JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan komitmen Pemerintah Indonesia dalam KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow, UK. Upaya konkret Indonesia tercermin melalui langkah pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Hal itu menjadikan Indonesia penggerak pertama (first mover) penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Pengesahan perpres itu juga disampaikan oleh Jokowi pada COP26. Pada kesempatan itu, Jokowi menyebut, pengurangan emisi karbon dapat menekan perubahan iklim. Menurut dia perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.
Untuk menghadapi perubahan iklim, perlu ada solidaritas, kemitraan, kerja sama, serta kolaborasi global. Jokowi mengatakan dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
"Laju deforestasi (di Indonesia, red) turun signifikan," katanya.
Penurunan deforestasi saat ini tercatat terendah dalam 20 tahun terakhir. Kemudian kasus kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020 lalu. Selain itu Jokowi menyampaikan Indonesia telah memulai dan terus melakukan rehabilitasi hutan mangrove. Target rehabilitasi hutan mangrove itu mencapai 600 ribu hektare hingga 2024 nanti. Sehingga menjadi yang terluas di Indonesia. Kemudian Jokowi juga menyampaikan Indonesia telah merehabilitasi tiga juta lahan kritis dalam periode 2010-2019.
"Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030," tuturnya.
Upaya pengurangan emisi itu juga dilakukan dengan terus mengembangkan ekosistem mobil listrik. Selain itu pembangunan pembangkit listrik tenaga Surya terbesar di Asia Tenggara.
Dalam kesempatan itu, Jokowi juga memastikan pemerintah Indonesia memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif. Seperti pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau. Penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju, merupakan pengungkit aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menuturkan, RI menetapkan ambisi yang cukup tinggi sebagai negara berkembang. Yakni penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Menurutnya, penetapan perpres NEK menjadi terobosan penting arah kebijakan RI menuju target tersebut. "Ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060 sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045," jelasnya.
Instrumen NEK juga menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Diharapkan investasi hijau global akan berlomba menuju Indonesia di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayan berbiaya rendah hijau global. Sebagaimana diketahui bahwa untuk mendukung pencapaian target NDC, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal termasuk pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One dan Green Climate Fund (GCF). Inovasi kebijakan terakhir yang ditempuh adalah implementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Implementasi tersebut telah menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura dan juga sebagai salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.(wan/dee/jpg)