Diabetes melitus (DM) tipe 1 adalah penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat pankreas tidak mampu mensekresi insulin. Berbeda dengan DM tipe 2 yang umumnya terjadi pada dewasa dan akibat resistensi insulin, kondisi DM tipe 1 umumnya terjadi akibat destruksi sel beta pankreas karena proses autoimun. Seseorang yang mengalami DM tipe 1 dapat terjadi pada usia yang lebih muda.
Insidens DM Tipe 1 di dunia adalah 15 orang per 100.000 penduduk, sedangkan prevalens DM Tipe1 adalah 9,5 per 10.000 penduduk. Data unit kerja koordinasi (UKK) Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan pada tahun 2022 terdapat 1.368 anak dengan DM Tipe 1 dengan usia rerata 12-18 tahun, terdiri atas 813 perempuan dan 555 lelaki. Insidens DM Tipe 1 meningkat tujuh kali lipat dari 3,88 menjadi 28,19 per 100 juta penduduk pada tahun 2019. Data di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo pada tahun 2022 terdapat 221 pasien DM Tipe 1 terdiri atas; usia 0 – 5 tahun berjumlah 9 orang, usia 6 – 12 tahun berjumlah 45 orang, dan usia 13 – 18 tahun berjumlah 115 orang.
Penyebab DM Tipe 1
Hormon utama yang berperan dalam mengatur pengambilan glukosa dari darah ke sebagian besar sel tubuh yaitu hati, otot, dan jaringan adiposa adalah insulin. Oleh karena itu, apabila terjadi kekurangan jumlah atau berkurangnya sensitivitas reseptor dikenal sebagai penyakit diabetes melitus. Sel beta yang ditemukan pada pulau Langerhans di pankreas, melepaskan insulin ke dalam darah sebagai respons terhadap peningkatan kadar glukosa darah. Sekitar dua pertiga dari sel tubuh menggunakan insulin untuk penyerapan glukosa dari darah untuk digunakan sebagai bahan bakar, untuk konversi ke molekul lain yang dibutuhkan, atau untuk penyimpanan. Penurunan pelepasan insulin dari sel beta dan pemecahan glikogen menjadi glukosa merupakan hasil dari kadar glukosa yang lebih rendah.
Pada DM Tipe 1 terjadi destruksi sel beta melalui yang terjadi akibat multifaktorial. Variasi gen yang mempengaruhi lebih dari 1 persen kelompok populasi disebut varian gen. Saat, ini sudah diketahui lebih dari 40 lokus gen yang berpengaruh terhadap kejadian DM Tipe 1. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah infeksi virus dan diet. Sindrom rubela kongenital serta infeksi Coxsackievirus atau Enterovirus diketahui dapat mencetuskan terjadinya DM Tipe 1 pada seseorang.
Tahapan DM Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 dapat terjadi dalam beberapa tahapan. Tahap pertama disebut juga sebagai tahapan autoimmunity dengan normoglycemia atau presymptomatic, dimana pada tahap ini, individu sudah memiliki risiko mengenai DM Tipe 1 namun memiliki kadar gula yang normal.
Bagi anak - anak yang sudah dilakukan skrining pada saat lahir ataupun ketika mencapai tahapan satu ini, risiko terjadinya gejala dalam 5 hingga 10 tahun ke depan memiliki prevalens antara 44 - 70 persen. Tahapan 1 ini memiliki kesamaan genetik dengan anak - anak ataupun individu yang memang sudah didiagnosa dengan DM Tipe 1.
Selanjutnya, pada tahap 2 atau yang disebut sebagai tahap autoimmunity dengan dysglycemia/presymptomatic tipe 1, merupakan tahapan yang sama dengan tahap 1, namun penyakit pada individu tersebut sudah mulai berkembang dengan adanya intoleransi terhadap glukosa, ataupun hilangnya fungsi dari sel beta. Gejala yang muncul pada tahap 2 ini mencapai hingga 75 persen hingga 5 tahun kedepan.
Lalu, pada tahap 3, tahapan yang terakhir, munculnya manifestasi klinis dari penyakit DM Tipe 1 yang memang menjadi penanda diabetes, seperti halnya poliuria, polidipsia, menurunnya berat badan, rasa lelah, ketoasidosis diabetikum (KAD), dan lainnya.
Bagaimana menegakkan diagnosis DM Tipe 1?
Terdapat beberapa metode untuk mendiagnosis DM Tipe 1.
1. Konsentrasi glukosa darah puasa (GDP) di atas 7,0 mmol/L (126 mg/dL),
2. Konsentrasi glukosa darah sewaktu di (GDS) atas 11,1 mmol/L (200 mg/dL) dengan gejala, atau abnormalitas hasil dari tes toleransi glukosa oral.
3. Diagnosis diabetes juga dapat ditegakkan berdasarkan konsentrasi hemoglobin terglikasi (HbA1c) di atas 48 mmol/mol (6,5 persen).
Anak dengan DM Tipe 1 biasanya datang dengan gejala poliuria (banyak buang air kecil) , polidipsia (banyak minum air), polifagia (banyak makan) dan penurunan berat badan. Sekitar sepertiga pasien datang dengan kondisi ketoasidosis diabetikum. Meskipun secara umum DM Tipe 1 diklasifikasikan sebagai onset remaja, penyakit ini dapat terjadi pada usia berapa pun, dengan hingga 50 persen kasus terjadi pada usia dewasa. Sebanyak 50 persen orang dewasa dengan DM Tipe 1 biasanya didiagnosis sebagai penderita DM Tipe 2.
Dalam penegakan diagnosis DM Tipe 1 dan membedakan dengan DM Tipe 2, maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar C-peptida.
Komplikasi DM Tipe 1
Komplikasi DM Tipe 1 dapat dibagi menjadi 2 secara umum.
Komplikasi akut: Hipoglikemia (penurunan kadar glukosa darah dibawah normal) dan ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan komplikasi DM Tipe 1 bersifat akut yang berpotensi mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetikum terjadi jika kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dL disertai dengan kondisi asidosis metabolik (pH darah < 7.3 atau HCO3 < 15) dan ketonemia/ ketonuria.
Sedangkan komplikasi kronis pada DM Tipe 1 dapat terjadi pada perubahan mikrovaskular yang dapat berupa retinopati, neuropati, serta nefropati dan makrovaskular yang dapat berupa gangguan kardiovaskular, gangguan pembuluh darah pada otak, serta penyakit pada arteri perifer.
Tata laksana DM Tipe 1
Tujuan dari tata laksana DM Tipe 1 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan menghindari komplikasi yang dapat muncul. Terdapat lima pilar tata laksana DM tipe 1, antara lain:
1. Pemberian insulin, dikarenakan pasien DM Tipe 1 tidak dapat menghasikan insulin akibat tidak adekuatnya insulin yang dihasilkan di pankreas, maka pasien membutuhkan insulin seumur hidup. Modifikasi dosis diperlukan sesuai dengan kadar glukosa darah dan kontrol diabetes masing-masing individu.
2. Pemantauan glukosa darah. Pasien harus memeriksa glukosa darah sebelum makan, 2 sampai 3 jam setelah makan (saat menyesuaikan dosis prandial), sebelum tidur, dan ketika terdapat kecurigaan mengalami hipoglikemia.
3. Pemberian nutrisi yang sesuai agar tumbuh kembang anak dapat optimal dan dapat mencegah dari komplikasi akut maupun kronis.
4. Aktivitas fisik merupakan tatalaksana non farmakologis yang berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan kebutuhan tubuh akan insulin.
5. Edukasi memiliki peranan yang signifikan dan berpengaruh positif terhadap kontrol glikemik dan keadaan psikososial pasien. Akibat dari manajemen perawatan DM Tipe 1 yang bersifat kompleks dan bertujuan untuk memelihara kesehatan serta menjaga kualitas hidup penderita, penting untuk dilakukannya manajemen mandiri.
Jika seorang anak memiliki gejala khas DM Tipe 1, perlu segera dilakukan pemeriksaan ke dokter untuk medapatkan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang tepat. Penatalaksaan DM Tipe 1 yang tepat dapat mencegah seseorang dari komplikasi dan menjaga tumbuh kembang seorang anak tetap baik dan optimal, karena “No child should die from Diabetes”.***