JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Seorang perokok berisiko terancam sejumlah penyakit salah satunya kanker paru. Akan tetapi seseorang yang tak merokok atau perokok pasif juga dapat terkena kanker paru.
Walaupun merokok masih menjadi faktor risiko utama kanker paru-paru, pasien dengan usia muda, terutama perempuan yang mengidap kanker paru-paru memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk tidak pernah merokok pada populasi Asia, dibandingkan dengan wilayah lain di seluruh dunia. Mengapa kanker paru-paru dapat menyerang mereka yang tidak merokok? Salah satunya adalah karena mutasi EGFR.
“Kanker paru pada non-perokok lebih mungkin menunjukkan mutasi EGFR,” kata Profesor, Pusat Aliansi Penelitian Global dan Bedah Toraks, Rumah Sakit Kindai, Jepang, Prof Tetsuya Mitsudomi, dalam keterangan resmi, Senin (26/12/2022).
Apa itu EGFR?
EGFR adalah bagian dari sel yang terletak di permukaan. Fungsi EGFR sendiri adalah sebagai reseptor atau penerima protein dan mengatur pertumbuhan dan perkembangan sel. Jika terpapar karsinogen (bahan penyebab kanker) seperti asap rokok, EGFR dapat tumbuh tanpa terkontrol dan berkembang menjadi sel kanker yang menyebabkan tumor.
Misalnya, pada satu gen tertentu, yang disebut reseptor faktor pertumbuhan epidermis (EGFR), mutasinya lebih tinggi pada pasien Asia (lebih dari 50 persen pasien NSCLC). Mengidentifikasi status EGFR pasien dengan NSCLC dapat membantu dokter dalam menentukan perawatan yang paling tepat untuk pasien mereka, sehingga menjadikan mutasi EGFR sebagai ‘biomarker’ yang ideal untuk memandu keputusan pengobatan.
Mamun, sekitar dua pertiga tenaga kesehatan yang disurvei di wilayah tersebut menyatakan bahwa, kurang dari setengah pasien kanker paru-paru mereka yang telah menjalani pengujian untuk biomarker. Konsensus ahli yang dirilis hari ini menyerukan pengujian biomarker rutin untuk pasien kanker paru-paru bukan sel kecil di seluruh negara Asia, sebagai langkah yang diperlukan dalam upaya untuk menghilangkan kanker paru-paru sebagai penyebab kematian.
“Pengujian biomarker untuk semua pasien kanker paru-paru bukan sel kecil di Asia dapat membantu meningkatkan diagnosa dan mengurangi prosedur yang tidak dibutuhkan dan memastikan pilihan pengobatan yang paling bermanfaat untuk setiap pasien, dan pada akhirnya memberikan hasil kesehatan terbaik,” ungkapnya.
Konsensus tersebut merupakan hasil diskusi ekstensif antar para ahli dari beberapa negara Asia, didukung oleh Aliansi Ambisi Paru Paru (LAA). LAA adalah kolaborasi nirlaba yang didirikan oleh AstraZeneca, Koalisi Global Kanker Paru Paru (GLCC), Guardant Health, dan Asosiasi Internasional untuk Studi Kanker Paru (IASLC).
Data Kanker Paru
Diagnosa dan pengobatan yang paling umum untuk kanker paru-paru di Indonesia dan Asia membutuhkan perubahan mendesak agar lebih memperhitungkan karakteristik pasien yang unik pada wilayah tersebut. Hal itu menurut konsensus yang baru dari para ahli yang telah dirilis hari ini dan diterbitkan dalam Journal of Thoracic Oncology.
Sekitar 60 persen dari kasus kanker paru-paru di dunia terjadi di Asia dengan lebih dari 34 ribu kasus yang didiagnosis di Indonesia setiap tahun. Namun pedoman diagnosa dan pengobatan di Asia saat ini mengikuti model yang berasal dari Amerika Serikat dan Eropa, di mana karakteristik pasien dan penyakitnya berbeda.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman