Tolak Wajib Militer, Warga Rusia Ogah Mati Konyol Demi Ambisi Putin

Internasional | Minggu, 02 Oktober 2022 - 01:00 WIB

Tolak Wajib Militer, Warga Rusia Ogah Mati Konyol Demi Ambisi Putin
Eksodus warga Rusia yang menolak mobilisasi parsial atau wajib militer. (UK DAILY)

MOSKOW (RIAUPOS.CO) – Ribuan warga Rusia yang didominasi laki-laki meninggalkan negaranya menuju negara lagin. Mereka memutuskan pergi karena menolak mobilisasi wajib militer untuk melawan Ukraina yang merupakan keingingan Presiden Vladimir Putin.

“Saya tidak ingin mati demi ambisi orang lain,” sebut salah seorang warga.


Ketegangan muncul saat barisan panjang mobil warga berbaris di dekat pos pemeriksaan Petkuhovo di perbatasan antara Rusia dan Kazakhstan pada Jumat (30/9/2022) malam. Seorang insinyur berusia 27 tahun dari kota Yekaterinburg, Andrei Alekseev,  termasuk di antara banyak pria dalam antrean yang melarikan diri dari Rusia.

Mobil warga harus melewati pemeriksaan perbatasan Rusia dan Kazakhstan. Alekseev terbangun usai mendengar berita tentang perintah mobilisasi parsial dan dia harus meninggalkan Rusia. Dia bertemu dengan teman-temannya untuk membahas langkah selanjutnya dan memutuskan untuk menghindari risiko dengan meninggalkan Rusia.

“Di perbatasan, semua pria ditanya apakah mereka bertugas di ketentaraan dan apa kategori dinas militer mereka,” kata Alekseev kepada CNN.

“Saya merasa penjaga perbatasan sangat pengertian. Namun, saya punya teman yang melintasi perbatasan ke Kazakhstan di pos pemeriksaan yang berbeda dan mereka menghadapi pertanyaan yang melelahkan, mereka butuh tujuh jam untuk menyeberang,” imbuhnya.

Dekrit yang ditandatangani oleh Putin memungkinkan mobilisasi yang lebih luas dengan target lebih dari 300 ribu tentara cadangan di garis depan. Putin melanggar janjinya di awal perang bahwa tidak akan ada mobilisasi. Namun, dekrit itu sendiri tidak membatasi berapa banyak orang yang dapat dimobilisasi.

“Mobilisasi disebut parsial, tetapi tidak ada parameter keberpihakan, baik geografis, maupun dalam hal kriteria yang ditentukan,” kata seorang ilmuwan politik Rusia Ekaterina Schulmann.

Sumber: Jawapos.com

Editor: edwar Yaman

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook