JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai PDI Perjuangan mempunyai tanggung jawab untuk membawa Harun Masiku dari kejaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus pergantian antar waktu (PAW), Harun hingga kini belum juga menyerahkan diri ke KPK.
“Kasus orang lari dari pengejaran KPK kan sudah sering, menurut saya partai bertanggung jawab untuk menghadirkan dia (Harun Masiku) di proses hukum KPK,” kata Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz dihubungi JawaPos.com, Minggu (12/1).
Donal menegaskan, partai moncong putih itu bertanggung jawab secara moril untuk memboyong Harun. Terlebih, Harun juga harus kooperatif menjalani proses hukum yang menjeratnya.
“Jadi ada posisi dimana yang bersangkutan harus kooperatif dengan proses hukum yang di jalankan, disisi lain juga ada kewajiban moril partai untuk menyerahkan yang bersangkutan kepada KPK,” terang Donal.
Selain itu, kata Donal, ICW juga mendorong agar KPK mengembangkan kasus jual beli PAW yang melibatkan Komisioner KPU dengan oknum PDI Perjuangan. Menurutnya, merujuk pada pernyataan pimpinan KPU, PDI Perjuangan aktif menyuarakan agar Harun bisa duduk di kursi DPR.
“Pernyataan pimpinan KPU kan partai intensif mencoba untuk melakukan PAW menggantikan Riezky Aprilia dengan Harun, sikap partai ini menurut saya mencurigakan. Karena di dalam UU 7/2017 jelas diatur PAW itu diganti dengan jumlah suara terbanyak, sementara kan dia suaranya jauh sangat dikit sekali, cuma 5.000 suara,” ucap Donal.
Oleh karena itu, ICW mendorong KPK tidak berhenti mengembangkan perkara tersebut. Donal menilai, terdapat oknum petinggi PDI Perjuangan yang juga terlibat dalam kasus jual beli PAW anggota DPR periode 2019-2024.
“Menurut saya KPK harus mengejar dan mengungkap apa motif partai memperjuangkan Harun menjadi anggota DPR dengan mengorbankan anggota DPR yang sudah dilantik,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengaku tak tahu keberadaan Harun saat ini. Padahal, Harun disebut-sebut merupakan salah satu staf Hasto.
“Kalau Harun Al Rasyid di dalam cerita kita sering mendengar, tapi saya enggak tahu di mana,” kata Hasto di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).
Di sisi lain, Hasto menilai, ada kepentingan tertentu yang ikut memframing kasus ini. Oleh karena itu, dia memastikan PDIP akan menyikapinya dengan dewasa. Karena bukan kali ini PDIP diterpa isu miring.
“Sebagai contoh, ada pihak yang melakukan framing seolah-olah yang namanya Doni itu staf kesekjenan PDIP. Saya mencari yang namanya Doni staf saya, ini namanya Doni,” kata Hasto sambil menunjuk Doni yang berada di sampingnya.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka yakni Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina selaku mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Harun Masiku selaku caleg DPR RI fraksi PDIP dan Saeful.
KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani Tio yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 Ayat (1) huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Harun dan Saeful yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap disangkakan dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman