TERKAIT METODE "CUCI OTAK"

Ketua IDI: Profesi Kedokteran Berpotensi Terpecah karena Dokter Terawan

Kesehatan | Senin, 09 April 2018 - 18:45 WIB

Ketua IDI: Profesi Kedokteran Berpotensi Terpecah karena Dokter Terawan
dr. Terawan. (JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Rekomendasi sanksi pemecatan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK)Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K) pada pekan lalu menuai banyak komentar dari pejabat hingga warganet.

Hal itu lantaran metode "cuci otak" sang dokter yang dianggap banyak menolong orang justru dipermasalahkan. Menurut Ketua Umum PB IDI Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG, tindakan terapi menggunakan metode Digital Substraction Angiogram (DSA) itu telah menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.

Baca Juga :Berikan Tambahan Modal bagi UMKM dan Peternak

Dia menyebut, masalah itu pun berpotensi menimbulkan perpecahan di kalangan profesi dokter.

"Ini menimbulkan kegaduhan dan keresahan di masyarakat serta kalangan profesi dokter berpotensi menyebabkan perpecahan. Perdebatan secara terbuka di masyarakat dan bukan pada tempatnya di kalangan dokter," sebutnya dalam konferensi pers, Senin (9/4/2018).

Ditambahkannya, memang metode "cuci otak" telah dibuktikan dokter Terawan melalui riset saat menempuh jenjang S3 atau program Dokornya.

"Sudah dibuktikan juga bahwa Heparin yang digunakan dapat membuka sunbatan kronik pasien stroke dalam 1 bulan. Hal itu sudah dibuktikan secara akademis oleh dokter Terawan," terangnya.

Namun, diingatkannya bahwa pada tahap selanjutnya yang dipertanyakan adalah apakah dengan temuan itu bisa diterapkan secara massal kepada masyarakat secara luas. Dia menegaskan, itulah yang harus diterapkan dalam uji klinis.

"Harus paham bahwa masih ada tahapan selanjutnya. Yang dilakukan dokter Terawan itu baru tahapan 1," tegasnya.

Karena itu, untuk menguji klinis, selanjutnya merupakan ranah tim Health Technology Assesment (HTA). Sementara IDI hanya mengurusi masalah etik. HTA adalah suatu badan yang menjawab perkembangan teknologi pengobatan.

Diketahui, yang mengatur standar pelayanan dan prosedur hal itu merupakan ranah Kementerian Kesehatan.

"Jika belum ditetapkan, maka tentu secara praktik belum boleh dilakukan. Harus melalui uji klinis lanjutan," tutupnya. (ika)

Sumber: JPG

Editor: Boy Riza Utama









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook