JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Menyambut hari pariwisata dunia 27 September 2022, pada episode kali ini Riyono Gede Trisoko mengungkapkan pentingnya menggunakan nilai budaya sebagai daya tarik dalam pengembangan pariwisata.
Pariwisata yang telah digemborkan sebagai lokomotif ekonomi sudah sepatutnya kita selaku pelaku pariwisata atau masyarakat menempatkan berbagai kegiatan menjadi bagian dari gerbong pembangunan pariwisata sebagai sebuah nawa cita kita bersama.
Hal ini perlu dikuatkan terutama pada budaya lokal karena sebagai bagian pengembangan kebijakan pariwisata bukan hanya secara nasional, tetapi internasional.
Anthropologi dalam membangun pariwisata dengan mengembangkan nilai budaya merupakan sebuah strategi jitu dan yang tepat untuk menumbuhkan keunikan produk-produk pariwisata di hilir. Hal ini dapat terjadi karena setiap daerah memiliki bentuk geografi dan demografi dengan karakter sendiri-sendiri sesuai dengan kondisi lingkungannya, sebagai kesadaran dalam kesatuan ekosistem yang utuh.
Oleh karenanya satu hal yang perlu kita pelajari bersama adalah bahwa di tengah kuatnya arus digitalisasi ternyata inisiatif masyarakat terhadap keperluan offline tetap ada, bahkan boleh jadi semakin menarik.
Nah, jikalau kita melihat bagaimana karakter geografi dari dataran tinggi Bukittinggi misalnya, akan memiliki nilai sebagai cara hidup yang berbeda dalam menyikapi iklim yang ada, hal ini terlihat pada menu makanan dengan kuatnya keperluan daging, sate misalnya, atau pada kuliner sorabi yang lebih berkesan dibakar. Demikian halnya dengan Riau yang memiliki sungai, hutan dan heterogenitasnya, sudah seharusnya akan memiliki arah pembangunan parwisatanya berbeda dengan di Sumatera Barat. Sensasi inilah yang merupakan suatu keunikan dari penikmatan pariwisata offline.
Wajar setiap daerah atau banyak daerah kemudian mengembangkan ciri khas budaya lokal sebagai sebuah daya tarik, yang dikenal dengan OVOV. Di sini yang perlu kita lakukan adalah mengeksplor setiap nilai agar menjadi menarik bagi suatu destinasi melalui atribut-atribut baik yang materialism ataupun imaginatif value yang bukan hanya dari sisi kehidupan tetapi juga menjadi sebuah perilaku, norma, adat hingga kemanfaatan sebagai sebuah konsep yang harus diterjemahkan menjadi tata cara kearipan yang patut untuk dikembangkan lebih lanjut. Ya, karena sesungguhnya kebudayaan di dalam konsep pariwisata itu lebih kepada perilaku berkehidupan, yang dipadukan dengan aktivitas perjalanan dan rasa menikmati.
Melaui konsep ini ada beberapa hal yang penulis sampaikan, sehingga makna hari pariwisata dunia ini bisa kita jadikan sebuah wadah untuk merefleksikan kehidupan pariwisata.
Pertama kita harus menempatkan bahwa membangun di dalam gerbong pariwisata berarti sebenarnya kita sedang berusaha mencukupi kebutuhan masyarakat, karena kota yang modern itu akan selalu mampu memenuhi keperluan masyarakat. Dalam konsep seperti ini maka nilai-nilai kebudayaan sebagaimana yang penulis sampaikan di atas itu adalah pengejawantahan makna dalam perilaku-perilaku yang menjadi khasanah di dalam aktivitas pariwisata.
Banyak nilai yang dapat dikembangkan dalam cakupan untuk mencukupi keperluan masyarakat itu dapat menjadi, seperti nilai kesempatan yakni menciptakan suasana yang teduh untuk masyarakat, atau nilai kebersamaan melalui keterlibatan atau kemoderatan sehingga banyak yang merasakan manfaat, atau nilai kedamaian melalui terciptanya kerukunan hidup – kebebasan berekspresi dan beraktivitas dan masih banyak tentunya, yang kesemuanya memberi kesempatan kita menemukan kontens sebagai makluk sosial.
Kedua, penulis mengangkat tentang perlunya paham terhadap membangun segmentasi pariwisata. Ya penulis melihat disekitar kita bagaimana pandemi Covid-19 memaksa kita mengubah perilaku kita berwisata, dan ini mengakibatkan akan dua hal, yakni berkembangnya banyak tempat wisata baru dan fokusnya jenis usaha kepariwisataan. Keadaan yang demikian mendorong pentingnya pemahaman diri lingkungan dan masyarakat agar tiap tiap produk kepariwisataan memiliki segmen sebagai basis ketahanan sosialnya, karena ada yang memerlukan sehingga strategi komunikasi lebih fokus pada memlihara segmen, karena pengaruh influencer hanya sekitar20 persen.
