Infertilitas, Penyebab dan Dampaknya terhadap Kualitas Hidup

Kesehatan | Minggu, 23 Mei 2021 - 10:10 WIB

Infertilitas, Penyebab dan Dampaknya terhadap Kualitas Hidup
dr. Isa Ansori, SpOG(K)-FER Spesialis Obstetri dan Ginekologi Konsultan Fertilitas

PERNIKAHAN adalah dambaan bagi setiap pasangan yang saling mencintai. Namun tujuan menikah tidak hanya semata-mata untuk menyatukan dua orang yang saling mencintai. Tetapi juga untuk memiliki keturunan melalui suatu proses kehamilan. Dalam realisasinya, sebagian pasangan berhasil mewujudkannya tanpa halangan yang berarti. Sebagian lagi berhasil mewujudkannya setelah melakukan berbagai usaha-usaha. Namun tidak sedikit pasangan belum berhasil mewujudkannya walaupun sudah berusaha. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan dampak terhadap kualitas hidup pasangan.

Sekitar 65 persen perempuan berumur 25 tahun akan mengalami kehamilan pada 6 bulan pertama pernikahan dan secara akumulasi 85 persen kehamilan akan didapatkan pada akhir tahun pertama. Ini berarti jika terdapat 100 pasangan yang mencoba untuk hamil, 35 pasangan tidak akan hamil setelah enam bulan, dan 15 pasangan tetap tidak hamil setelah setahun. Bertambahnya umur sangat berpengaruh terhadap kemampuan seorang perempuan untuk mendapatkan keturunan, namun pada laki-laki, bertambahnya umur belum memberikan pengaruh yang jelas terhadap kesuburan.


Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa kontrasepsi, atau biasa disebut juga sebagai infertilitas primer. Sementara infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan kehamilannya. Infertilitas yang belum diketahui penyebabnya mengacu pada pasangan infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan analisis semen dengan hasil normal namun belum juga mendapatkan kehamilan.

Di Indonesia angka kejadian infertilitas lebih dari 20 persen. Angka kejadian infertilitas pada perempuan usia 30-34 tahun 15 persen, pada usia 35-39 tahun 30% dan pada usia 40-44 tahun adalah 55 persen. Di Indonesia, dari 67 juta pasangan usia subur, sebanyak 10-5 persen atau 8 juta mengalami infertilitas atau gangguan kesuburan. Hal itu berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia, 2012 lalu. Menurut Badan Pusat Statistik, prevalensi infertilitas di Indonesia meningkat setiap tahun. Pada 2013, tingkat prevalensi adalah 15-25 persen dari semua pasangan. Berdasarkan data dari Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia pada 2017, terdapat 1.712 pria dan 2.055 wanita yang mengalami infertilitas.

Infertilitas dapat disebabkan oleh baik faktor istri maupun suami. Data Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2010 menunjukkan bahwa 64 persen penyebab ada pada istri dan sebesar 36 persen diakibatkan adanya kelainan pada suami. Pada wanita, infertilitas dapat disebabkan karena kelainan hormonal, masalah pada ovarium, tuba, dan uterus, penyakit menular seksual, kelainan anatomis pada alat reproduksi, maupun penyakit sistemik. Pada pria, infertilitas dapat diakibatkan karena masalah gametogenesis hingga ejakulasi, kelainan genetik, infeksi, kelainan anatomis, hormonal dan  faktor lingkungan.

Pada pasien yang mengalami infertilitas akan mendapatkan tekanan yang lebih besar pada kehidupannya, terutama menyangkut kondisi biologis, psikologis, sosial, ekonomi, budaya, maupun hubungan dengan pasangannya yang akan berdampak pada tingkat kualitas hidup.

Pasangan suami isteri yang menikah akan merasa belum lengkap ketika belum mempunyai anak. Di masyarakat Indonesia kelengkapan keluarga, yaitu ada ayah, ibu, dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Anak sebagai simbol kesuburan dan keberhasilan. Keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai kegagalan besar. Nilai anak yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia dapat memberikan status kematangan dan identitas sosial dan sebagai fungsi reproduksi manusia. Diperolehnya keturunan sangat didambakan oleh setiap pasangan suami isteri. Norma budaya masih menghendaki wanita harus menjadi ibu. Masyarakat sering menanyakan “berapa jumlah anak yang dimiliki” dan “kapan mempunyai anak” kepada pasangan suami istri. Pihak wanita sering disudutkan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab bila dalam suatu pernikahan belum juga dikaruniai anak.

Pengaruh psikologis pada pasien infertil dapat berupa gangguan emosi yang lebih dekat dengan stress yaitu kecemasan dan depresi. Seseorang yang mengalami masalah kesuburan akan cenderung berdiam diri jika dibahas tentang keturunan, mengisolasi atau menjauhkan diri dari lingkungan yang membuat sesorang tersebut tidak nyaman. Adapun sebagian mereka merespon dengan makan berlebihan atau tidak makan sama sekali, bekerja berlebihan ataupun menghindarinya. Mereka merasa sedih karena belum memiliki keturunan, iri kepada keluarga atau teman yang lain yang sudah terlebih dahulu memiliki anak, bahkan marah ketika sering disinggung masalah tentang keturunan sehingga menjadi cemas yang dapat ditimbulkan dari ketidakpercayaan diri karena belum juga mempunyai anak. Hal ini dapat menyebakan isolasi, manipulasi, impulse dan narkisisme. Sesorang akan bersifat sensitif terhadap kritik dan tidak mampu berkompetisi. Secara biologis, orang tersebut sering tersinggung dan relatif bersifat sensitive terhadap siapapun dan akhirnya dapat menimbulkan konflik.

Pasangan yang infertil akan mengalami stres jangka panjang yang umumnya berlangsung secara periodik setiap bulan. Hal ini berkaitan dengan siklus menstruasi yang dialami oleh pihak isteri. Tingkat stres semakin memuncak apabila haid yang tidak diharapkan kemunculannya akhirnya datang juga, yang menunjukkan bahwa isteri tidak hamil. Stres yang timbul sebagai dampak dari infertilitas ini dapat juga ditimbulkan akibat biaya pengobatan yang tinggi, harus meluangkan waktu khusus, dan disiplin yang harus dipatuhi untuk menjalani serangkaian pemeriksaan dan pengobatan, serta harapan yang terlalu tinggi untuk mempunyai anak. Adapun stres lain dapat berasal dari tuntutan lingkungan yang mengharuskan untuk mempunyai anak.

Stres yang dialami pasangan dapat mengganggu keharmonisan perkawinan. Ketidakhadiran anak akan menurunkan kepuasan perkawinan. Beberapa problem seksual yang berhubungan dengan infertilitas antara lain : hilang atau rendahnya hasrat melakukan hubungan seksual, impotensi, ejakulasi dini pada pria, vaginismus, rasa sakit saat berhubungan seksual pada wanita, dan tidak dapat mencapai orgasme. Berkurangnya keintiman ini juga akan menimbulkan gangguan hubungan suami isteri dan mengurangi kepuasan perkawinan. Kepuasan perkawinan merupakan salah satu indikator kualitas perkawinan. Banyak perkawinan yang terancam ketahanannya dalam menghadapi krisis ini. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakmampuan dalam mengekspresikan kemarahan, rasa sakit, dan kekecewaan sehingga menimbulkan frustrasi.

Infertilitas dapat disebabkan oleh faktor suami maupun istri atau keduanya. Infertilitas merupakan masalah yang komplek dan dapat mengakibatkan dampak terhadap kualitas hidup. Pemeriksaan yang lebih dini dan penanganan yang efektif akan membantu pasangan keluar dari masalah tersebut. Segera kunjungi klinik Fertilitas Endokrinologi Reproduksi “Tunas Bangsa“ di RS Awalbros Sudirman Pekanbaru yang telah menyediakan fasilitas yang lengkap untuk penanganan infertilitasi.***

 

dr. Isa Ansori, SpOG(K)-FER Spesialis Obstetri dan Ginekologi Konsultan Fertilitas, Endokrinologi dan Reproduksi Klinik IVF  (Bayi Tabung) Tunas Bangsa









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook