Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah penduduk dengan golongan usia 10-19 tahun. Terbagi atas remaja awal (10-14 tahun), remaja pertengahan (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-19 tahun). Remaja merupakan aset bangsa yang sangat berharga, calon pemimpin dan penggerak pembangunan dimasa depan untuk mencapai Indonesia kuat.
Oleh karena itu perlu dipersiapkan dalam bidang kesehatan fisik dan psikologisnya melalui asupan gizi, pendidikan akademis serta pengembangan karakternya. Indonesia masih mengalami masalah gizi pada dua sisi (double burden) yaitu kelebihan zat gizi pada sebagian penduduk. Sementara masih terdapat kekurangan zat gizi mikro maupun makro pada sebagain penduduk lainnya. Masalah ini juga terjadi pada penduduk dengan golongan usia remaja, diantaranya adalah:
1. Kurang Zat Besi (Anemia)
Menurut data Riskesdas 2013 terdapat 18,4 persen remaja mengalami anemia di Indonesia
2. Kurang Tinggi Badan (Stunting)
Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 25,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 26,9 persen remaja usia 16-18 tahun mengalami tinggi badan pendek dan sangat pendek
3. Kurang Energi Protein (Malnutrisi)
Data Riskesdas 2018 juga menunjukkan terdapat 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 tahun berada dalam status gizi kurus dan sangat kurus
4. Kegemukan (obesitas)
Angka prevalensi berat badan berlebih dan obesitas di Indonesia adalah 16 persen pada remaja usia 13-15 tahun dan 13,5 persen pada remaja usia 16-18 tahun
Penyebab dari masalah gizi pada remaja ini sangatlah beragam mulai dari masalah kurangnya pengetahuan mengenai gizi dan nutrisi pada remaja, masalah ekonomi, dan masalah psikososial. Perubahan fisik, hormonal, dan emosional anak pada usia remaja juga akan memengaruhi status nutrisinya. Contohnya, remaja putri yang rentan terkena anemia karena telah mengalami periode datang bulan (haid) serta growth spurt (percepatan pertumbuhan) dan remaja putra akan mulai mengenal rokok sebagai pengaruh lingkungan.
Di samping itu, perkembangan zaman dan teknologi yang menyediakan berbagai kemudahan untuk mengakses makanan dan minuman cepat saji menyebabkan para remaja menjadi malas bergerak dan beraktivitas fisik.
Kondisi seperti ini membutuhkan intervensi spesifik yang komprehensif dengan tujuan untuk memperbaiki status gizi remaja, memutus rantai masalah gizi antar generasi, mengentaskan penyakit tidak menular dan kemiskinan, dimulai dari pendidikan gizi untuk kalangan remaja dan orang tuanya, fortifikasi zat gizi mikro dan penanganan penyakit penyerta.
Pendidikan gizi dapat dilakukan langsung kepada remaja itu sendiri dan orang tuanya. Karena remaja sudah mempunyai keinginan untuk memenuhi dan mengatur kebutuhannya sendiri, namun masih membutuhkan orang tua untuk mengawasi pilihan tersebut. Pendidikan gizi meliputi kebutuhan energi harian untuk remaja agar dapat beraktivitas dengan baik, jenis zat gizi makro dan mikro yang dibutuhkan sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG), serta bahan makanan sumber untuk memenuhinya.
Kebutuhan energi untuk remaja relatif lebih besar dari orang dewasa karena harus mempertimbangkan pertumbuhan tubuh dan aktivitas fisiknya. Kebutuhan energi berdasarkan AKG adalah 2.000-2.200 kkal/hari untuk perempuan dan 2.400-2.500 kkal/hari untuk laki-laki. Idealnya kebutuhan gizi dipenuhi dengan komposisi seimbang yaitu 50-60 persen karbohidrat, 15-20 persen protein, dan 20-30 persen berasal dari lemak.
Karbohidrat dan lemak dibutuhkan sebagai sumber energi, sementara protein dibutuhkan untuk zat pembangun, produksi hormon, enzim, dan perbaikan sel-sel yang rusak. Selain zat gizi makro tersebut, remaja juga harus memperoleh zat gizi mikro seperti kalsium, besi, seng dan berbagai vitamin untuk metabolisme zat gizi makro guna menunjang pertumbuhan dan perkembangannya.
Pemenuhan zat gizi makro dan mikro tersebut sebaiknya dari bahan makanan sumber alami bukan melalui fortifikasi atau suplementasi. Suplementasi dilakukan pada remaja-remaja yang memang telah terbukti mengalami defisiensi, misalnya pada remaja-remaja dengan anemia atau kekurangan energi protein (malnutrisi). Oleh karena itu diperlukan peran orang tua dalam proses pemilihan makanan oleh remaja agar jenis makanan yang dipilih adalah makanan-makanan dengan zat gizi yang baik untuk memperoleh generasi remaja Indonesia yang sehat dan berkualitas demi masa depan bersama.***