JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Gatot S Dewa Broto mengaku pernah diminta mantan Menpora Imam Nahrawi mundur dari jabatannya. Pernyataan ini dilontarkan Gatot saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan suap, terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
"Jadi pernah kejadian pada 2 Oktober 2018 siang hari. Saya menerima WA dari Pak Ulum. Jadi, karena saat itu baru saja berlangsung pengukuhan kontingen Indonesia di Istana Negara oleh Bapak Presiden. Kemudian intinya Pak Ulum mengabarkan kepada saya, mengirimkan captionnya WA antara pak Menteri dan pak Ulum yang intinya saya diminta mengundurkan diri," kata Gatot saat bersaksi untuk terdakwa Miftahul Ulum di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (13/2).
Jaksa Ronald Worotikan kemudian mendalami pernyataan Gatot tersebut. Menurutnya, pesan tersebut diterimanya dari Ulum, selaku asisten pribadi Imam Nahrawi.
"Jadi terdakwa ngirim WA?," tanya Jaksa Ronald.
"Iya WA nya antara dia (Miftahul Ulum) sama pak Menteri, di forward ke saya," jawab Gatot.
Untuk menegaskan pernyataan Gatot, Jaksa kemudian kembali mengonfirmasi soal permintaan pengunduran dirinya. Hal ini pun dibenarkan oleh Gatot.
"Pak Imam meminta saudara mengundurkan diri?," tanya lagi Jaksa Ronald.
"Iya," jawab singkat Gatot.
Jaksa pun menelisik Gatot terkait alasan Imam yang tiba-tiba meminta dirinya mundur dari posisi Sesmenpora.
"Apa alasannya?," tanya Jaksa.
"Karena pada saat pengukuhan kontingen itu, saya dianggap gagal, tidak bisa menghadirkan pak Imam, yang juga paling tidak itu melaporkan kepada presiden atau juga menerima pataka dari Presiden dan saya dianggap bodoh dianggap tolol," jelas Gatot.
Dalam perkara ini, Miftahul Ulum selaku mantan asisten pribadi eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi didakwa telah menerima uang suap sebesar Rp 11,5 miliar, untuk mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Penerimaan suap itu diduga dari Ending Fuad Hamidy selaku Sekretaris Jenderal KONI dan Johnny E Awuy selaku Bendahara Umum KONI.
Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memduga, perbuatan Ulum dilakukan bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Politikus PKB itu juga telah dijerat dalam perkara yang sama.
Selain itu, Ulum juga disebut menerima gratifikasi bersama-sama dengan Imam Nahrawi. Ulum diduga menerima gratifikasi terkait jabatannya sebesar Rp 8,6 miliar.
Atas perbuatannya, Ulum didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ulum juga didakwa melanggar Pasal 12B ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal