PEMBAHASAN TIDAK TRANSPARAN

ICW Nilai Omnibus Law Hanya Menguntungkan Pebisnis

Hukum | Selasa, 05 Mei 2020 - 18:00 WIB

ICW Nilai Omnibus Law Hanya Menguntungkan Pebisnis
ILUSTRASI: Ribuan Buruh dan Mahasiswa mengelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja di jalan Frontage Road Ahmad Yani bagian barat, Surabaya, Kemarin (11/3) Dalam aksi tersebut mereka menolak omnibus law yang dinilai menguntungkan pengusaha dan merugikan pekerja. (Dimas Maulana/ Jawa Pos)

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai produk hukum Omnibus Law akan merugikan kepentingan publik dan menguntungkan kepentingan privat. Alih-alih memberikan kebaikan umum, Omnibus Law hanya akan menguntungkan pebisnis.

“Sebanyak 1.244 pasal pada 79 UU akan direvisi melalui Omnibus Law. Pembahasan paket Omnibus Law sejak awal tidak terbuka dan transparan,” kata peneliti ICW, Wana Alamsyah dalam keterangannya, Selasa (5/4).


ICW, kata Wana, menilai tidak transparansinya pembahasan Omnibus Law dipandang menyalahi mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Bahkan, Tim Satgas Omnibus Law juga didominasi oleh pengusaha.

“Ketua Satgas Omnibus Law, Rosan Roeslani, pernah menjadi mitra bisnis Sandiaga Uno dalam bisnis batubara. Warga dan lingkungan hidup akan dirugikan. Pemberian insentif, dan keleluasaan pebisnis batubara melalui Omnibus Law akan mendorong pada ekspansi wilayah pertambangan dan eksploitasi yang tidak terkendali,” beber Wana.

Wana menyebut, terhadap RUU Cipta Kerja sebagai bagian dari paket Omnibus Law, hanya akan merugikan lingkungan hidup dan memberi jalan bagi aktor privat untuk menguasai sumberdaya publik. Masalah itu setidaknya dapat terlihat dalam RUU Cipta Kerja bagian Energi dan Sumber Daya Mineral.

RUU Cipta Kerja, lanjut Wana, penerimaan negara akan hilang dan semata menguntungkan pebisnis. Karena, negara berpotensi merugi akibat penghapusan kewajiban royalti.

“Royalti adalah iuran yang wajib dibayarkan pengusaha kepada negara setelah mengeruk sumberdaya mineral dan batubara. Pengusaha yang berinisiatif mengolah batubara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batubara, akan mendapat insentif penghapusan kewajiban membayar royalti,” ujar Wana.

Menurutnya, pada 2018 penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 180 triliun. Pendapatan dari pertambangan minerba menyumbang sekitar 17 persen dari jumlah tersebut.

Secara khusus PNBP dari royalti batubara pada 2018 mencapai Rp 21,854 triliun. Jika royalti dihapuskan, maka triliunan rupiah berpotensi lenyap.

“Penerimaan negara hilang, pebisnis diuntungkan,” sesal Wana.

Bahkan, warga dan lingkungan hidup akan dirugikan. Pemberian insentif, dan keleluasaan pebisnis batubara melalui Omnibus Law akan mendorong pada ekspansi wilayah pertambangan dan eksploitasi yang tidak terkendali.

Selaras dengan itu, kerusakan lingkungan dan penggusuran pemukiman warga akan semakin marak terjadi. Melalui Omnibus Law pula patut mempertanyakan pemerintah atas komitmennya terhadap krisis iklim.

“Alih-alih memberikan dorongan untuk transisi ke energi baru terbarukan (renewable energy), pemerintah justru memberikan insentif bagi pebisnis untuk semakin mengeruk batubara sebagai sumber energi kotor,” cetus Wana.

Karena itu, produk hukum Omnibus Law semakin menegaskan komitmen Presiden Joko Widodo yang tidak lagi berpihak pada kepentingan publik. Kepentingan privat yang dominan terlihat jelas dalam produk hukum Omnibus Law.

“Dengan proses pembahasan dan isi yang bermasalah, Omnibus Law terindikasi sebagai jenis korupsi kebijakan dan adanya pembajakan negara oleh kepentingan privat (state capture),” tukas Wana.

Sebelumnya, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Siti Nurbaya menegaskan rancangan undang-undang (RUU) omnibus law akan tetap memperhatikan aspek lingkungan.

“Pada dasarnya perubahan atau penyesuaian dengan omnibus law ini tetap memperhatikan aspek lingkungan,” ujar Siti, Rabu (12/2).

Siti menegaskan, segala sesuatu yang berkaitan dengan sektor lingkungan dalam omnibus law tidak akan dibebankan pada pihak swasta. Nantinya, semua hal terkait lingkungan akan memiliki standar dari pemerintah.

“Tapi dia menjadi standar. Ketika menjadi standar dan tidak dipenuhi, dia kena juga. Jadi pada dasarnya kekuatan untuk menjaga kelestarian lingkungannya tetap,” tukasnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Deslina









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook