MENIKMATI LEMANG DI BANGKINANG SEBERANG

Suasana Hari Raya Ziarah di Kampar

Kampar | Jumat, 21 Mei 2021 - 10:46 WIB

Suasana Hari Raya Ziarah di Kampar
Peziarah kubur baru saja selesai membersihkan dan berdoa di kuburan leluhur mereka di pemakaman umum di Muara Uwai, Bangkinang Seberang, Kampar, Kamis (20/5/2021). (HENDRAWAN KARIMAN/RIAU POS)

BANGKINANG (RIAUPOS.CO) - Pada era kolonial Belanda, kerajaan yang terkenal dengan serikat dagang Hindia Timur-nya itu, memisahkan secara ketat antara negara dan agama. Hingga hampir tidak ada semangat gospel atau menyebarkan agama dibawa Belanda ke Indonesia. Hal ini membuat agama Islam di nusantara, termasuk di Kabupaten Kampar, tetap berkembang pesat.  Festival dan tradisi yang memiliki ruh keagamaan seperti Hari Raya Idulfitri maupun Hari Raya Ziarah atau Hari Raya Enam di Kampar, mendapat tempat yang nyaman.
 
Khususnya Hari Raya Ziarah, tradisi ini sudah ratusan tahun menjadi kebiasan masyarakat Kampar, khususnya di Bangkinang dan sekitarnya, seperti halnya tradisi mandi balimau. Hampir tidak terpisahkan, tidak bisa ditinggalkan sebagaimana perayaan besar Islam lainnya. Bahkan pandemi Covid-19 tidak mampu menghentikannya.

 Awalnya wartawan yakin, Hari Raya Ziarah kali ini tidak akan bakal ramai seperti tahun-tahun sebelumnya. Keyakinan ini mendapat pembenaran ketika wartawan tiba di pusat perayaan tersebut, yang paling ramai di Kampar yaitu di Bangkinang seberang sekitar pukul 10.30 WIB kemarin. Jalan masuk ke Muara Uway, salah satu perkampung tua di Bangkinang Seberang (kini menjadi Kecamatan Bangkinang) jalanan tidaklah sibuk seperti biasa.


Memang ada banyak rumah-rumah yang menerima tamu. Para pemuda dan remaja terlihat hilir-mudik berjalan kaki degan stelan baju baru, kebanyakan baju batik, seperti baru pulang berziarah kubur. Kuburan lama dan biasanya paling ramai, juga terlihat sepi. Hanya terlihat satu keluarga yang sedang berdoa di salah satu pusara di komplek perkuburan dekat Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib.

Sementara masyarakat lainnya ada yang duduk di kedai-kedai di tepian sungai, ada remaja yang terlihat dari perkotaan sedang mandi-mandi di sungai dengan baju lengkap. Mereka berendam di air sungai yang lumayan dalam pada Kamis (20/5) itu, tapi warnanya jernih. 

Sebuah kendaraan mewah terparkir di tepi sungai. Ya, mereka memang dari luar Kota Bangkinang dan sedang berziarah ke kampung halaman leluhur mereka, tapi tidak ingin melewatkan godaan sejuknya air Sungai Kampar.

Kondisi ini membuat wartawan terkejut. Untuk pertama kalinya Hari Raya Enam sepi. Padahal tidak ada larangan dari pemerintah, kendati pada hari itu diawasi Satgas Covid-19. Penasaran, wartawan melanjutkan perjalanan menggunakan sepeda motor pada hari yang terik itu ke perkampungan lama selanjutnya, Desa Binuang. Sebelum masuk ke desa tersebut, ada sebuah pemakaman tua, juga sepi.

Pemakaman yang menjadi tempat peristirahat terakhir pahlawan lokal Kampar Panglima Imam Bonjol, Datuk Tabano, juga sepi. Tidak ada peziarah. Hanya saja, masjid yang tidak jauh dari pemakaman tersebut, Masjid Al-Mujahidin, terlihat sisa-sisa peralatan makan. Ternyata di sini Makan Bajambau telah usai. Makan Bajambau pada tradisi ini adalah prosesi terakhir Hari Raya Ziarah bagi masyarakat Kampar, khususnya di Bangkinang.

Prosesi awal Hari Raya Ziarah ini, menurut salah seorang warga Langgini Guntur (32), adalah berjalan kaki atau berkendara secara bersama-sama dari perkampungan yang ada di seberang Bangkinang seberang. Mereka akan menyebrang sungai ke kampung lama, dahulunya dengan sampan, melalui Kelurahan Pulau. Dari sana, para warga Langgini ini, akan berpisah.

Begitu menyeberang, mereka berpencar menuju makam leluhur mereka masing-masing untuk berziarah. Makam-makam itu ada di berbagai dusun. Dua di antaranya, yang paling ramai ada di Muara Uwai sebagai urat nadinya Bangkinang Seberang. Makam itu adalah Makam Dekat Daarun Nahdhah Thawalib lalu kompleks makam tempat Datuk Tabano disemayamkan.

Melihat dua makam itu sepi, setelah mengambil beberapa foto dengan kurang semangat, wartawan memilih pulang ke Bangkinang Kota. Belum lama sampai di Kota, sekitar pukul 11.20 WIB, seorang kawan menelepon lewat panggilan video. 

Namanya Dani Putra, warga asli Kelurahan Pulau, salah satu perkampungan lama Bangkinang. ‘’Di mana Bang, ke rumahlah, makan lemang dengan sari kaya kita,’’ ajaknya dari seberang telepon di Kelurahan Pulau itu.

Wartawan pun bergegas memacu sepeda motor untuk kembali ke Bangkinang seberang. Hanya saja kali ini jalan masuk ke arah Muara Uwai sudah padat dan macet. Jalan menuju ke sana, Jalan Abdul Malik, padat merayap.

Ternyata Perayaan Hari Raya Enam atau Hari Raya Ziarah baru saja dimulai. Tidak hanya dipersimpangan Jalan Lintas Bangkinang-Petapahan, kondisi padat merayap ini hampir sepanjang jalan yang banyak terdapat kuburan-kuburan leluhur masyarakat Bangkinang tersebut.

Sempai di rumah kawan tadi, di rumah Dani, ternyata dirinya sedang menerima tamu. Tanpa basa-basi istrinya mengeluarkan lemang pulut dan lemang tepung yang dibalut daun pisang. Makanan khas Hari Raya Enam itu ditemani sepiring penuh Sari Kaya, colekan teman terbaik Lemang yang terbuat dari gula merah, kayu manis dan susu. Tidak perlu wartawan tuliskan bagaimana rasanya, pembaca bisa mencobanya sendiri.

Sambil makan lemang seukuran bambu dan sudah dipotong kecil-kecil tersebut, Dani kembali kedatangan tamu. Dirinya memang sengaja tidak berjalan dan memilih di rumah saja. Sebagai warga kampung lama, adalah sebuah tradisi bagi dirinya bertugas menunggu tamu yang biasa datang dari kampung baru maupun perantauan dari luar daerah.

‘’Di sini Bang, Hari Raya Enam lebih ramai dari Hari Raya Idulfitri. Lebih semarak, karena orang-orang dari jauh datang. Mereka yang merantau membawa anak-bini melihat sanak saudara mereka yang ada di sini,’’ sebut Dani.

Tradisi Hari Raya Ziarah ini bisa dirunut sejak pertama kalinya sebagian masyarakat Bangkinang seberang pindah atau membuat perkampungan baru. Banyak faktor perpindahan ini. Salah satunya karena kawasan itu, terutama Muara Uwai, sudah sangat padat. Hal ini tidak dimungkinkan lagi menjalani hidup sebagai masyarakat agraris.      

Mereka, warga yang berasal dari beberapa perkampungan lama di Bangkinang seberang yang pindah ke perkampungan baru itu, seperti di Langgini (kini menjadi nama kelurahan) ataupun Kumantan, mulai melakukan ziarah kubur setelah menyelesaikan puasa sunat enam hari pada bulan Syawal penanggalan Hijriah. Hari itu merupakan hari ke-7 atau ke-8 bulan Syawal. Ini disebabkan tanggal 1 Syawal diharamkan untuk berpuasa.

Kampung Orang-orang Besar

Bangkinang seberang terkenal sebagai salah satu perkampungan lama yang menjadi pusat pendidikan, syiar agama Islam dan juga perdagangan. Pada masa kolonial, kawasan ini, untuk wilayah Kampar, hanya bisa disaingi oleh Desa Tanjung Berulak Air Tiris tempat berdirinya masjid  tertua di Riau yang juga tempat pusat pendidikan agama Islam. Bedanya, Bangkinang seberang hingga hari ini terus melahirkan orang-orang besar.

Mulai dari pejabat publik, politikus, tokoh agama maupun para pengusaha. Beberapa nama tersohor di Kampar dan Pekanbaru, bisa kita sebutkan ada Sekretaris Daerah (Sekda) Kampar Yusri. Lalu ada Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Pekanbaru M Jamil. 

Untuk tingkat eksekutif ada mantan Bupati Kampar Jefry Noer dan Wali Kota Pekanbaru Firdaus. Sementara untuk politisi ada mantan Ketua DPRD Kampar Ahmad Fikri. Ini belum masuk para buya dan pengusaha dari perantauan.***

Laporan : HENDRAWAN KARIMAN (Bangkinang)
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook