KISAH PARA MAHOUT FLYING SQUAD TNTN

Terus Menggemukkan Gajah di Tengah Penghasilan ’’Semut"

Lingkungan | Sabtu, 02 Oktober 2021 - 14:05 WIB

Terus Menggemukkan Gajah di Tengah Penghasilan ’’Semut"
Seorang pengunjung terlihat memberi makan kepada seekor gajah di Flyng Squad Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) beberapa waktu lalu. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

BEBERAPA gajah remaja diikat kakinya dengan rantai panjang di dalam kawasan basecamp Flying Squad Taman Nasional Tesso Nilo(TNTN) pertengahan Agustus 2021 lalu. Sekurangnya terdapat 20 meter rantai yang digunakan. Gajah masih bisa memakan rumput dan beberapa tumbuhan di sekitarnya dalam radius rantai itu.

Hari itu memang terdapat kunjungan siswa, mahasiswa, dan wartawan. Beberapa gajah jinak asuhan para mahout sengaja diperlihatkan. Termasuk kesukaan mereka makan buah-buahan seperti semangka.


Sehari-hari, gajah-gajah di basecamp Flying Squad TNTN ini sebenarnya biasa diberi makanan dari alam. Mereka diajak masuk jauh ke dalam hutan sambil patroli sekaligus mencari pakan alami gajah. Kadang gajah ditambatkan di sebuah pohon besar dengan panjang rantai maksimal 30 meter. Dalam radius itulah mereka makan. Kadang gajah betina jinak ini dihampiri gajah jantan liar, bahkan dikawini.

Tapi gajah tentu tidak sama dengan kerbau yang cukup makan rumput. Makanan alaminya beraneka ragam. Itulah sebabnya gajah liar selalu melakukan migrasi karena tiap bulan pakan alaminya selalu berganti. Metabolisme tubuhnya menuntut itu.

Mahout senior TNTN, Erwin Daulay menyebutkan, di antara makanan favorit gajah adalah daun semantong. Tidak hanya daunnya, tapi juga batang hingga akar. Sayangnya, pohon ini kian langka dan sangat sulit dibibitkan. Makanya, gajah dan para mahoutnya harus menjelajah cukup jauh untuk mencari makanan alami yang disukai gajah dan membuat mereka bisa tetap sehat. Sebab, jika makanannya tidak variatif, maka metabolisme tubuhnya bisa terganggu. Kesehatan mereka pun bisa menurun.

Selain dari hutan alam, sebenarnya ada juga makanan dari hutan produksi yang kemudian bisa berkembang di lahan-lahan kosong. Misalnya akasia. Daun dan pohon akasia yang dulunya dikembangkan di lahan hutan tanaman industri (HTI) ternyata disukai gajah. Tapi, belakangan akasia tak lagi dipakai pengusaha HTI, melainkan diganti eucalyptus. Tanaman ini dianggap lebih efisien dibandingkan akasia. Eucalyptus tidak disukai gajah. Bahkan rumput pun tidak bisa tumbuh di bawah eucalyptus ini karena ada zat kimia yang menghambat pertumbuhan flora lainnya.

"Jadi memang makin susah mencari makanan yang disukai gajah," ujar Erwin Daulay yang biasa dipanggil Eko.

Dia menyebutkan, tidak mungkin pula mereka memberikan gajah makanan enak setiap saat seperti buah-buahan. Anggarannya sangat besar. Atau mengajak gajah ke kebun milik masyarakat. Tentu akan menimbulkan konflik. Padahal, tujuan dibentuknya flying squad adalah meminimalisir konflik antara gajah liar dan manusia.

Penaklukan Gajah Liar

Eko sendiri sudah menjadi mahout sejak TNTN ini berdiri pada 2004. Dia ikut berlatih menjadi mahout sejak masih di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Minas yang sudah lebih dahulu ada sebelum Flying Squad TNTN. Ada empat gajah dan empat mahout yang awalnya dilatih di PLG Minas. Keempat gajah itu masih ada hingga sekarang di TNTN. Dua jantan, Rahman (48), Indro (42), dua betina, Ria (42), Lisa (36). Lima gajah lagi adalah anak-anak gajah yang lahir di TNTN. Masing-masing adalah Harmoni Rimba (4 tahun), Rimbani (6 tahun), Tesso (15) Imbo (10) dan Riyu (7 bulan). Kelimanya dari dua induk di TNTN. Sedangkan pejantannya, selain dua jantan itu, juga ada dari gajah liar di kawasan TNTN ini.

Eko ikut serta dalam menaklukkan gajah-gajah ini dari alam liar. Empat gajah dewasa memang berasal dari alam liar dengan tempat asal berbeda. Sejak masih di PLG Minas, dia ikut menaklukkan gajah-gajah ini. Menurutnya, ada tantangan tersendiri ketika menangkap gajah liar. Awal mula PLG dibuka, lima ekor gajah mulai diambil dari alam liar. Beberapa di antaranya karena berkonflik dengan masyarakat. Tapi tidak semuanya karena ada konflik. Ada juga memang karena diincar dari kelompoknya agar mudah dilatih.

Eko menceritakan, dari pengalamannya, gajah liar yang masih remaja lebih mudah dilatih dibandingkan gajah yang sudah dewasa. Memang gajah dewasa, apalagi yang soliter atau tunggal, atau dalam kelompok kecil lebih sulit dijinakkan. Proses penjinakan dapat lebih lama karena memiliki pengalaman di alam liar lebih lama. Biasanya, gajah yang diincar untuk dijinakkan dalam flying squad berumur 15 tahun ke bawah. Mereka diambil dari kelompok besar berjumlah 60 ekor.

"Jadi kita membawa gajah jinak yang besar dan masuk ke dalam kelompok," ujar Eko.

Awal penaklukan gajah ini, mereka dilatih para mahout dari PLG Way Kambas Lampung. Tidak hanya mahoutnya, tapi juga gajah-gajahnya. Semua gajah latih didatangkan dari Way Kambas. Setelah pelatihan selesai, mahout dan gajah-gajahnya dikembalikan ke Lampung. Pengalaman awal ini sangat menarik. Gajah pelatih ini tentu lebih besar dan berpengalaman. Makanya, kendati bisa masuk ke dalam kelompok gajah liar, tapi tak boleh terlihat ada mahout di atasnya. Banyak hal yang harus diperhatikan. Tidak boleh bicara, apalagi merokok. Para mahout berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Masuk ke dalam kelompok gajah liar juga bukan berarti berada di tengah kelompok. Jarak dengan gajah liar harus diperhatikan.

"Biasanya sekitar 20 meter dari gajah remaja yang diincar," ujar Eko.

Jarak 20 meter itu sudah standar yang bagus. Dengan jarak sedekat itu, gajah liar biasanya tidak bisa melihat mahout yang berada di atas gajah jinak. Menurut Eko, gajah memiliki penglihatan yang kurang baik. Namun penciumannya sangat tajam. Jarak 20 meter dinilai masih aman dari penciuman gajah liar. Syarat lainnya adalah pandai mengamati arah angin. Posisi mahout dan gajah jinak harus berlawanan arah angin dengan kelompok gajah liar yang diincar. Dengan jarak 20 meter, sasaran tembak bius juga bisa dilakukan dengan relatif mudah dibanding jarak yang jauh. Apalagi, bergabung dengan kelompok gajah juga tidak dilakukan di kawasan terbuka, melainkan juga kadang di sela pohon atau belukar tinggi. Biasanya ada dua gajah remaja yang diincar dari satu kelompok.

"Semuanya harus dilakukan dengan hati-hati. Sebab, jika ada yang tahu kita ada di atas, maka semuanya akan lari dan akan sulit mendekati mereka lagi," ujarnya.

Setelah sasaran ditentukan, maka dilakukan penembakan bius. Dosis obat biusnya sudah ditentukan. Sebab, kelebihan dosis bisa berbahaya. Kekurangan juga tak akan ampuh. Jika kelebihan bius, tabung bius bisa pecah ketika ditembakkan. Kadang penembakan satu gajah dengan yang lainnya dilakukan dalam waktu yang berbeda. Penembakan itu kerap kali malah tak diketahui gajah lainnya karena tidak berbunyi. Dalam waktu 15 menit setelah ditembak bius, gajah pelan-pelan akan melambat. Gajah sasaran ini hanya dapat bergeser beberapa meter dari tempat awalnya ditembak. Dosis biusnya tentu sudah diperkirakan dengan cermat, juga dengan melibatkan dokter hewan dan diawasi dengan ketat.

"Biasanya akan terpisah dari kelompoknya. Lalu gajah ini kita ikat dan dibiarkan selama satu jam. Kita jaga jangan sampai gajah ini tertidur. Sebab, kalau sampai tertidur, apalagi belalainya terlipat bisa berbahaya. Gajah bisa mati," ujarnya.

Gajah yang sudah dibius ini kemudian digiring oleh beberapa gajah jinak menuju kendaraan. Lehernya diikat dan dibawa bersama. Kondisinya harus tetap sadar karena ia berjalan dengan kakinya sendiri, tapi sudah tidak bisa melawan. Kondisi harus dipertahankan. Begitu juga ketika dibawa ke dalam truk. Selama di dalam truk juga harus diawasi. Tidak boleh tertidur atau pingsan, juga tidak boleh dalam keadaan sadar penuh. Sebab, jika kesadarannya penuh, akan berbahaya juga bagi kru dan para mahout.

"Istilahnya separuh teler. Jika gajah itu sadar, misalnya mengangkat telinga atau mengangkat belalainya, maka diberikan bius lagi," ujarnya.

Kondisi ini dipertahankan hingga gajah sampai di PLG. Jika sudah sampai di PLG, maka dilakukan proses penjinakan lainnya.

Penjinakan Enam Bulan

Proses penjinakan awal dari gajah liar yang baru didapat bisa dilakukan bersama-sama. Tapi untuk proses berikutnya hanya dilakukan satu atau dua mahout saja yang memang ditugaskan untuk seekor gajah. Dalam tahap awal pengenalan, biasanya gajah akan selalu melawan. Makanya, selama satu bulan pertama gajah hanya diikat secara ketat di kandangnya. Ia tidak boleh bergerak leluasa.

"Orientasi atau pengenalan dulu dengan kondisi barunya. Pengenalan juga dengan mahoutnya," ujar Eko.

Orientasi ini dilakukan dengan cara menyandarkan tiang-tiang di sisi gajah, sehingga ia tak leluasa bergerak. Lalu setiap hari mahoutnya melakukan pendekatan dengan mengelus-elusnya. Biasanya gajah akan berontak karena tak nyaman dan belum terbiasa. Tapi ikatannya harus kuat. Jika bereaksi berlebihan misalnya berusaha menggunakan belalainya, maka belalainya juga harus diikat karena bisa membahayakan mahout. Bantingan dari belalai gajah ini sangat perlu diwaspadai apalagi di awal masa penjinakan. Begitu juga jika gajah lupa diikat.

"Pernah juga ada mahout yang meninggal saat melatih gajah. Kejadiannya di Lampung," ujar Eko.

Makanya, salah satu standar penting dalam pelatihan ini adalah gajah harus tetap diikat. Bagaimana pun mereka berasal dari alam liar yang sifatnya masing-masing berbeda. Masing-masing memiliki karakter yang unik dan kadang mengejutkan. Mahout harus selalu waspada.

Pelatihan awal berupa orientasi ini biasanya hanya satu bulan. Setelah gajah tak lagi marah atau geli saat dipegang mahout, maka ikatan ketat mulai bisa dilepas. Ia pun dapat dibawa keluar kandang dengan hanya ikatan pada leher dan salah satu kakinya. Dia dilepas dari rung atau kandang sempitnya itu.

"Setelah dia patuh, lalu dikasih hadiah. Biasanya gula atau buah-buahan manis," ujarnya.

Menurut Eko, standar waktu penjinakan gajah dari alam liar ini enam bulan. Tapi tergantung mahout dan karakter gajah juga. Jika mahoutnya aktif bisa lebih cepat. Tapi bila kurang aktif berinteraksi dengan sang gajah, bisa jadi lebih lama.

Ditanyakan soal ritual tertentu untuk menjinakkan gajah, menurutnya tidak ada. Semuanya dilakukan dengan pendekatan ilmiah. Ada standar pelatihan yang harus dilalui.

"Paling-paling kalau sudah selesai masa pelatihan, kita melakukan doa selamat. Itu saja. Jadi tak ada ritual atau jampi-jampi untuk menaklukkan gajah ini," ujarnya sambil terkekeh.

Penggunaan gancu juga menjadi bagian dari pelatihan ini. Kendati tidak direkomendasikan para pemerhati satwa dari luar negeri, tapi pemakaian gancu masih tetap dilakukan. Gancu merupakan alat kecil yang berujung runcing yang digunakan para mahout untuk mengendalikan gajah. Pecinta satwa dari luar negeri, menurut Eko, menganggap gancu bisa menyakiti gajah. Memang tidak selalu gancu digunakan. Tapi selalu dibawa.

"Jika tali kekang cukup, maka mahout cukup menggunakan tali kekang. Tapi jika gajahnya membandel, maka mau tak mau harus menggunakan gancu," ujarnya.

Dalam praktik pelatihan gajah pun kadang diakui ada tindakan yang cukup keras dilakukan. Ada reward dan punishment. Gajah dituntut patuh kepada para mahoutnya. Jika patuh, maka diberikan hadiah. Bisa gula atau buah-buahan manis. Jika tak patuh, maka bisa dipukul. Tentu yang tidak melukai. Penggunaan gancu juga menjadi bagian dari kepatuhan ini.

"Dalam pelatihan, gajah harus ikut dan mau yang diperintah mahout. Kalau tak mau dan membandel, lalu tidak diberi tindakan, maka gajah itu akan terus membandel. Sifat liarnya muncul dan itu harus dikendalikan," ujarnya.

Patroli dan Redam Konflik

Taman Nasional Tesso Nilo, kendati idealnya adalah hutan alam, kenyataannya sebagian telah berubah menjadi lahan kebun sawit. Belum lagi di sekeliling taman nasional ini memang ada HTI dan lahan perkebunan milik perusahaan. Makanya konflik tak terhindari. Gajah-gajah liar yang memang memiliki habitat di sana kerap masuk ke lahan masyarakat, makan hasil kebun, bahkan tak jarang merusak kebun dan rumah masyarakat.


"Sawit itu salah satu kesukaan gajah," ujar Eko.

Beberapa konflik memang sempat terjadi. Masyarakat dan pemilik kebun tentu punya caranya sendiri. Mulai cara pasif, misalnya menggunakan pagar, hingga cara aktif, yakni memberikan efek jera kepada gajah.  Bisa jadi malah membahayakan habitat gajah liar. Tak jarang gajah-gajah dibunuh dengan ditembak atau diracun. Untuk meminimalisir itu, maka flying squad dibentuk. Tim ini rutin melakukan patroli dua kali sepekan. Dari patroli, dapat diketahui jejak gajah liar dan kemungkinan mereka masuk ke perkampungan atau perkebunan. Kadang laporan masyarakat yang direspons tim.

"Tugas kami mengusir gajah liar kembali ke habitatnya. Memang ada tantangan, kadang dari masyarakat, juga dari gajah sendiri," ujar Eko.

Beberapa kali gajah liar yang diusir tetap membandel. Mereka menantang dan tidak mau beranjak. Biasanya gajah-gajah remaja usia 20 tahun yang ingin uji nyali dan menantang gajah jinak dengan flying squad-nya. Terkadang diusir dengan meriam pun mereka tak beranjak.

"Ya, tantangan di lapangan selalu ada," ujarnya.***

Laporan: Muhammad  Amin (Pelalawan)
Editor: Bayu Saputra

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook