PARIS (RIAUPOS.CO) - Perancis tengah membara akibat kerusuhan yang terjadi di beberapa kota. Kerusuhan dipicu kematian seorang remaja bernama Nahel Merzouk yang ditembak polisi.
Protes keras berlangsung selama berhari-hari di seluruh negeri. Hal ini bermula saat Nahel mengemudikan mobil dan melanggar lalu lintas. Polisi yang tidak lantas terima mengejarnya dan memerintahkan untuk berhenti.
Klaim polisi Nahel tidak patuh. Polisi lantas menembak Nahel tepat di dadanya yang menyebabkan pemuda asal Nanterre itu tewas seketika. Sejak itu, terjadilah aksi demonstrasi di beberapa titik di Prancis.
Semula aksi dilakukan seperti demonstrasi pada umumnya. Massa hanya berorasi, melakukan blokade jalan, dan membentangkan bendera dan spanduk berisikan kalimat protes sampai belakangan menjadi rusuh dan semakin memanas.
Lalu, siapakah Nahel? Dilansir dari France24, Nahel dibesarkan di sebuah perkebunan bernama Pablo Picasso di Nanterre, pinggiran kota Paris yang menjadi rumah bagi banyak imigran. Ibunya, yang keluarganya berasal dari Aljazair yang menyumbang sebagian besar imigrasi Afrika Utara ke Prancis, membesarkan Nahel sendirian.
Ketika berita mulai menyebar bahwa dia telah ditembak dan dibunuh oleh polisi saat mengendarai mobil sewaan, lingkungannya menjadi tempat awal kemarahan yang menyebar ke seluruh negeri menjelang pemakamannya pada Sabtu (1/7).
Meskipun pihak berwenang tetap diam tentang latar belakang etnis Nahel, masyarakat Prancis dengan cepat mengetahuinya. Reaksi awal datang dari bintang rap di Marseille, kota pelabuhan selatan dengan imigrasi tinggi dari Afrika Utara.
Bintang Timnas Prancis, Kylian Mbappe, dan aktor Omar Sy, yang sama-sama berkulit hitam, juga dengan cepat men-tweet dukungan mereka. Hanya sebulan yang lalu, mimpi Nahel menjadi kenyataan ketika dia terpilih untuk tampil sebagai figuran di klip video oleh rapper bintang Jul saat syuting di Nanterre.
Setelah kematian Nahel, Jul mengajukan permohonan bantuan keuangan untuk keluarga anak laki-laki yang disebutnya sebagai adiknya. Pria berusia 65 tahun itu mengatakan bahwa meski Nahel sebelumnya pernah berurusan dengan hukum, tapi Nahel adalah remaja kebanyakan yang baru berusia 17 tahun.
"Di dunia, apakah ada alasan untuk membunuh remaja?" kata Jul.
Sementara, ibunya, Mounia, menyebut putranya adalah segalanya baginya.
"Saya menyalahkan satu orang yakni orang yang merenggut nyawa anak saya," sebutnya.
Kematian Nahel juga bergema melintasi Mediterania hingga Aljazair, meski masih belum diketahui secara resmi apakah dia berkewarganegaraan ganda.
Kementerian Luar Negeri Aljazair mengungkapkan kekhawatirannya pada peristiwa tersebut, dan menyebut Nahel sebagai warga negara Aljazair yang harus dilindungi oleh Prancis. Nahel, yang juga dekat dengan nenek dari pihak ibu, mendapat uang sebagai pengantar.
Dia juga terdaftar dalam program yang dirancang untuk membantu integrasi kaum muda dari lingkungan bermasalah melalui olahraga, dan yang digemari oleh Nahel adalah rugby.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman