MELIHAT AKTIVITAS RESTORASI EKOSISTEM RIAU (RER) DI SEMENANJUNG KAMPAR

Menyelamatkan Hutan Alam yang Tersisa

Feature | Minggu, 29 Oktober 2023 - 16:26 WIB

Menyelamatkan Hutan Alam yang Tersisa
Eco-Reserach Camp APRIL (HELFIZON ASYAFEII/RIAUPOS.CO)

Kawasan lahan gambut di Indonesia merupakan ekosistem yang tergolong paling sensitif dan paling terancam punah di dunia. Semenanjung Kampar, Sumatra adalah salah satu area gambut terbesar di Asia Tenggara yang masih tersisa. Hutan tropis yang ada di dalamnya memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya dan menopang kehidupan spesies satwa liar yang terancam punah, termasuk antara lain harimau sumatra, kucing tandang dan beruang madu.

Laporan: HELFIZON ASSYAFEI, Semenanjug Kampar


MENEMPUH perjalanan hampir empat jam dari PangkalanKerinci, Selasa (24/10/2023) menjelang siang, Riau Pos dan sejumlah wartawan media di Riau memasuki Desa Teluk Keladi. Daratan terdekat ke Semenanjung Kampar. Dari Teluk Keladi mobil harus menunggu rakit bermesin untuk menyeberangkan kendaraan dan orang. Penyeberangan bisa memakai jasa rakit yang disediakan perusahaan RAPP dan tidak dipungut bayaran. Bisa juga memakai jasa komersil speedboat penduduk tempatan.

Tempat yang kami tuju ini bernama Semenanjung Kampar.Sebuah lokasi di bagian selatan berbatasan dengan Sungai Kampar sedangkan di bagian utara berbatasan dengan Sungai Siak dan Selatpanjang. Di bagian timur, kedua sungai tadi bergabung, menciptakan suatu semenanjung yang dinamakan Semenanjung Kampar.

Semenanjung ini didominasi oleh hutan rawa gambut, yang membentang hingga 70 kilometer arah utara-selatan pada titik terlebar di bagian barat, serta 110 kilometer arah barat-timur dari batas dengan dataran kering di bagian barat hingga titik bertemunya Sungai Kampar dan Sungai Siak.

Di area inilah terdapat dua kubah gambut yang letaknya kurang-lebih berada di tengah semenanjung, dan terdapat pula beberapa danau. Danau terbesar memiliki panjang 8 kilometer dan lebar 2 kilometer. Dari danau-danau tersebut, sebanyak lima sungai mengalir berkelok-kelok, menjauh dari tengah semenanjung hingga ke Selatpanjang di utara dan ke Sungai Kampar di selatan.

Di semenanjung ini terdapat empat kawasan lindung: tiga Suaka Margasatwa (Tasik Belat, Tasik Metas, Tasik Serkap) dan Taman Nasional Zamrud, yang keseluruhan luasnya mencapai 45.000 hektare. Hutan rawa gambut yang masih tersisa di Semenanjung Kampar dikelilingi oleh hutan tanaman serat (terutama tanaman akasia, Acacia crassicarpa).

Usai menyeberang perjalanan darat dilanjutkan. Masih ada 36 kilometer lagi menuju Eco-Research Camp. Dengan jalan tanah yang dikelilingi hutan tanaman industri Akasia. Eco Camp adalah sebuah fasilitas yang dibangun APRIL terletak di dekat area restorasi RER, di tengah Semenanjung Kampar. Lokasi ini dapat ditempuh dengan 30 menit penerbangan helikopter atau empat jam berkendara dari Pangkalankerinci.

Eco-Research Camp terletak 140 km sebelah barat daya Singapura, di pesisir timur Sumatra, Provinsi Riau. Area seluas 32 hektare tersebut sebelumnya merupakan hutan tanaman serat akasia yang bersebelahan dengan Hutan Nilai Konservasi Tinggi Sungai Serkap di Semenanjung Kampar. Terletak di pusat Semenanjung Kampar, Eco-Research Camp merupakan basis operasional RER dan Pusat Sains Lahan Gambut Tropis untuk penelitian lebih lanjut ekosistem penting ini.

Saat memasuki lokasi Eco-Research Camp seperti memasuki pesanggrahan modern di tengah hutan. Ada 11 bangunan yang dibangun dengan tiang yang berjarak dengan tanah untuk antisipasi banjir karena berada di lahan gambut. Eco-Research Camp dibangun dengan mengintegrasikan kualitas modern, budaya lokal, dan konsep bangunan hijau yang berkelanjutan ke dalam proyek desain operasional ramah lingkungan yang disesuaikan untuk lahan gambut.

Eco-Research Camp dapat menampung hingga 22 orang tamu dengan nyaman. Dilengkapi dengan empat guest house dengan jaringan internet nirkabel dan dua tenda glamping, lengkap dengan 11 kamar tidur, fasilitas perhotelan dan aktivitas luar ruang. Eco-Research Camp menyediakan tempat tinggal bagi sekitar 48 karyawan RER. Lokasinya yang berdekatan dengan area restorasi RER memungkinkan tim untuk dapat bekerja lebih efisien.

Seluruh kebutuhan listrik di Eco-Research Camp dihasilkan oleh sistem listrik hibrida yang menggunakan sistem tenaga surya yang didukung dua generator listrik berkapasitas 45 kVA. Eco Camp menggunakan air yang berasal dari lahan gambut, kemudian disaring dan diolah menjadi air minum. Setelah digunakan, air diolah lagi untuk kemudian digunakan untuk menyiram kebun yang ditanami buah-buahan.

Kantor dari RER adalah Eco-Research Camp ini. Ada bangunan kantor yang dilengkapi dengan berbagai peralatan komputer.

“RER ini komitmen dari April untukmenyelamatkan hutan gambut alam yang tersisa, merestorasinya, menjaga flaura dan fauna serta mengedukasi penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan,” ujar Corporate Communication Manager RER APRIL Junior Morris Marpaung kepada Riau Pos.

Lokasi Eco-Research Camp memberikan akses yang strategis ke kegiatan restorasi di lapangan, yang akan membantu pengunjung untuk lebih memahami tantangan dalam menelusuri lanskap yang memiliki ukuran dua kali negara Singapura ini. Menurut Junior pola penyelamatan hutan alamyang tersisa ini adalah dengan pola “Production Protection Model”. Maksudnya, area inti hutan gambut alam Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 150.000 hektare yang dikelola RER ini dikelilingi oleh hutan tanaman industri milik perusahaan.

“Dengan demikian terjadi seleksi berlapis dan penjagaan sehingga tidak ada yang bisa sembarang masuk ke dalam hutan alam itu dengan maksud merusak ataupun merambahnya,” ujar Junior.

Lebih lanjut Junior mengatakan bahwa Eco-Research Camp memiliki berbagai kegiatan yang disiapkan bagi pengunjung untuk mempelajari ekosistem spektakuler RER, serta upaya RER dalam memulihkan dan melestarikannya.

 

Melihat Aktivitas di RER

Usai beristirahat sejenak di Eco-Research Camp, Riau Pos dan sejumlah media lainnya melanjutkan aktivitas memasuki hutan di kawasan Semenanjung Kampar. Kami menempuh jarak tidak kurang dari 18 kilometer ke dalam hutan menuju Menara Pengukuran Fluktuasi Gas Rumah Kaca (GRK). Menara setinggi 48 meter ini dibangun di tengah hutan untuk mengukur berapa kadar serapan emisi karbon dan berapa yang dilepaskan ke udara.

Menara ini dinamakan Green House Gas (GHG) monitoring. Kepada Riau Pos, Asisten Manager GHG monitoring APRIL, Nardi mengatakan bahwa keberadaan Menara ini adalah bentuk pendekatan berbasis sains Grup APRIL dalam mengukur fluks GRK di ekosistem rawa gambut alami.

Menara ini merupakan satu dari empat menara fluks GRK yang dioperasikan oleh para ilmuan APRIL untuk mengumpulkan data mengenai pertukaran emisi GRK di empat lanskap yang berbeda.

“Dari data yang ada pelepasan GRK yang lebih besar itu berasal dari hutan yang rusak/terbiarkan menjadi semak belukar. Sedang penyerap emisi kabon terbaik adalah hutan alam baru berikutnya hutan tanaman industri,” ujar Nardi.

