JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Guru Besar FKUI Tjandra Yoga Aditama mengingatkan, para perokok berisiko lebih besar untuk sakit, mengalami kematian akibat tuberkulosis (TB), dan terganggunya penyembuhan penyakit TB-nya.
Dia menyebutkan, data memperlihatkan satu dari lima pasien TB dunia ternyata berhubungan dengan kebiasaan merokok. Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan ada sekitar 34,5 persen penduduk Indonesia merokok atau mengonsumsi tembakau dalam berbagai jenisnya.
”Sekitar 70,2 juta orang dewasa di Indonesia menggunakan produk tembakau (tembakau isap, tembakau yang dipanaskan, tembakau kunyah) saat ini, baik setiap hari atau kadang-kadang,” ujar Tjandra Yoga Aditama.
”Rinciannya yakni sebanyak 33,5 persen perokok, 1 persen pengguna tembakau kunyah, dan 3 persen pengguna rokok elektronik. Sementara menurut jenis kelamin, 65,5 persen laki-laki dan 3,3 persen perempuan Indonesia merokok atau menggunakan produk tembakau,” tambah dia.
Prof Tjandra berpendapat, perlu ada integrasi antara program TB dan program rokok. Salah satu bentuk nyatanya yakni setiap pasien TB harus ditanya apakah punya kebiasaan merokok. Bila pasien mengiyakan, harus segera dimasukkan ke dalam program berhenti merokok di puskesmas dan rumah sakit.
”Saat ini, kementerian kesehatan dalam proses akhir penyusunan buku Pedoman Integrasi Layanan Upaya Berhenti Merokok dan Tuberkulosis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yang mudah-mudah dapat segera diselesaikan dan diterapkan di lapangan,” papar Tjandra Yoga Aditama.
Selain berisiko TB, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu juga mengingatkan kebiasaan merokok merupakan faktor risiko utama penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Saat ini, dilakukan uji coba di beberapa kabupaten tentang deteksi PPOK pada perokok dengan kuesioner yang lalu dikonfirmasi melalui spirometri. Para perokok kemudian dimasukkan dalam program berhenti merokok.
”Tahap ini masih dalam bentuk konsultasi tetapi ke depan akan digunakan juga obat dan atau alat tertentu,” tutur Tjandra Yoga Aditama.
Dia melanjutkan, kebiasaan merokok juga berhubungan dengan kejadian stunting. Data yang dipresentasikan Deputi Kepala BKKBN pada pertemuan ketujuh wali kota/bupati se Asia Pasifik tentang kesehatan (7th Asia Pacific Summit of Mayors) 2 Desember di Bali menunjukkan, anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi daripada anak dengan orang tua perokok.
”Data juga memperlihatkan apabila anak-anak tidak terpapar rokok, angka stunting dapat turun sampai satu persen dan kebiasaan merokok atau menggunakan tembakau pada masa kehamilan akan meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anaknya,” terang Tjandra Yoga Aditama.
Dia menambahkan, orang-orang yang berhenti merokok, selain yang di puskesmas, mereka juga bisa mengikuti program Quitline berhenti merokok dengan menghubungi nomor telepon 08001776565untuk mendapatkan menghentikan kebiasaan merokok. Rumah Sakit Persahabatan Jakarta juga membuka klinik berhenti merokok.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman