JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Tanaman kelor yang bernama latin Moringa Oleifera Lam dan dijuluki tanaman ajaib oleh World Healthy Organization (WHO), ternyata punya berbagai manfaat bagi tubuh manusia. Hal ini dikemukakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Kandungan kalsium kelor lebih tinggi dibanding tanaman lain. Bahkan jika dibandingkan dengan susu sapi sekalipun. Padahal selama ini susu sapi dikenal sebagai sumber utama kalsium bagi manusia,” kata Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Ridwan dalam keterangan di Jakarta, Kamis (9/3).
Ridwan mengatakan, setiap 100 gram susu sapi mengandung rata-rata 143 miligram kalsium. Sedangkan daun kelor kering dengan berat yang sama punya kandungan kalsium 17 kali lipat.
Ridwan pernah menganalisis dan membandingkan kandungan kalsium daun kelor dari beberapa daerah di Indonesia. Berdasarkan riset itu, dia menemukan fakta ada daun kelor yang memiliki kalsium hingga mencapai 21 kali lipat dibandingkan kalsium susu sapi yaitu 3.000 miligram per 100 gram. Tak hanya itu tanaman kelor juga memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sekitar 25-34 persen, setara dengan kandungan protein pada kacang-kacangan, namun masih belum sebanding dengan protein biji kedelai yang mencapai 36 persen.
“Beberapa tahun terakhir, pemanfaatan tanaman kelor meningkat secara signifikan baik sebagai bahan makanan, obat-obatan, dan kosmetik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya pengetahuan kandungan gizi dan potensi farmasi kelor,” kata Ridwan.
Selain tinggi kandungan kalsium dan protein, lanjutnya, kelor juga mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai anti-bakteri, antioksidan, anti-fungi, anti-inflamasi, anti-kanker, anti-obesitas, dan anti-kolesterol. Senyawa metabolit sekunder memiliki beberapa fungsi lain, di antaranya sebagai atraktan (menarik serangga penyerbuk), pelindung dari stres lingkungan, pelindung dari serangan hama atau penyakit (phytoaleksin), pelindung terhadap sinar ultra violet, dan sebagai zat pengatur tumbuh.
“Senyawa metabolit sekunder sulit disintesa dan jarang dijumpai di pasaran, sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Senyawa bioaktif yang paling banyak diincar dalam kelor adalah flavonoid,” ujar Ridwan.
Lebih lanjut ia menyampaikan kelor mengandung berbagai jenis flavonoid senyawa seperti quercetin, kaempferol, isorhamnetin, apigenin, dan myricetin. Kandungan flavonoid daun kelor dilaporkan lebih tinggi dari tanaman lain, seperti bayam, brokoli, dan sayuran lainnya. Bahkan riset ilmuwan di Spanyol menyatakan kandungan flavonoid daun kelor lebih tinggi mencapai 327,2 miligram per 100 gram dibandingkan 19 sayuran yang biasa dikonsumsi dalam kemasan salad kisaran 3,8 sampai 191 miligram per 100 gram.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang baru-baru ini telah banyak dipelajari dan digunakan dalam bidang kesehatan. Kandungan ini memiliki fungsi potensial sebagai antivirus atau bakteri, anti-diabetes, anti-kanker, anti-inflamasi, dan untuk pengobatan penyakit degeneratif, tetapi terutama memiliki berfungsi sebagai antioksidan. Sebagai senyawa fitokimia, flavonoid tidak disintesis pada tubuh manusia ataupun hewan. Biosintesis flavonoid terjadi di hampir bagian tanaman, terutama dalam sel fotosintesis.
Kelor merupakan salah satu tanaman yang telah diketahui mengandung senyawa flavonoid dengan aktivitas antioksidan yang tinggi. Namun kandungan flavonoid tanaman ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya intensitas, dan ketersediaan air.
“Kelor yang tumbuh pada musim kemarau kandungan flavonoidnya lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Bahkan dilaporkan konsentrasi flavonoid dalam daun kelor juga meningkat saat diperlakukan dengan menahan air selama 30 hari,” ungkap Ridwan.
Sebelumnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan ingin kelor sebagai makanan tradisional dan tanaman herbal layaknya ginseng dari Korea Selatan. Dia menginginkan khasiat dari tumbuhan kelor di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat internasional.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman