PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Uji klinik vaksin Sinovac telah masuk fase III dan selesai melakukan penyuntikan kepada seluruh sukarelawan yang dikerjakan di center Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad). Pendampingan dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak pengembangan protokol uji klinik dan inspeksi pelaksanaan uji klinik.
Sedangkan untuk memastikan mutu vaksin COVID-19, dilakukan inspeksi kesiapan fasilitas produksi, baik di Cina maupun di Bio Farma. Uji klinik merupakan tahapan penting guna mendapatkan data efektivitas dan keamanan yang valid untuk mendukung proses registrasi vaksin COVID-19.
Sejauh ini tidak ditemukan adanya reaksi yang berlebihan atau Serious Adverse Event yang ditemukan selama menjalankan uji klinik fase III di Unpad.
Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof Hindra Irawan Satiri SpA(K) MTropPaed menyampaikan perkembangan vaksin COVID-19 sudah masuk uji fase III. Tinggal menunggu laporan dari Brazil, China, Turki dan Indonesia. Setelah laporan selesai barulah keluar izin edarnya. Jadi untuk mendeteksi dan mengkaji apakah ada kaitannya imunisasi dengan KIPI ada ilmunya, yang disebut Farmakovigilans.
"Tujuannya, untuk meningkatkan keamanan, meyakinkan masyarakat, sehingga memberikan pelayanan yang aman bagi pasien dan memberikan informasi terpercaya. terangnya pada acara Dialog Produktif bertema Keamanan Vaksin dan Menjawab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (18/11/2020).
Lebih lanjut lagi, Prof Hindra menerangkan bahwa semua fase-fase uji klinik vaksin memiliki syarat yang harus dilakukan. Semua syarat harus terpenuhi baru boleh melanjutkan ke fase berikutnya. Namun dalam keadaan khusus, seperti pandemi COVID-19, proses dipercepat tanpa menghilangkan syarat-syarat yang diperlukan. Semua proses ini pun didukung oleh pembiayaan dan sumber daya yang dibutuhkan, sehingga proses-proses yang lebih panjang dalam penemuan vaksin bisa dipersingkat.
“Saya tidak setuju terminologi anti vaksin, masyarakat sebenarnya masih mis konsepsi. Artinya pengertian masyarakat belum mantap karena mendapat keterangan dari orang-orang yang kurang kompeten atau bukan bidangnya. Kita perlu mendapatkan informasi dari sumber-sumber terpercaya seperti organisasi profesi dan kesehatan terpercaya. Jangan dari situs yang tidak jelas, dari grup WhatsApp itu yang membingungkan masyarakat,” kata Prof Hindra.
Menjawab beragam mitos yang beredar di masyarakat, Prof Hindra berpendapat di masyarakat beredar mitos yang mengatakan vaksin mengandung zat berbahaya. Hal ini tidak benar, karena tentu saja kandungan vaksin sudah diuji sejak pra klinik.
Sebenarnya vaksin tidak berbahaya, namun perlu diingat vaksin itu produk biologis. Oleh sebab itu vaksin bisa menyebabkan nyeri, kemerahan dan pembengkakan yang merupakan reaksi alamiah dari vaksin.
Apabila ditemukan KIPI, sebenarnya semua masyarakat bisa melaporkan ke Komnas KIPI melalui situs, www.keamananvaksin.kemkes.go.id. Komnas KIPI sendiri merupakan Lembaga yang terbentuk sejak 2007 yang beranggotakan para ahli independen. Dengan kompetensi dan keilmuan terkait vaksinologi. Bahkan untuk menjangkau wilayah Indonesia yang luas, telah terbentuk Komite Daerah KIPI di 34 Provinsi.
“Yakinlah keamanan vaksin itu dipantau sejak awal. Bahkan setelah vaksin di registrasi, tetap dipantau dan dikaji keamanannya,” ujar Prof Hindra.
Laporan: Deslina (Pekanbaru)
Editor: Afiat Ananda