlah kalian tega menjerumuskan Pak Jokowi kepada hal-hal yang tidak kita inginkan," jelasnya.
Dia berharap semua pihak memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk mengakhiri masa jabatannya dengan husnul khotimah.
"Karena memang sudah habis waktu bagi beliau untuk memimpin negeri ini sesuai dengan konstitusi," katanya. Anwar menegaskan amanah konstitusi Indonesia, masa bakti presiden hanya dua periode. Masing-masing periode berdurasi lima tahun saja.
Anwar menjelaskan kalaupun di masyarakat dukungan kepada Jokowi masih sangat besar, patut disyukuri. Dengan masih tingginya dukungan tersebut, Jokowi bakal turun dari jabatannya dengan terhormat. Biar masyarkat menanghis sedih karena akan berpisah dengan pemimpin yang dicintainya.
Sekjen MUI Amirsyah Tambunan meminta para penyelenggara negara, termasuk pimpinan partai agar berkomitmen menyelenggarakan pemilu sesuai amanah UUD 1945. "Termasuk dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Sehingga penyelenggaraan pemilu tepat pada waktunya untuk mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa," tuturnya.
Amirsyah menuturkan sebagai negara demokrasi, tidak elok terjadi tarik ulur penyelenggaraan pemilu. Fenomena ini menurut dia justru membuat masyarakat bisa terbelah. Antara pihak yang berkomitmen menjalankan pemilu sesuai waktunya dengan kelompok yang pro perpanjangan masa bakti Presiden.
Dia mengatakan di dalam Pasal 7 UUD 1945 dijelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. "Ini salah satu dasar pemilu yang membawa maslahat," katanya.
Menanggapi penolakan publik, Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, pimpinan MPR dan fraksi-fraksi di MPR secara formal belum pernah membicarakan soal wacana penundaan Pemilu 2024. Tentu pihaknya mengikuti wacana yg ada di ruang publik dan media, kemudian saling memberikan komentar di grup WhatsApp (WA) internal. "Kalau soal konten komentar, ya tentu sesuai dengan sikap partai masing-masing," terangnya kemarin.
Sebagai wakil ketua MPR dari Fraksi PPP, Arsul berpendapat bahwa meskipun penundaan pemilu bisa dilakukan dengan amandemen UUD NRI 1945 oleh MPR, namun secara moral konstitusi tidak pas dilakulan amandemen jika MPR tidak bertanya dulu kepada rakyat secara keseluruhan, apakah mereka setuju pemilu ditunda.
Menurut dia, jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk mengubah UUD NRI 1945, maka syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi. Namun, kesan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan oleh MPR tidak akan bisa dihindari.
Wakil Ketua Umum DPP PPP itu mengatakan, UUD NRI 1945 jelas menetapkan bahwa pemegang kedaulatan di Indonesia adalah rakyat. Menunda pemilu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para pengemban mandat yang akan melaksanakan kedaulatan tersebut untuk masa lima tahun yang akan datang.
Secara moral, menurut Arsul, sebagai pemegang mandat kedaulatan, MPR tidak elok mereduksi hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan. "Jika tanpa bertanya kepada rakyat itu sendiri yang memiliki kedaulatan," ungkapnya.
Dia menegaskan, tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945, tanpa diikuti dengan bertanya kepada rakyat, apakah mereka setuju hak konstitusionalnya untuk memilih pemegang mandat lima tahunan ditunda.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti ikut angkat bicara terkait wacana penundaan Pemilu 2024. Menurut dia, wacana itu memang belum direspon oleh masyarakat lapis bawah. Tetapi bukan berarti rakyat, sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik negara akan setuju.
Dia menyatakan, saat ini rakyat mungkin diam dan masih mempunyai batas kesabaran melihat tingkah pola elite politik. "Tapi kalau sudah kelewatan, bisa pecah revolusi sosial. Pemilik negara ini bisa marah dan para elite politik bisa ditawur oleh rakyat," kata LaNyalla.
Sebab, lanjut dia, satu-satunya sarana bagi rakyat untuk melakukan evaluasi atas perjalanan bangsa hanya melalui pemilu lima tahunan. Karena sistem hasil amandemen hanya memberi ruang itu.
Sebenarnya rakyat sudah dipaksa memilih calon pemimpin yang terbatas, akibat kongsi partai politik melalui presidential threshold. Lalu sekarang mereka mencari akal untuk menunda pemilu. "Ini namanya sudah melampaui batas. Allah SWT melarang hamba-Nya melampaui batas," paparnya.
LaNyalla mengatakan, rakyat sebagai pemilik negara bukan orang yang tidak mengerti. Mereka sangat punya kearifan berpikir. Bahkan dengan logikanya, rakyat mengatakan, kalau tidak mempunyai anggaran, kenapa yang ditunda bukan pembangunan ibu kota negara (IKN)?
Para elite politik seharusnya tidak memberi masukan yang menjerumuskan kepada Presiden. "Kasihan Pak Jokowi, beliau kan sudah pernah menyatakan menolak tiga periode dan tidak mau diperpanjang. Rakyat masih ingat itu," tegasnya.
Dia menegaskan bahwa para elite tidak boleh menjalankan negara ini dengan suka-suka, apalagi ugal-ugalan dengan melanggar Konstitusi, atau mencari celah untuk mengakali Konstitusi. "Saya berulang kali mengajak semua pihak untuk berpikir dalam kerangka negarawan," ungkap senator asal Jawa Timur itu. (far/wan/lum/ted)
Laporan JPG, Jakarta