Sel darah merah yang pecah dapat menimbulkan penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan kadar zat besi dalam darah, dan pembesaran organ hati dan ginjal, sehingga penderita mengeluh susah makan dan perut membengkak. Transfusi berulang juga membuat penderita talasemia rentan/berisiko menderita penyakit infeksi menular melalui transfusi darah (IMLTD) seperti hepatitis B, hepatitis C atau infeksi HIV.
Namun kejadian IMLTD ini sudah sangat menurun, bahkan hampir tidak pernah terjadi lagi dengan peningkatan kualitas dan keamanan darah yang ditransfusikan kepada penderita talasemia. Penderita talasemia juga dapat mengalami penimbunan zat besi di tubuh akibat transfusi berulang. Zat besi yang berlebihan dalam tubuh dapat menimbulkan kerusakan organ vital seperti hati, jantung atau limpa sehingga memerlukan pengobatan khusus agar tidak terjadi kelebihan zat besi dalam tubuh. Pada talasemia mayor terjadi gejala berat berupa anemia berat, kulit berwarna kuning, pembesaran limpa, penimbunan zat besi, perubahan bentuk tulang muka, gangguan pertumbuhan (penderita talasemia biasanya bertubuh pendek) dan gejala lain akibat pemecahan sel darah merah sehingga pasien ini biasanya membutuhkan transfusi rutin dan pengobatan rutin ke Rumah Sakit.
Bagamimana cara mengetahui seseorang menderita talasemia atau tidak?
Adanya talasemia dapat diketahui riwayat perjalanan penyakit, dari gejala yang timbul dan dari penemuan dari pemeriksaan fisik pasien. Penderita talasemia biasanya mengalami gejala anemia dari ringan sampai berat, buang air kecil berwarna kecoklatan, penurunan nafsu makan, adanya riwayat keluarga seperti ayah / ibu atau saudara kandung adalah pederita talasemia. Disamping itu juga ada gejala lain yang menyertai anemia, tergantung berat ringannya kelainan gen yang diderita.
Pada pemeriksaan pasien diduga talasemia, biasanya didapatkan pasien terlihat pucat, terdapat pembesaran limpa dan hati (pembengkakan perut), kulit berwarna kuning, ada perubahan tulang muka dan tengkorak. Perubahan tersebut berupa rahang atas yang membesar (membuat wajah seperti tupai), gigi yang renggang, dan gigitan yang tidak pas. Masalah pada tulang ini terjadi akibat sumsum tulang sebagai produsen sel darah merah berusaha memproduksi sel darah merah lebih banyak untuk mengatasi anemia yang terjadi. Selain itu, pertambahan sumsum tulang berlebih juga dapat berpengaruh pada kekuatan tulang. Penderita talasemia cenderung memiliki tulang yang lebih rapuh dan mudah patah. Sehingga penderita juga lebih rentan terkena salah satu komplikasi talasemia berupa osteoporosis dan lain lain.
Untuk memastikan adanya talasemia pada pasien, perlu dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium. Adanya talasemia dapat ditentukan dengan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin, kadar zat besi dalam plasma, pemeriksaan komposisi hemoglobin, serta pemeriksaan genetic (tes DNA) untuk melihat adanya mutasi pada gen globin alfa yang terletak pada kromosom 16 dan gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada pemeriksaan darah rutin biasanya didapatkan penurunan kadar hemoglobin (anemia), ukuran sel darah merah lebih kecil dan lebih pucat dari biasanya, didapatkan banyak pecahan sel darah merah dan terdapat perubahan bentuk sel darah merah yang tidak normal seperti adanya sel target, eritrosit polikromasi dan lain-lain.
Pemeriksaan kadar zat besi juga perlu dilakukan untuk membedakan talasemia dengan anemia akibat kekurangan/defisiensi besi dan juga dapat mengetahui apakah terdapat kelebihan besi dalam tubuh yang perlu mendapat penanganan. Pemeriksaan analisa hemoglobin dengan metode elektroforesis dapat memastikan apakah seseorang menderita talasemia atau tidak, sehingga merupakan tes baku emas untuk talasemia. Pada penderita talasemia biasanya akan didapatkan peningkatan HbA2 dan HbF, namun meskipun demikian tidak semua jenis talasemia akan memberikan hasil tidak normal pada pemeriksaan analisa hemoglobin, sehingga diperlukan pemeriksaan genetic (tes DNA) untuk memastikan diagnosis.
Tes DNA adalah satu-satunya cara untuk memastikan karier talasemia alfa. Tes DNA juga dapat dilakukan untuk pemeriksaan bayi dalam kandungan. Penderita karier talasemia biasanya tidak menimbulkan masalah kesehatan yang serius, meskipun demikian wanita penderita karier talasemia lebih berisiko mengalami anemia selama kehamilan diibanding wanita yang bukan karier talasemia. Dengan mengetahui apakah seseorang karier talasemia atau bukan terutama pada orang usia reproduktif, maka dapat dilakukan konseling pranikah. Pasien karier talasemia sebaiknya melalukan medical checkup pra-nikah untuk memastikan pasangannya tidak membawa gen talasemia dan merencanakan kehamilan secara tepat, sehingga mengurangi kemungkinan mendapatkan keturunan penderita talasemia.
Pengobatan Talasemia
Tidak semua penderita talasemia membutuhkan pengobatan. Penderita talasemia dengan gejala ringan biasanya tidak membutuhkan pengobatan. Penderita dengan gejala sedang atau berat mungkin memerlukan pengobatan seperti transfusi darah berupa sel darah merah. Transfusi ini meskipun berguna untuk meningkatkan kadar hemoglobin darah, tapi tetap memiliki risiko yang merugikan seperti meningkatkan kadar zat besi dalam darah yang dapat menimbulkan kerusakan pada organ hati, jantung, limpa dan lain lain.
Selain transfusi, penderita talasemia juga diberikan pengobatan untuk membuang kelebihan zat besi dalam tubuh. Kelebihan zat besi ini umumnya terjadi akibat transfusi berulang meskipun anemia hemolitik yang terjadi pada penderita talasemia juga dapat menyebabkan peningkatan zat besi dalam darah. Pada beberapa kasus talasemia juga dapat dilakukan pengobatan berupa transplantasi stem cell. Tranplantasi stem cell ini biasa dilakukan pada penderita talasemia berat/mayor, sehingga mengurangi kebutuhan terhadap transfusi dan konsumsi obat pengurang zat besi. Donor terbaik bagi transplantasi stem cell ini adalah saudara kembar, saudara kandung atau orang tua. Namun, pengobatan transplantasi stem cell ini masih belum diadakan rutin di Indonesia dan masih dalam tahap riset/penelitian untuk pengembangan.
Pencegahan Talasemia
Talasemia adalah kelainan darah yang tidak dapat disembuhkan, tapi dapat dicegah. Program pencegahan talasemia di Indonesia dimulai oleh Lembaga Eijkman Jakarta. Lembaga Eijkman dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah melakukan skrining pra nikah dan konseling genetic yang melibatkan 20 kota di Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Indonesia dan LSM Yayasan Talasemia Indonesia. Pada saat ini talasemia sudah masuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang menjamin biaya transfusi dan pemberian obat pengikat zat besi. Meskipun demikian, dengan meningkatnya angka harapan hidup, juga terjadi peningkatan biaya perawatan untuk pasien talasemia sehingga diperlukan suatu program dan kebijakan khusus untuk mencegah bertambah banyaknya penderita talasemia. Saat ini talasemia termasuk dalam 5 penyakit paling mematikan di Indonesia, sehingga pemerintah telah membuat kebijakan khusus terkait talasemia terutama kebijakan untuk mengoptimalkan program pencegahan talasemia. Selain itu juga dibuat kebijakan nasional untuk talasemia bertujuan untuk deteksi dini, pengobatan yang tepat, mengurangi angka kematian dan kesakitan serta meningkatkan kualitas hidup penderita talasemia.****
DR dr Fatmawati SpPK (K), Dokter Spesialis Patologi Klinik Konsultan Imunologi RS Awal Bros Pekanbaru