Usai dari GHG kami juga dibawa melihat langsung aktivitas restorasi yang dilakukan RER di pembibitan anakan alam. Di mana ada kerusakan hutan maka tempat itu akan direboisasi atau ditanami kembali dengan bibit pohon hutan yang dulu ada di sana. Stok bibit anakan alam RER di tahun 2020 sejumlah lebih dari 46.000 bibit yang terdiri atas lebih dari 60 spesies pohon. Ke-46.000 bibit ini tersebar di tujuh buah tempat persemaian di mana 5 berada di Semenanjung Kampar dan dua ada di Pulau Padang.

Bibit baru yang dihasilkan persemaian tersebut berasal dari hutan alam yang ada di sekitarnya baik melalui bibit anakan alam cabutan dari lantai hutan, benih/biji yang jatuh dari pohon, dan bibit hasil stek tanaman yang diambil secara selektif dan hati-hati dari pohon dewasa. Penggunaan bibit anakan alam cabutan mencakup pemindahan bibit secara hati-hati dari tanah tempat asalnya di hutan, dan menempatkannya dalam kantong tanam yang telah diisi tanah untuk kemudiandirawat di persemaian.

Bibit tersebut diambil dari lokasi hutan yang memang punya banyak bibit, dengan maksud agar bibit tersebut dapat ditanam di lokasi lain yang hanya memiliki sedikit pohon. Pengumpulan benih/biji dari pohon tergantung pada produksi benih/biji pada aneka jenis pohon, yang sifatnya musiman, sporadis, dan bervariasi tiap tahun.

Pengumpulan bibit merupakan proses yang terus-menerus dijalankan oleh tim persemaian, karena bibit yang dipindahkan kerap mati karena kaget saat dipindahkan, kerusakan akar, gangguan serangga, atau infeksi. Bibit tetap berada di persemaian sekitar satu tahun guna memastikan agar akar, batang, dan daunnya sudah kuat dan ‘siap tanam’ antara 12-18 bulan kemudian.

Staf RER di pembibitan, Rocky kepada Riau Pos menjelaskan bahwa restorasi (pemulihan) hutan dapat dilakukan dengan melakukan regenerasi pohon secara alami melalui pasif atau aktif regenerasi. Apabila kondisi ekologi mendukung, regenerasi alami merupakan pendekatan yang paling hemat biaya dalam memulihkan keanekaragaman hayati dan proses ekologi.

Selanjutnya kami menuju kanal di kawasan hutan. Sebelum tahun 2013, area RER mengalami pembalakan liar dan penebangan kayu komersial selama puluhan tahun yang mengakibatkan hilangnya pohon-pohon besar. Untuk memudahkan akses mereka, para penebang kayu tersebut membuat jaringan kanal drainase yang panjangnya mencapai beberapa kilometer dari pinggiran sungai hingga ke lokasi-lokasi yang terletak jauh di dalam hutan.

Kanal-kanal drainase ini lebarnya berkisar antara 1 s.d. 9 meter dan dengan kedalaman kurang-lebih 0,5 meter hingga1,5 meter. Dari kanal besar ini, dibentuk jaringan rel pengangkut untuk memindahkan gelondongan kayu dari dalam hutan ke arah kanal, dan gelondongan kayu tersebut kemudian dipindahkan dengan cara diapungkan di sungai.

Begitu penebangan kayu berhenti, rel angkut dan kanal tetap berada pada tempatnya, mengakibatkan gambut menjadi kering dan merusak hutan di sekitarnya. Saat ini, hutan yang ada di sepanjang sistem rel angkut mengalami regenerasi alami dengan pesat. Akan tetapi, kanal yang tertinggal masih terus membuat air mengalir keluar dari tanah gambut, mengubah sifat kelembapan tanah dan membuatnya kering, dan dengan demikian mengubah jenis vegetasi (tanaman dan tumbuhan) yang tumbuh di hutan.

RER kemudian berupaya memulihkan hidrologi hutan gambut dengan menutup kanal-kanal drainase dan mengembalikan ketinggian muka air hingga mendekati fluktuasi musiman alami. Dengan memulihkan ketinggian muka air, hutan gambut dapat tumbuh kembali, subsidensi dapat diminimalkan, kebakaran akan dapat lebih mudah dicegah, dan potensi emisi karbon dari gambut yang kering atau terbakar akan dapat dikurangi atau dihilangkan.

Langkah pertama merestorasi lahan gambut yang mengering ialah mengidentifikasi lokasi kanal, menetapkan penutupan kanal prioritas, dan melakukan survei untuk menentukan tingkat kemiringan tiap kanal drainase atau yang biasa disebut profile-levelling. Profil semacam ini memungkinkan ahli pengelolaan air mengetahui panjang dan tingkat kemiringan kanal serta menetapkan lokasi yang tepat untuk tempat membangun dam/bendungan.

RER bekerja untuk memastikan beda tinggi muka air setinggi 40 cm di sepanjang tiap kanal. Dengan begini, akan terbentuk rangkaian terasering yang akan memperlambat laju aliran air dan menjaga agar tingkat kelembapan gambut dapat bertahan lebih lama selama musim kemarau. Begitu dam sudah terbentuk dan aliran air melambat atau bahkan terhenti, proses selanjutnya untuk mengisi cekungan air yang ada di balik tiap dam akan dapat terjadi secara alami.

RER berencana menutup seluruh kanal sepanjang 16 km dalam waktu sepuluh tahun sejak tahun 2016. Sampai dengan tahun 2022, kami telah berhasil menutup 41 kanal, dengan panjang total mencapai 232 kilometer menggunakan 87 dam buatan tangan. Dam dibangun menggunakan berbagai jenis material. Cara yang paling efektif ialah menggunakan karung pasir yang diletakkan di mulut kanal, tempat air mengalirmasuk ke sungai.

Tiap karung dibuat dari bahan polipropilena sintetis yang dikenal dengan nama geo-reinfox, yang tahan korosi sekaligus tahan sinar ultra-violet, serta mampu menanggung beban seberat 25-30 kilogram. Karung-karung tersebut disusun berlapis mengikuti pola tangga agar dapat menahan bobot air yang menekan dam. Banyaknya karung yang diperlukan akan tergantung pada ukuran lebar dan kedalaman kanal. Kebutuhan untuk tiap dam berkisar 80-300 karung.

Menjelang malam kami kembali ke Eco Camp untuk beristirahat. Keesokan harinya dilanjutkan dengan menyusuri lanskap mengagumkan dari Sungai Serkap yang kaya dengan flora dan fauna tersebut. Menelusuri Sungai Serkap menggunakan pompong tradisional atau ketinting. Ketinting menggunakan motor listrik untuk meminimalisir kebisingan mesin, sehingga penumpang mendapat kesempatan lebih untuk dapat mengamati sekilas beberapa dari ratusan spesies yang tinggal di kawasan ini.

RER menerapkan survei kamera jebak untuk terus mengkaji keragaman spesies yang ada di RER, dengan mengembangkan hasil dari survei keanekaragaman hayati awal yang dilakukan oleh Fauna & Flora International (FFI). Meskipun kegiatan penyusunan inventori masih terus berlangsung, per 2020, tercatat ada sebanyak 823 spesies fauna dan flora yang berhasil diidentifikasi, termasuk keberadaan lima dari enam spesies kucing sumatra, 308 spesies burung, 89 spesies ikan, dan 66 spesies yang terancam di tingkat global, termasuk harimau sumatra dan trenggiling sunda yang dinyatakan berstatus kritis (critically endangered).

RER juga mengedukasi masyarakat nelayan yang masuk ke Sungai Serkap agar tidak memutas (meracuni) ikan, menggunakan setrum ataupun pukat harimau yang bisa ikut mematikan bibit-bibit ikan. Caranya dengan patroli jagawana dan juga membangun pos-pos pemantauan di beberapa titik dan memeriksa peralatan nelayan yang masuk ke sana. Petugas jagawana RER berjaga bergantian dalam hutan dan sungai dengan rentang waktu 20 hari.

Saat ini juga telah terbentuk dua kelompok nelayan di Sungai Serkap yang dikelola oleh RER yakni kelompok Serkap Jaya Lestari (SKL) dengan anggota 25 nelayan dan Tasik Guntung Maju beranggotakan 20 orang nelayan. Kepada Riau Pos Ketua SKL, Bachtiar (60) mengatakan bahwa dengan dikelola RER maka upaya menangkap ikan sudah bersifat Lestari atau berkelanjutan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak merusak ekosistem.

 

Editor: E Sulaiman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook