JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pemerintah Iran mengecam keras Donald Trump. Bahkan menjuluki Presiden Amerika Serikat itu sebagai seorang teroris berdasi karena Presiden AS itu mengancam menyerang 52 sasaran di Iran bila Tehran menyerang warga atau aset-aset AS.
Qassem Soleimani, komandan militer utama Irak, terbunuh pada Jumat lewat serangan pesawat nirawak (drone, red) AS saat dalam iring-iringan di lapangan udara Baghdad. AS pun khawatir ada aksi balas dendam atas terbunuhnya komandan militer kebanggannya.
Saat AS dan Iran perang kata-kata, Uni Eropa, Inggris dan Oman mendesak kedua pihak berusaha menghentikan eskalasi krisis.
"Seperti ISIS, seperti Hitler, seperti Jenghiskhan! Mereka semuanya membenci budaya. Trump teroris berjas. Dia akan belajar sejarah segera bahwa tak seorang pun dapat menaklukkan bangsa dan budaya agung Iran," kata Menteri Telekomunikasi dan Informasi Mohammad Javad Azari-Jahromi dalam cuitannya.
Soleimani adalah arsitek operasi militer dan bawah tanah luar negeri Iran dan memegang jabatan kepala Pasukan Pengawal Revolusi Quds. Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei pada Jumat berjanji bahwa Iran akan mengupayakan balas dendam atas kematiannya.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mendesak Menlu Iran lewat telepon pada Ahad untuk mendinginkan situasi dan mengundangnya ke Brussel buat membahas cara-cara melestarikan perjanjian nuklir tahun 2015 dengan Iran.
Penarikan diri AS dari perjanjian itu pada 2018 dan penerapan kembali sanksi terhadap Iran telah mencetuskan ketegangan baru setelah sempat reda sejenak.
Di Irak, banyak orang termasuk lawan-lawan Soleimani mengungkapkan amarah kepada Washington atas serangan yang menewaskannya dan pemimpin milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis di wilayah Irak dan berpotensi menyeret negara mereka ke dalam perang.
Parlemen Irak pun akan menggelar sidang luar biasa pada Ahad dan akan mendorong penyelenggaraan pemungutan suara atas resolusi yang mewajibkan pemerintah meminta pasukan AS keluar dari Irak, menurut beberapa legislator kepada Reuters.
Sidang itu diadakan dua hari setelah serangan pesawat nirawak Amerika Serikat menghantam sebuah iring-iringan di bandar udara Baghdad, Irak, hingga menewaskan komandan militer Iran Qassem Soleimani dan pemimpin milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis.
"Kita punya angkatan bersenjata sendiri yang mampu melindungi negara ini," katanya.
Kendati Iran dan Amerika Serikat bermusuhan selama berpuluh-puluh tahun, milisi dukungan Iran dan pasukan AS berjalan berdampingan dalam perang Irak melawan kelompok ISIS selama 2014-2017.
AS masih menempatkan 5.000 tentaranya di Irak, yang sebagian besar di antaranya bertugas dalam kapasitas sebagai penasihat.
Milisi tersebut dimasukkan ke pasukan pemerintah di bawah payung Pasukan Mobilisasi Populer, yang dipimpin oleh Muhandis.
Banyak warga Irak, termasuk para penentang Soleimani, menyatakan kemarahan mereka terhadap Washington atas pembunuhan Soleimani dan Muhandis di wilayah kedaulatan Irak. Pembunuhan itu dinilai kemungkinan akan menyeret negara mereka ke dalam konflik berikutnya.
Sejak kematian Soleimani dan Muhandis, para pemimpin politik Syiah telah mendesak Irak untuk mendepak pasukan AS dari Irak. Desakan dari kubu saingan politik itu tidak biasanya memperlihatkan kesatuan sikap faksi-faksi, yang sudah berbulan-bulan berselisih.
Hadi al-Amiri, calon kuat untuk menggantikan Muhandis, pada Sabtu beberapa kali mendesak pasukan AS agar meninggalkan Irak. Desakan itu ia nyatakan selama proses pemakaman Soleimani dan Muhandis.
Keputusan untuk mengusir AS dari Irak akan didasarkan pada langkah parlemen untuk mengesahkan undang-undang yang mewajibkan pemerintah Irak agar meminta pasukan AS pergi.
Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi, yang saat ini merupakan perdana menteri sementara setelah ia pada November 2019 mengundurkan diri di tengah rangkaian aksi protes, pada Jumat (3/1) meminta parlemen untuk menyelenggarakan sidang luar biasa guna mengambil langkah legislatif untuk melindungi kedaulatan Irak.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi