Literasi Gizi Rendah, 1.000 HPK Anak Terancam Alami Gangguan

Kesehatan | Rabu, 30 November 2022 - 02:19 WIB

Literasi Gizi Rendah, 1.000 HPK Anak Terancam Alami Gangguan
ILUSTRASI. Kekurangan gizi dalam 1.000 HPK bisa menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan. Ketika hal tersebut diabaikan, maka kemampuan dan produktivitas SDM pada masa depan pun terganggu. (ALLEX QOMARULLA/JAWA POS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kecukupan gizi pada anak terutama ketika 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) harus menjadi perhatian orang tua. Sebab, di masa emas tersebut, anak membutuhkan gizi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan, yang memengaruhi masa depan.

Ketua Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat, mengungkapkan, kekurangan gizi dalam 1.000 HPK bisa menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan. Ketika hal tersebut diabaikan, maka kemampuan dan produktivitas SDM pada masa depan pun terganggu.


Untuk itu, orang tua sudah seharusnya memenuhi kebutuhan gizi anak. Mulai dari memastikan asupan protein yang cukup. Terutama protein hewani yang penting untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan juga massa otak.

“Gizi anak tidak cukup bila hanya dari protein nabati seperti tahu dan tempe, tapi diperlukan asupan protein hewani yang dapat diperoleh dari telur, ikan, daging dan susu,” jelas Arif baru-baru ini.

Selain itu, susu juga sangat penting. Susu sendiri mengandung energi, protein, asam amino dan mikronutrien hanya ditemukan dalam makanan hewani. Konsumsi susu yang cukup dapat menambah nutrisi penting untuk pencapaian Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk anak Indonesia.

Sayangnya, diungkapkan Arif, konsumsi protein hewani dan susu pada balita menyebabkan masih rendah. Hal ini tentunya menambah tingginya prevalensi stunting dan gangguan gizi lainnya.

Lantas, masalah gizi juga terjadi karena adanya penurunan aktivitas fisik masyarakat, gangguan pola makan anak, serta kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi kandungan gula garam lemak. Hal tersebut adalah faktor yang berkontribusi pada tiga masalah gizi (triple burden of malnutrition) keluarga di Indonesia.

Ketiga masalah gizi tersebut adalah kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro dengan anemia. Jika tidak ditangani secara baik dan sesegera mungkin, hal ini akan berkontribusi pada berbagai penyakit kronis di kemudian hari.

Sayangnya, pengetahuan tersebut masih minim diketahui masyarakat. Ini dikarenakan rendahnya literasi gizi. Sehingga, peningkatan literasi dan kesadaran masyarakat akan gizi penting dilakukan sejak dini.

Hal itu turut didukung oleh minimnya penelitian yang dapat menjadi referensi peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia. Selain itu, dari sisi kuantitas pun peneliti Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga. Sebagai perbandingan, jumlah peneliti per 1 juta populasi di Malaysia mencapai angka 7.000, diikuti Singapura dengan angka 2.590. Sementara, Indonesia hanya berada di angka 1.071 dengan populasi penduduk yang cukup besar.

Untuk itu, dalam rangka mendorong perkembangan riset dan penelitian di Indonesia, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menggandeng 4 universitas terkemuka di Indonesia, diantaranya Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas Negeri Semarang (UNNES), untuk melakukan penelitian bersama terkait Konsumsi Susu dan Status Gizi Anak di Indonesia.

“Ilmu pengetahuan dan teknologi saling berpacu. DI masa mendatang dibutuhkan SDM dengan kualitas unggul, yang dapat mengikuti perubahan zaman. Karena itu, sudah waktunya kita mengambil peran dalam globalisasi, salah satunya melalui dunia pendidikan, memperkaya literatur dengan penelitian-penelitian yang akan bermanfaat bagi masyarakat,” tutup Arif.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Edwar Yaman

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook