Pertama, kelas F1 (free flight). Cara menerbangkan pesawat ini mirip seperti pesawat kertas. Cukup dilemparkan dan pesawat melayang di udara. Makin lama pesawat melayang di udara maka nilai dalam pertandingan akan semakin tinggi. Hanya saja dalam aeromodelling, lamanya pesawat itu melayang di udara sangat ditentukan oleh kemampuan perancangan model pesawat. Pesawat harus presisi dan akurat. Bagi para pemula, model pesawat free flight ini sangat penting untuk memberikan pemahaman tentang aerodinamis pesawat sehingga ketika beranjak pada model pesawat lainnya mereka tidak akan gagap. Lamanya terbang pesawat juga ditentukan oleh kemampuan penerbang (pilot) untuk melihat kondisi angin, panas, dan lainnya.
“Sebab teknik ini sangat mengandalkan termal atau udara panas,” ujar Subandi.
Kendati terlihat untung-untungan, tetapi sebenarnya lama terbang pesawat itu sangat ilmiah dan memiliki aspek fisika. Maka selain kekuatan melempar, yang diperlukan juga adalah kemampuan pilot dalam membaca situasi panas dan angin di lapangan. Sebab, gaya angkat pesawat tersebut hanya dihasilkan oleh sayap yang tidak dapat digerak-gerakkan
Ada beberapa model pesawat free flight ini, yakni F1A (glider A2), F1B (rubber power), F1C, F1D, F1E, F1F, F1G, F1H (glider A1), chuck glider/OHLG (on hand launched glider).
Kedua, kelas F2 atau (control line). Pesawat model control line adalah pesawat yang terhubung dengan tali pada tangan pilot. Talinya memiliki panjang 15,96 m. Talinya bisa berbentuk kawat baja bagi pesawat dengan ukuran yang besar, bisa juga hanya tali nilon biasa untuk pesawat kecil. Tapi jenis nilon ini tidak dipakai di Pekanbaru oleh para penghobi aeromodelling. Mereka hanya menggunakan kawat baja. Dalam model control line ini, model pesawat dapat terbang secara melingkar dengan pilot sebagai sumbu di tengah yang terhubung dengan tali kendali. Kecepatan terbang pesawat ini bisa mencapai 300 km/jam dengan jarak terbang sekitar 20 km selama 12 menit. Apakah tidak pusing?
“Ya begitulah tantangannya,” ujar Subandi.
Antara pilot dan pesawat dihubungkan dengan sepasang kawat baja dengan sebuah handle atau pegangan berbentuk huruf U yang digenggam oleh tangan pilot (penerbang). Masing-masing kawat berfungsi sebagai kawat naik dan kawat turun. Dalam model ini, umumnya panjang sayap berkisar antara 90 cm hingga 150 cm. Kapasitas mesin yang digunakan antara 2.5 cc sampai 10 cc.
Pergerakan dari handle pengendali pada pilot akan diteruskan melalui kawat penghubung (lead out) dalam sayap dengan bellcrank di pesawat yang akan diteruskan oleh batang pendorong (push rod) ke flap dan elevator.
Pada saat kawat naik ditarik oleh handle penerbang ke belakang, maka elevator akan bergerak ke atas dan demikian sebaliknya. Dengan cara demikian, pesawat dapat bergerak menanjak (climb) dan menukik (dive) , termasuk melakukan gerakan membuat lingkaran (loop) atau terbang terbalik (inverted).
Jika penerbang pemula sudah mahir, dapat dilanjutkan dengan menerbangkan F-2B (control line aerobatic) model. Model ini memiliki kemampuan melakukan gerakan akrobat atau manuver yang tinggi. Biasanya model ini dilengkapi flap yang terdapat di bagian belakang sayap. Apabila flap digerakkan ke bawah maka elevator akan naik dan sebaliknya.
Dalam kelas ini, yang paling seru adalah model combat (F-2D ). Sebab, memiliki kecepatan yang tinggi, kemampuan aerobatik yang baik, dan bentuk yang sederhana. Penerbangan combat adalah dua penerbang yang menerbangkan modelnya bersamaan satu arena lingkaran. Masing-masing model menarik seutas pita kertas krepe. Masing-masing pesawat model akan berusaha memotong pita lawannya dan agar pita sendiri tidak terpotong.
“Saat inilah sering terjadi tabrakan. Tapi jika terjadi pelanggaran, tentu nilainya dikurangi,” ujar Subandi.
Ada beberapa jenis permainan dalam Kelas F2 (control line) ini, yakni F2A (CL team race), F2B (CL aerobatic), F2C (CL speed), dan F2D (CL combat).
Ketiga, kelas F3 (radio control) atau terbang kendali radio. Jenis ketiga ini lebih populer di kalangan masyarakat. Sebab banyak permainan anak-anak yang menggunakan remote control untuk menerbangkan pesawat. Demikian juga drone selalu menggunakan remote control.
Pada jenis ini, penerbang dan pesawatnya secara fisik tidak berhubungan langsung tapi dengan perantara gelombang radio untuk mengubah arah, gerakan, dan kecepatan modelnya. Selama penerbangan, pilot berada didarat.
Model dalam kategori ini ada dua, yaitu yang bersayap tetap (fixed wing) jenisnya seperti pesawat pad umumnya dan bersayap putar (rotary wing) atau yang lebih populer dengan nama helikopter.
Menurut Subandi, kelas F3 ini juga sangat menarik karena cukup banyak variasinya, dari yang kecil hingga yang besar. Bahkan ada pesawat yang memiliki panjang sayap hingga 3 meter. Adapun penilaian yang dilakukan dalam lomba biasanya adalah cara terbang manuver, hingga cara mendarat atau landing. Begitu juga ada pertandingan melewati rintangan seperti F3R. Ada tiga tiang yang harus dilewati tiga pesawat yang harus dilalui untuk bisa sampai ke garis finis.
Kelas F3 (radio control), ada beberapa bagian lagi, yakni F-3 A (RC aerobatic ), F-3 B (RC soaring glider), F-3 C (RC helicopter), F-3 D (pylon racing), F-3 E (RC electric power), F-3 F (RC slope soaring), F-3 G (RC power glider).
Keempat, kelas F4 (scale model). Model keempat ini juga yang paling digemari para peminat aero modelling. Sebab ini adalah model dari replika yang sesungguhnya. Pada permainan aeromodelling terkini untuk fun, biasanya mereka sering menggunakan model ini. Sebab para penggemar miniatur pesawat sering kali ingin melihat pesawat asli dalam bentuk kecil yang bisa mereka terbangkan sendiri. Bermunculanlah replika pesawat tempur, pesawat komersial, pesawat angkut, dan lainnya dan ini sering kali dijadikan area dalam permainan aeromodelling.
Pada awalnya, model yang terbuat dari kayu menjadi pilihan, tetapi setelah itu bahan plastik justru menjadi pilihan. Pertumbuhan industri plastik yang besar memungkinkan pembuatan model ini secara massal. Subandi mengatakan bahwa teknologi sekarang sudah menggunakan bahan komposit yakni fiber karbon.
Model skala yang dapat diterbangkan juga tantangan yang menarik bagi para aero modeller. Pesawat tersebut dapat dikendalikan dengan radio ataupun terbang bebas. Beberapa model klasik menjadi pilihan, seperti P-51 Mustang dan F-16. Pesawat tersebut memiliki tingkat akurasi dalam penyelesaian dan bentuknya.
Kelas F4 (scale model) ini ada beberapa jenis, yakni F-4 A (free flight scale), F-4 B (CL flying scale), F-4 C (RC flying scale).
Berikutnya ada kelas F5 (electric model). Kelas F5 (RC electric) juga merupakan model yang paling digemari saat ini. Berkembangnya kendaraan listrik di darat juga berimbas pada berkembangnya kendaraan listrik, termasuk untuk permainan, salah satunya aeromodelling ini. Tenaga listrik tersebut diperoleh dari dinamo. Sumber listriknya didapat dari baterai kering (dry cell) yang dapat diisi kembali (rechargeable).
Dinamo tersebut dihubungkan dengan suatu poros yang pada ujungnya terdapat baling-baling (propeller) untuk menghasilkan gaya maju. Model ini dikendalikan oleh penerbangnya melalui radio (radio control).
Ada beberapa jenis model pesawat dalam kelas F5 (electric model) ini, di antaranya, F-5 A (electric RC aerobatic), F-5 B (electric RC glider), F-5 C (electric RC heli), dan F-5 D (electric RC pylon).
“Memang perkembangan pesawat ini sangat signifikan,” ujar Subandi.***
Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru