Perjuangan menuju kemerdekaan tak hanya sekali. Para pahlawan dan pejuang pun datang silih berganti. Mereka berjuang demi merdeka dari banyak hal: ketertindasan, keterpurukan, hak asasi, hingga berjuang demi kehidupan melawan wabah penyakit. Para pejuang di medan perang melawan Covid-19 pun punya banyak kisah.
Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru
PASTINYA banyak orang ketakutan dengan namanya Covid-19. Apalagi, banyak berita serta video yang berseliweran di media-media sosial mengenai kejadian orang-orang yang terpapar virus tersebut. Mereka yang terpapar dengan kondisi yang berat harus dapat berjuang dalam menghadapi virus ini. Sebab, dampaknya bisa sangat fatal sekali sampai dengan meninggal.
Seperti yang dialami Masku Orbitano, salah seorang karyawan di Pekanbaru. Pada10 April 2021 atau tepatnya 3 hari sebelum pelaksanaan Hari Raya Idulfitri, dirinya mulai merasa ada gangguan kesehatan seperti makan kurang selera, kerongkongan terasa kering, badan terasa panas dan batuk tidak tuntas. Sementara penciuman masih bagus dan untuk merasa masih ada. Kendati dengan kondisi badan kurang sehat, pada 12 April 2021, dia berangkat ke Medan (Sumatera Utara) untuk melakukan ziarah ke kuburan orang tuanya yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Kebetulan juga keluarga besar serta istri dan anak memang tinggal di Medan. Sedangkan dia bekerja di Pekanbaru.
Saat di Medan, kondisi badan mulai semakin kurang enak semenjak pulang dari ziarah. Maunya dibawa tidur saja. Badan panas sampai dengan 38 derajat Celcius. Makanan pun mulai kehilangan rasa.
Akhirnya pada sore hari, sekitar pukul 18.00 WIB, dia pergi ke salah satu rumah sakit yang ada di Kota Medan untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Atas anjuran tenaga medis, akhirnya dilakukan observasi dan menginap satu hari. Selanjutnya dilakukan swab test. Dan setelah menunggu, akhirnya keluar hasil swab yang ternyata hasilnya positif. Dengan kondisi tersebut, akhirnya dia dirujuk ke rumah sakit khusus untuk penanganan pasien terpapar Covid-19.
"Sampai di sana saya langsung diperiksa dan masuk ke ruang kritis," ujar Masku.
Ruangan-ruangan tersebut terbagi beberapa kelas. Seperti kelas pemulihan, kelas pasien baru dan lainnya. Saat dirawat di RS tersebut, bisa dibilang dalam satu hari ada beberapa kali disuntik serta ada beberapa kali juga dilakukan pergantian terhadap botol infus.
Pada saat itu, kata pria tiga anak ini, kondisi tubuhnya seperti tulang daging yang ditumpuk, tapi ada nyawa. Lemas sekali kondisinya. Jadi bisa dikatakan saat itu kondisinya adalah pasrah saja.
"Pasrah disuntik, periksa dulu darah dan lain-lain," jelasnya.
Selama sepekan itu, katanya, bisa dikatakan untuk makan obat sangat banyak saja. Tetapi karena keinginan untuk sembuh sangat tinggi, maka akhirnya dihabiskan juga. Sementara untuk disuntik yang banyak itu menyebabkan bekas suntikan di lengan menimbulkan bercak hitam yang lumayan banyak.
Yang paling menyiksa adalah saat merasa susah sekali untuk bernapas. Terasa sesak dan tidak penuh saat menghirup udara. Kondisi sedikit nyaman saat diberikan oksigen dengan menggunakan masker yang ada balon di bawahnya. Ini sangat membantu sekali walaupun masih susah buat menghirup penuh. Pada pekan kedua, suntikan dan obat yang diberikan mulai berkurang. Dirinya pun merasa sangat bersyukur dan berpikiran bahwa kondisinya pastinya sudah semakin baik.
"Saat itu juga saya mulai belajar bagaimana bernapas sehingga bisa nyaman, karena napas ini sangat berat. Kita mau bernapas, tapi tidak bisa penuh dan terasa menusuk di daerah dada, jadi terasa sakit. Sementara paru-paru setelah dilakukan foto rontgen menunjukkan tidak ada yang mengkhawatirkan," ujar pria 52 tahun ini.
Saat bernapas, oleh dokter diajarkan dengan beberapa cara sampai terasa nyaman dan tidak menimbulkan sakit. Setelah itu diukur dan dilihat kemajuannya. Kembali lagi pada saat dirawat, makanan juga dimonitor oleh perawat yang datang dengan menggunakan pakaian hazmat. Pagi dikasih makan dan dimonitor kembali. Makanan yang diberikan harus dimakan. Bagaimana pun perut harus diisi, kalau tidak asam lambung akan naik.
"Intinya kita harus makan," katanya lagi.
Diakuinya, dirinya memang terpaksa makan, walaupun itu sangat berat. Karena tak mungkin tak makan. Sementara minum tak boleh banyak. Sedikit, tapi harus sering. Karena kalau banyak akan menimbulkan cairan. Ingatan akan keluarga merupakan salah satu motivasi harus sembuh dari penyakit ini dan harus keluar dari rumah sakit ini. Saat dilakukan penghitungan untuk saturasi pada lima hari pertama didapatkan angka 95 dan pada saat hari kesembilan sudah di angka 97.
Setelah menginap selama 14 hari, akhirnya diperbolehkan oleh dokter untuk pulang dan dilakukan isolasi mandiri karena hasil tes swab masih positif.
"Tapi hal ini sangat saya syukuri karena saya bisa lebih dekat dengan keluarga dan akan membantu proses pemulihan kondisi saya," ujarnya.
Lima hari isoman di rumah, hidung saat ditekan-tekan sudah tidak terasa sakit lagi. Makan mulai sudah enak, suara mulai sudah ada.
"Padahal ketika awal pulang saya tak ada suara dan hidung sakit saat ditekan-tekan," ujarnya.