Hari bersejarah bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan para pendukungnya tiba. Erdogan berhasil merealisasikan janji saat kampanye. Mengubah Hagia Sophia menjadi tempat ibadah.
(RIAUPOS.CO) - RATUSAN orang menunaikan salat di halaman Hagia Sophia Jumat (10/7). Mereka senang bukan kepalang. Dewan Negara yang merupakan pengadilan tertinggi di Turki sudah membuat putusan. Mereka membatalkan keputusan kabinet pada 1934 yang mengubah fungsi Hagia Sophia dari masjid menjadi museum mulai 1935.
Presiden Recep Tayyip Erdogan langsung bergerak cepat. Dia mengeluarkan dekrit. Isi dekritnya, Hagia Sophia kembali ke fungsinya semula sebagai tempat ibadah umat Islam. Ibadah pertama bisa dilakukan mulai 24 Juli mendatang. ’’Sama dengan semua masjid kami, pintu Hagia Sophia terbuka lebar untuk penduduk lokal dan orang asing, baik itu muslim maupun nonmuslim,’’ ujar Erdogan sebagaimana dikutip BBC.
Dia menyatakan, difungsikannya Hagia Sophia adalah hak kedaulatan Turki. Meski begitu, setiap pendapat yang disuarakan di panggung internasional akan diperlakukan dengan hormat. Kecuali, mereka yang berlebihan dalam menyuarakan pendapat. Karena Hagia Sophia tidak lagi berfungsi sebagai museum, biaya masuk yang biasanya dibebankan kepada pengunjung kini dihapuskan.
Erdogan yang sudah berkuasa selama dua dekade ingin mengembalikan kejayaan Turki dan Islam seperti masa Kekaisaran Ottoman. Mengubah fungsi Hagia Sophia dari museum ke masjid adalah sebuah capaian yang besar. Hagia Sophia ibarat gadis cantik yang statusnya selalu diperebutkan. Bangunan yang sudah berusia 1.500 tahun tersebut berkali-kali berganti fungsi.
Juru Bicara Kepresidenan Ibrahim Kalin menegaskan, Hagia Sophia tetap akan menjadi warisan budaya dunia. Hanya karena Hagia Sophia bakal menjadi masjid, bukan berarti orang lain tidak boleh masuk. Lambang-lambang Kristiani yang masih tersisa di Hagia Sophia bakal dibiarkan. Dulu, pada masa kekuasaan Kerajaan Ottoman, sebagian besar sudah ditutupi dan diganti dengan kaligrafi.
Hal senada diungkapkan Kepala Asosiasi Layanan Yayasan Sejarah dan Lingkungan Ismail Kandemir. ’’Menggunakan Hagia Sophia sebagai museum menyakiti hati nurani rakyat,’’ tegas Kandemir sebagaimana dikutip Anadolu.
Mustafa Akyol, pengamat Islam dan modernitas di Cato Institute, menegaskan, bagi kaum konservatif agama di Turki, mengubah Hagia Sophia adalah hal penting. Mereka meyakini Ottoman berhak mengubah gereja menjadi masjid sebagai hasil dari penaklukan.
’’Turki berhak berdaulat untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Tapi, saya ingin bertanya, ’Apa yang akan Anda katakan jika Israel melakukan sesuatu ke Al Aqsa? Bukankah itu juga hasil penaklukan?’’ ujarnya.
Pengalihfungsian itu juga memiliki motif politis di dalamnya. Saat ini popularitas Erdogan tergerus. Perekonomian Turki juga tengah terpuruk pada masa pandemi. Adanya keputusan tersebut diharapkan bisa mendongkrak dukungan untuk Erdogan.
Bagi orang di belakang Erdogan, ini adalah kabar baik. Namun, bagi tim oposisi yang lebih sekuler, ini adalah preseden buruk. Rasanya, Turki kembali ke peradaban nonmodern yang terjadi ratusan tahun lalu. Rata-rata pendukung oposisi adalah orang sekuler.
Orhan Pamuk, salah seorang peraih Nobel Literatur 2006 asal negeri dua benua tersebut, mengungkapkan bahwa ada jutaan penduduk Turki yang sekuler dan menentang keputusan tersebut. Sayangnya, suara mereka tidak didengar.
Mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid sama saja dengan membuat pernyataan pada dunia tentang kondisi mereka saat ini. ’’Sayang sekali, kami bukan negara sekuler lagi,’’ terang Orhan Pamuk sebagaimana dikutip Bloomberg.(Siti Aisyah/c14/ayi/das)
Laporan JPG, Istanbul