Bepergian ke luar negeri bukan hanya monopoli bagi kalangan berduit. Dengan modal pas-pasan, siapa saja juga bisa memiliki pengalaman yang sama, bahkan lebih. Memilih perjalanan ala backpaker bisa jadi pilihan.
(RIAUPOS.CO) - MENJADI backpaker pada dasarnya adalah melakukan perjalanan dengan meminimalisir pengeluaran seminim mungkin. Ini bisa dicapai dengan persiapan jauh hari dan mengatur itinary atau rencana perjalanan dengan cermat.
Mike Agnesia, warga Pekanbaru kelahiran 1987 adalah seorang perempuan yang memilih menjadi backpaker jika bepergian. Berawal dari niat mengunjungi Singapura dan Pulau Sikuai di Sumatera Barat, aktivitas backpacker sudah membuat dia menginjakkan kaki ke 27 negara di dunia.
"Backpacker dari 2009. Awalnya pengen jalan saja. Impian dulu ke Singapura sama Sikuai. Itu udah impian sekali dahulu. Sekarang sudah ke Mesir di Afrika, Eropa , Timur Tengah, dan Asean," tutur Mike pada Riau Pos, Sabtu (13/11).
Sejak tahun 2009 hingga kini, banyak tempat memang sudah dikunjunginya. Selain berbagai daerah di Indonesia, dia dengan menjadi backpaker sudah mengunjungi Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, Myanmar, Hongkong, Macau, Jepang, Arab Saudi, Jordania, Mesir, India, Qatar, Belanda, Prancis, Belgia, Finland, Norwegia, Swedia, Slovenia, Austria, Jerman, Republik Ceko, Hungaria, Kroasia hingga Turki.
Aparatur sipil negara (ASN) di salah satu kementerian yang juga volunter di Akademi Berbagi ini menuturkan perbedaan mendasar menjadi backpacker dengan turis biasa adalah pengalaman yang didapat. "Kita melakukan perjalanan dengan budget seminimnya. Mendapatkan lokasi yang maksimal. Bedanya dengan turis, mengatur perjalanan sendiri," terang dia. Untuk menjadi backpacker rencana perjalanan penting sekali dipersiapkan. Ini mencakup memburu tiket murah, mencari penginapan yang terjangkau, bahkan bisa memilih meminimalisir menginap dengan melakukan perjalanan malam hari dan tidur di bus.
Menurut Mike, setidaknya ada tiga tipe orang dalam melakukan perjalanan dengan menjadi backpacker. Pertama, ketat dengan itinary yang disusun. Kedua membuat itinary namun fleksibel dengan rencananya, dan ketiga yang tidak membuat perencanaan tempat yang dikunjungi agar bebas bepergian.
Menjadi backpacker tetap memiliki kepuasan tersendiri. Mike kemudian memberikan perbandingan dengan perjalanan menggunakan tour and travel. "Tetap bisa jalan tapi dengan budget kita. Kalau pakai tour travel kan lebih besar, orang yang aturkan perjalanan. Misalnya dengan duit Rp3 juta bisa dimaksimalkan bahkan lebih dari tour travel. Dari perjalanan yang kita atur sendiri lebih banyak dapat perjalanannya. Lebih faham dengan perjalanan sendiri. Kalau turis kan tahunya tempat yang ditunjukkan. Kalau backpacker dapat pengalamannya lebih banyak," urainya.
Persiapan dalam satu perjalanan bisa berbeda-beda. Tergantung tujuan yang akan didatangi. Mike bercerita, dalam perjalanannya ke negara Skandinavia seperti Norwegia, Finlandia dan Swedia, persiapan yang dilakukan hampir setahun sebelumnya. ”Ke Eropa 2018, tiketnya jauh beberapa bulan sebelumnya. Itu terjauh ke Norwegia, Swedia, dan Finlandia,” ulasnya.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia dan berbagai negara menerapkan penutupan akses, Mike rutin merencanakan perjalanan tiap tahun. Itu dengan satu perjalanan besar dengan biaya yang mahal dan beberapa perjalanan yang lebih terjangkau. "Misalnya ke Jepang, tujuan yang agak mahal. Jalan starting dari Kuala lumpur. Persiapan yang jelas tiket, penginapan dan perjalanan antarkota," paparnya.
Dalam perjalanan, backpacker harus melek teknologi. Di antara aplikasi yang wajib digunakan backpacker adalah AirBnB dan CouchSurfing. "Kita manfaatkan beragam aplikasi. Misalnya AirBnB, Couchsurfing. Dengan ini kita ada orang lokal yang ditemui untuk ngobrol. Nambah insight baru," imbuhnya.
Berkunjung ke banyak negara, banyak pula pengalaman yang didapat Mike. Dia mengenang saat bepergian ke negara-negara skandinavia, kopernya hilang dan terpisah dari dirinya terbawa ke Milan, Italia. "Kalau tersesat bagi seorang backpacker nyasar itu lumrah. Yang berkesan itu koper hilang di Oslo Norwegia. Koper terbawa ke pesawat ke milan. Saya pergi berdua. Akhirnya maskapai bertanggung jawab. Harusnya ke Kopenhagen Denmark kami batalkan," katanya.
Perkara koper hilang ini sempat merepotkan. Dengan baju alakadarnya, Mike harus menghadapi udara dingin di Eropra. "Kelliling Norwegia dengan baju alakadarnya. Tak ada jaket tebal. Beli pakaian di supermarket," kenangnya lagi.
Pengalaman lain yang cukup membekas bagi dirinya adalah saat ke Kashmir tahun 2015. Dengan kondisi alam yang merupakan pegunungan di sana, Mike sempat terkena demam AMS (altitude mountaint sickness). “Naik cable car ke tempat namanya Pulmar. Dari bawah langsung ke atas sesak napas karena oksigen tipis. Pulang dari situ demam tinggi. Untung perginya dengan dokter, diberi obat. Tidak sampai dirawat," ucapnya.
Selain bepergian berdua atau dengan kelompok, Mike juga pernah berpergian sendiri. "Pernah (pergi sendiri, red). Tapi aku tidak suka. Ke KL ikut Women International Marathon 2016 tiga hari. Dari situ nyambung ke Jogja ada pertemuan nasional akademi berbagi dua hari. Aku tipenya cari kawan. Selain bisa share cost, bisa aman aja. Tapi ada juga orang yang senang jalan sendiri," singkatnya yang terakhir kali bepergian menjadi backpacker awal 2020 lalu ke Vietnam sebelum Covid-19 melanda.(ali)
Laporan MUHAMMAD ALI NURMAN, Pekanbaru