WABAH CORONA

Myanmar Penjarakan Wartawan yang Salah Menulis Berita tentang Corona

Internasional | Minggu, 24 Mei 2020 - 08:08 WIB

Myanmar Penjarakan Wartawan yang Salah Menulis Berita tentang Corona

YANGOON (RIAUPOS.CO) - Tangan besi penguasa Myanmar kembali memakan korban. Hanya karena salah dalam pemberitaan, seorang wartawan di negara tersebut harus masuk penjara.

Seorang pemimpin redaksi situs berita daring di Myanmar divonis penjara selama dua tahun pada Jumat (22/5/2020). Dia dianggap bersalah karena menerbitkan berita keliru terkait angka kematian kasus virus corona (Covid-19).


Pemimpin redaksi situs Dae Pyaw, Zaw Ye Htet, ditangkap pada 13 Mei. Saat itu redaksi menerbitkan sebuah artikel keliru yang menginformasikan soal kasus kematian akibat Covid-19 di kawasan timur Negara Bagian Karen.

Dilansir AFP, Sabtu (23/5), pada 20 Mei atau hanya berselang sepekan kemudian, Zaw menghadapi persidangan.

"Dia dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 505 (b) selama dua tahun penjara," kata kuasa hukum Zaw, Myint Thuzar Maw, di pengadilan di Negara Bagian Karen.

Istri Zaw Ye Htet, Phyu Phyu Win, mengatakan kepada AFP bahwa pihaknya akan mengajukan banding atas keputusan yang dinilai tidak adil tersebut.

Myanmar sampai saat ini mencatat memiliki 199 kasus positif virus corona dan 6 kematian. Namun, para ahli khawatir jika angka sebenarnya jauh lebih tinggi.

Negara bagian Karen berbatasan dengan Thailand. Lebih dari 16.000 warga setempat kembali pada awal April, setelah pandemi Covid-19 menyebabkan orang kehilangan pekerjaan di Thailand.Perbatasan kedua negara pun mulai ditutup.

Sejauh ini, Myanmar hanya melaporkan dua penambahan kasus virus corona baru dan jumlah korban meninggal tidak bertambah.

Pemerintah Myanmar memperingatkan masyarakat akan dituntut jika menyebarkan informasi yang salah tentang pandemi, tetapi pemenjaraan ini adalah kasus pertama yang diketahui.

Negara itu juga sedang menyusun undang-undang baru tentang pengendalian penyakit menular, yang akan lebih mudah untuk menjerat wartawan yang dianggap memicu kepanikan masyarakat.

Wakil Direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson, menyebut tindakan itu sebagai "resep untuk bencana" dan memperingatkan agar penduduk tidak menyangkal informasi yang mereka butuhkan.

"Di bawah hukum internasional, pembatasan kebebasan berbicara harus dijabarkan dengan cermat," tambah Robertson. 

Sumber: AFP/CNN/Antara/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook