JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, menegaskan, Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin atau Sultan Syarif Kasim II Raja ke-12 Kesultanan Siak, memiliki tempat tersendiri di hati bangsa Indonesia. Berkat perjuangan dan pengorbanannya, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, makin bermakna.
Pasalnya beberapa bulan setelah Proklamasi, Sultan Syarif Kasim II berkirim kabar kepada Bung Karno. Saat itu Sultan Syarif Kasim II menyatakan diri bahwa kesultanan yang dipimpinnya siap bergabung bersama NKRI. Ia juga merelakan wilayah kerajaannya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Rebupblik Indonesia.
Bahkan Sultan Syarif Kasim juga menyerahkan mahkota kerajaan yang berhias batu permata. Serta menyumbang dana sebesar 13 juta Golden setara dengan Rp 1 triliun untuk pemerintah Indonesia. Tak hanya itu, ia juga mengajak raja-raja di Sumatera Timur untuk mendukung NKRI.
"Sebelum proklamasi, Sultan Syarif dikenal sebagai pendukung kemerdekaan. Ia kerap membantu para pejuang. Ia juga membangun masyarakatnya melalui pendidikan. Pada 1917 Sultan Syarif mendirikan madrasah Taufiqiyah Al Hasyimiah. Kemudian pada 1926 beliau juga mendirikan sekolah khusus untuk perempuan," kata Hidayat.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, saat menjadi pembicara pada acara Temu Tokoh Nasional, kerja sama MPR dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Rengat, Indragiri Hulu Provinsi Riau. Acara tersebut berlangsung di Wisma Happy, Pematang Reba, Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Ahad (4/4/2021) kemarin.
Tema yang dibahas pada acara tersebut adalah Membangkitkan Kemandirian Ekonomi Berbasis Desa. Selain HNW Temu Tokoh Nasional, itu juga menghadirkan anggota MPR F PKS, Syahrul Aidi Maqzat sebagai pembicara pendamping.
Mengingat jasa-jasanya yang begitu besar, menurut HNW panggilan akrab Hidayat, pantas jika bangsa Indonesia memberikan penghargaan kepada Sultan Syarif, meski saat ini namanya sudah diabadikan menjadi nama bandara Internasional di Pekanbaru.
"Dalam arti yang lebih luas, bukan hanya ekonomi, Sultan Syarif adalah teladan. Ia adalah tokoh daerah yang berhasil membangun wilayahnya, kemudian berkontribusi membantu melakukan pembangunan di pusat. Ini harus menjadi panutan bagi kita semua, khususnya generasi muda. Tokoh-tokoh daerah, itu mereka terdidik, lalu menjadi aktifis, dan terpanggil untuk mengabdi kepada bangsa dan negara," terang Hidayat.
Sesungguhnya, kata Hidayat banyak pejuang yang asalnya adalah putra-putri daerah lalu mereka pergi ke ibu Kota untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar membantu pelaksanaan pembangunan nasional. Praktek seperti, ini ditunjukkan oleh para pejuang yang tergabung dalam BPUPK, PPKI hingga Panitia Sembilan. Dikalangan anggota perlemen misalnya, dikenal sosok M. Natsir, Ketua Fraksi Partai Masumi yang berhasil mengembalikan Indonesia dari RIS menjadi NKRI.
"Seperti beberapa tahun sebelumnya, PKS baru memperingati kembalinya NKRI berkat Mosi Intergral Natsir pada 3 April 1950. Peristiwa ini sangat penting dan strategis bagi bangsa Indonesia, karena cita-cita kemerdekaan Indonesia terselamatkan berkat kembalinya NKRI," ujarnya.
Sementara itu, anggota MPR F PKS H. Syahrul Aidi Maqzat, menyampaikan saat ini dunia termasuk Indonesia berada pada era disrupsi atau percepatan. Pada era ini kompetitor usaha muncul dengan sangat cepat. Karena itu, masyarakat dituntut memproduksi sendiri kebutuhan yang diperlukan agar bisa meningkatkan kesejahteraan. Karena kalau kebutuhan tersebut masih dipenuhi orang lain, niscaya kita akan terus terjajah.
"Tidak usah berfikir soal mobil atau kendaraan. Cukup kebutuhan kita sehari hari. Apa yang dimakan dan dipakai, itu perlu kita cukupi sendiri," kata Syahrul Aidi.
Potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sendiri kata Syahrul sangat besar. Apalagi saat ini ada jaringan yang sangat luas seperti di Kemendes dan Bumdes. Dan itu harus dimanfaatkan dengan sebaik baiknya.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: E Sulaiman