Meninggalnya rekan kerja akibat wabah tentu menjadi tekanan tersendiri. Perjuangan melawan rasa takut itu yang dilakukan para perawat ini. Termasuk para perawat di Pekanbaru. Ada 3.500 perawat yang tergabung dalam Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Pekanbaru. Tentu tidak semuanya menangani Covid-19.
Kendati sudah menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, sudah divaksin lengkap, bahkan booster, tetap saja ada yang terpapar, bahkan meninggal. Catatan PPNI Pekanbaru, sudah 400 perawat yang terkonfirmasi positif Covid-19.
"Termasuk saya sendiri. Saat dites pada 7 Juni positif. Lalu saya isolasi dan setelah dicek ulang pada 23 Juni sudah negatif," ujar Dipa.
Banyak tantangan para perawat secara umum. Di antaranya, selain melawan rasa takut saat merawat pasien. Di awal pandemi, tantangannya adalah APD yang kurang. Maka APD pun seadanya saja. Sekarang sudah lengkap. Tapi tetap saja ada risiko. Selain itu, penggunaan APD tentu saja tidak nyaman. Menggunakan APD lengkap termasuk hazmat selama 3 hingga 4 jam harus dilakukan perawat demi menjaga diri dari terpapar Covid-19. "Apalagi kalau perawatan total, pasien gawat," ujar Dipa.
Belum lagi tanggapan masyarakat, pasien dan keluarga pasien. Beberapa kali terjadi perdebatan antara perawat dan petugas medis lainnya dengan pasien atau keluarga pasien. Itu terjadi di awal-awal pandemi dan makin berkurang saat ini. Yang sering terjadi adalah ngototnya keluarga pasien menyelenggarakan jenazah korban Covid-19 secara sendiri, dan tidak menggunakan protokol kesehatan. Tentu saja ini tidak diperbolehkan karena akan bisa menularkan virusnya. Biasanya ingin dibawa ke pemakaman keluarga atau dibawa ke kampung halaman. "Belakangan sudah mereda. Asal plastik pembungkus jenazah tidak dibuka, kami bolehkan. Syaratnya ada pernyataan dari RT/RW hingga lurah. Kami juga melakukan pemantauan," ujar Dipa.
Soal insentif, menurutnya sejauh ini lancar. Memang ada tersendat, tapi biasanya hanya sebulan, dan itu bisa dimaklumi karena administrasi. Dia memang pernah mendengar ada keterlambatan pembayaran insentif nakes di daerah, di antaranya di Pelalawan. "Tapi kalau di Pekanbaru sejauh ini lancar," katanya.
Dua Bulan Tak Jumpa Keluarga
Perjuangan perawat misalnya dilakukan Dewi Andriani. Dewi harus rela tak berjumpa dengan dua buah hatinya selama dua bulan demi melayani pasien Covid-19. Dewi adalah perawat di ruang pinere, isolasi Covid-19 RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Sebagai orang yang tiap saat bertemu dan melayani pasien Covid-19, tentu ada kerentanan tersendiri. Penolakan juga sempat terjadi pada dia dan 40 rekan-rekannya ketika akan pulang ke rumah.
"Sempat juga ditolak keluarga dan tetangga ketika mau pulang. Sekarang anak-anak terpaksa diungsikan ke tempat neneknya," ujar Dewi.
Jangankan keluarga dan tetangga, teman sesama perawat pun khawatir kepada petugas di ruang isolasi ini. Mereka dijauhi. Untuk pinjam pena saja mereka khawatir. Itu terjadi di awal pandemi.
Diceritakan Dewi, demi berkonsentrasi pada tugas, para perawat Covid-19 yang mayoritas perempuan ini tidak pulang ke rumah. Tidak ada juga penginapan lainnya. Mereka terpaksa menginap di ruangan VIP Cempaka di RSUD Arifin Achmad, yang ketika itu tak digunakan pasien. Kondisi ini terjadi sekitar 1,5 bulan. Ada beberapa alasan. Salah satunya adalah belum adanya laboratorium biomolekuler di Pekanbaru. Sampel lendir harus dibawa ke Jakarta untuk dilakukan tes usap atau PCR (polymerase chain reaction) swab. Perlu waktu 11 hari hingga dua pekan untuk mengetahui apakah seseorang positif Covid-19 atau tidak. Selama itulah mereka harus isolasi. Alasan lainnya karena tempat penginapan belum tersedia. "Sedih juga sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Begitu kondisinya dan kami harus siap," ujar Dewi.
Setelah itu, barulah Satgas Covid-19 menyediakan sebuah hotel bintang empat tak jauh dari RSUD Arifin Achmad. Para perawat dan nakes lainnya pun mulai menginap di sini untuk isolasi selama menunggu hasil swab. Jika negatif, mereka baru bisa leluasa pulang saat ada jadwal penggantian. Dewi sendiri beberapa kali tes cepat (rapid) dan swab. Sempat juga statusnya jadi PDP (pasien dalam pengawasan) karena ada keluhan. Padahal ketika rapid tes nonreaktif. Hasil CT scan juga bersih. Setelah keluar swab, ternyata juga negatif. "Selama menunggu swab itulah saya sempat juga isolasi," ujar Dewi.
Semuanya tentu sudah dibenahi sekarang. Karena itu terjadi di awal-awal pandemi yang membuat semua pihak kebingungan. Dewi menyebut, sebagai perempuan, tentu naluri keibuannya banyak bicara. Dia sangat rindu kedua anaknya. Dewi punya dua anak. Satu berumur 13 tahun sudah SMP, satu tujuh tahun. Sarana komunikasi hanya lewat telepon dan video call. Dua bulan tentu terasa sangat lama. Apalagi salah satu anaknya sempat sakit. Ingin melihat tidak bisa. Takut dia menjadi carrier yang membawa virus ini kepada sang buah hati. Apalagi, dua anaknya sudah diungsikan ke tempat nenek mereka di Bangkinang.
"Sekarang sudah bisa lihat anak. Kalau jadwal libur dua hari, bisa langsung ke Bangkinang," ujar Dewi yang ketika itu sedang berada di Bangkinang bersama anak-anaknya.
Dua pekan sekali jadwal libur tiba. Hanya dua hari. Itu setelah tes swab bisa dilakukan di RSUD Arifin Achmad, tak lagi harus ke Jakarta. Jadi hasilnya lebih cepat. Sebelum itu, dia bersama rekan-rekannya tidak berani pulang. Kembali kepada keluarga dalam kondisi tak pasti hanya akan membuat risiko tinggi bagi keluarganya.
"Interaksi kami dengan pasien positif itu bisa tiga hingga lima jam per hari. Sangat riskan kalau kami kembali kepada keluarga dalam kondisi masih belum pasti," ujar Dewi.
Pembayaran Insentif Nakes Bersumber dari APBD
Pemerintah memberikan apresiasi kepada para tenaga kesehatan (nakes) yang menangani langsung pasien positif Covid-19. Selain mendapatkan gaji pokok, para nakes tersebut juga diberikan insentif sesuai dengan beban kerjanya masing-masing.
Kepala Dinas Kesehatan Riau, Mimi Yuliani Nazir mengatakan, untuk insentif para nakes tersebut tahun ini dibayarkan melalui dana APBD. Di mana sebelumnya pembayaran insentif tersebut sempat menggunakan dana APBN.
"Tahun ini insentif para nakes dibayarkan menggunakan dana APBD, dan saat ini insentif yang diberikan sudah sampai bulan Juni. Juli sedang berproses. Karena berkasnya banyak yang harus diverifikasi," ujarnya.
Dijelaskan Mimi, insentif bagi tenaga kesehatan yang dibayarkan melalui dana APBD yakni para nakes yang bekerja di rumah sakit pemerintah. Sedangkan untuk nakes rumah sakit swasta, insentif dibayarkan melalui dana APBN.
"Meskipun ada perubahan sumber pembayaran, namun besaran insentif bagi tenaga kesehatan tetap sama. Yakni dihitung berdasarkan beban kerja," sebutnya.
Mimi juga menjelaskan, bahwa jumlah tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 di Riau saat ini berjumlah 3.376 orang. Terdiri dari perawat dan bidan, dokter, satpam, analisis, radiologi, pemulasaran jenazah, supir, dan farmasi.
“Kemudian juga petugas desinfektan, sanitasi, rekam medis, administrasi, laundry, cleaning service. Mereka bekerja di 48 rumah sakit rujukan Covid-19 di Riau," paparnya.
Dalam kesempatan tersebut, Mimi juga mengimbau kepada para tenaga kesehatan untuk tetap bekerja secara aman. Menggunakan alat pelindung diri secara benar agar terhindar dari paparan Covid-19.
"Sebagai garda terdepan dalam penanganan Covid-19, kami harapkan para tenaga kesehatan dapat bekerja secara profesional dan tetap mengedepankan keselamatan diri. Gunakan alat pelindung diri secara baik dan benar saat bekerja," imbaunya.(eca/ayi/ted/muh/sol/kom/rio)