Ketiga, pengembangan produk pariwisata khususnya pada masa saat ini yang lebih mengarah kepada kreativitas, inovatif sebagai strategi menemukan seemless exsperience. Mengapa, karena humanisme liberalisme yang dibawa teknologi telah mengajarkan tentang kenyamanan pemenuhan indivudu menjadi suatu keperluan baru yakni, personal dan keunikan. Tekanan yang demikian ini mau tidak mau melahirkan ide inovatif dan kreatif yang produk hilirnya terdiversifikasi dan terdiferensiasi sedemikian rupa. Karenanya diperlukan sentuhan khusus agar kekuatan keanekaragaman menjadi suatu potensi yang diangkat melalui services.
Godaan FoMo dalam masyarakat modern telah mengharuskan setiap orang setiap individu untuk diperhatikan karena tuntutan rasa kemanusiaan, tentu tidak salah, dan bagi pariwisata ini sangat senarik sekali. Di sini terbukti dengan menjamurnya obyek wisata yang instagramable. Nah, terbayang betapa besarnya kekuatan yang ditimbulkan dari seemless experience menjadi sebuah peluang atau mungkin sebagai brand awareness.
Keempat yang tidak kalah pentingnya dalam pengembangan pariwisata terlebih dalam konsep kawasan pariwisata dengan karakter geografi dan demografi Riau, maka konsep pertama, kedua dan ketiga harus mendukung pola pembangunan konsep yang keempat untuk mendorong terjadinya sinkronisasi.
Tidak dipungkiri bahwa ukuran majunya pariwisata oleh pemerintah itu lebih banyak diukur besarnya PAD dari sektor pariwisata untuk Pekanbaru, Riau dan ini tidak dipungkiri, karenanya tidak salah adanya penilanian tentang Riau lebih baik dari Sumbar. Namun demikian pertumbuhan bisnis itu harusnya dibarengi dengan pertumbuhan sikap sebagai kematangan sosial, yang ini dapat kita lihat kuatnya semangat masyarakat membangun pariwisata Pekanbaru yang berbanding lurus pada sektor pendapatan yang diterima dan tumbuhnya moderasi sosial budaya ekonomi. Karenanya penataan demografi dan anthropologinya harus menggambarkan akan daya tarik arus lintas produk, dari mana pintu entripoint-nya di mana rest areanya kemana tujuan utamanya hingga dari mana pintu check out-nya, tersusun sebagai suatu peta pariwisata Riau.
Pada poin ini bukanlah hal yang ringan, karena membangun tentang arus wisata tidak semudah bercerita karena melibatkan banyak sektor dan lintas provinsi sehingga suka atau tidak suka akan melibatkan pusat di beberapa bidang.
Itu lebih kepada membangun ide di dalam sebuah wilayah. Satu hal yang dapat kita sikapi di dalam membangun kepariwisataan di Riau adalah kita harus memahami nilai kebudayaan sebagai hybridmotion agar masyarakat sebagai pelaku usaha berusaha dan masyarakat sebagai wisatawan berupaya.
Mungkin kemampuan teknologi menghadirkan real world utilities dalam pariwisata masih sekadar hiburan.
Karenanya setiap tata hidup masyarakat merupakan komponen utama daya tarik pariwisata yang baik diekplorasi menjadi daya tarik nilai bisnis melalui kontens yang relevan sehingga kita bisa dengan mudah menemukan segmennya sehingga kita akan dapat harmonisasi bahwa buah yang berkualitas itu berarti berasal dari pohon yang berkualitas atau dengan kata lain dari buahlah kita dapat melihat pohonnya berkualitas. Membangun PAD pariwisata di Riau yang sudah tinggi ini harusn terus dibarengi dengan kesadaran masyarakat pariwisata untuk bangga membangun pariwisata karena Riau itu memiliki banyak daya tarik pariwisata.
Membangun pariwisata memerlukan kesungguhan sepenuh hati dari seluruh komponen, mulai dari masyarakat melalui SDM, program yang tertata, pengembangan nilai yang bukan hanya kontekstual tetapi lebih kontentifikasi karena "nilai tidak hilang tetapi hanya zatnya yang berubah. Pelangi akan selalu ada, tetapi bagaimana bisa kita foto".(nto/c)
Riyono Gede Trisoko