SEPAKBOLA INDONESIA

Hampir 2 Dekade Jadi Relawan, Tragedi Kanjuruhan yang Paling Memilukan

Feature | Jumat, 28 Oktober 2022 - 23:59 WIB

Hampir 2 Dekade Jadi Relawan, Tragedi Kanjuruhan yang Paling Memilukan
Relawan yang membantu korban dalam Tragedi Kanjuruhan, Mohamad Sodikin. (NABILA AMELIA/JAWA POS RADAR MALANG )

MALANG (RIAUPOS.CO) - Hampir dua dekade menjadi relawan, tragedi Kanjuruhan 1 Oktober lalu menjadi pengalaman paling memilukan bagi Mohamad Sodikin. Dia sempat mengalami trauma. Tiga kali sesi pendampingan psikolog sudah diikutinya.

—-


BAJU berwarna orange khas relawan masih dikenakan Mohamad Sodikin saat ditemui Jawa Pos Radar Malang (26/10). Dia baru saja tiba dari Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Di sana, dia ikut membantu para korban bencana banjir. Itu lah gambaran awal rutinitas Sodik, sapaan karibnya.

Saat ada bencana dan peristiwa di Malang raya, dia selalu berusaha hadir untuk membantu. Enam handy talky (HT) jadi senjata Sodik untuk memonitor peristiwa di Malang raya. HT-HT itu ditaruh di salah satu meja di kediamannya, yang terletak di Jalan Wiroto, Kelurahan Polehan, Kota Malang.

Bencana banjir dan longsor di Malang selatan jadi peristiwa terbesar kedua yang turut dia tangani. Sebelum itu, dia juga terlibat dalam proses evakuasi korban tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober lalu.

Dari kabar yang diterima, Sodik merupakan salah seorang yang memerlukan layanan pendampingan psikolog pascatragedi itu. Kabar tersebut disampaikan Koordinator Pengaduan Layanan Publik Malang Raya Sudarno, yang turut mengunjunginya. Tercatat ada tiga momen di tragedi Kanjuruhan yang membuat Sodik trauma.

Pertama, dia sempat melihat sesosok jenazah perempuan yang memegang lehernya. Kedua, dia melihat seorang ibu yang menangis histeris di ruang jenazah. Itu membuat Sodik ikut larut dalam suasana duka.

Ketiga, kaki Pak Sodik sempat dipegang salah satu keluarga korban yang ingin segera dipertemukan dengan anggota keluarganya yang menjadi korban. Akhirnya, beliau terjatuh di atas jenazah lain, yang juga menjadi korban Tragedi Kanjuruhan,” terang Sudarno.

Sodik sendiri enggan menjawab ketika ditanya tiga momen memilukan itu. Dia hanya bersedia menceritakan pengalamannya sebelum dan setelah tragedi.

Saat kejadian, dia mengaku awalnya sedang berjaga. Kebetulan, di samping menjadi relawan, dia juga bekerja sebagai sekuriti di salah satu perusahaan di Kota Malang. Kabar seputar tragedi Kanjuruhan dia dapatkan dari grup kebencanaan di WhatsApp (WA).

“Waktu itu, saya posisi jaga malam di kantor. Terus saya dapat kabar dari grup kalau ambulans Rumah Sakit Wava Husada dirusak massa. Selain itu, ada teman relawan di dalam stadion yang terluka,” kata dia.

Sodik pun memutuskan untuk berangkat. Beruntung, salah satu rekannya berjaga belum pulang. Sehingga dia bisa meluncur ke Stadion Kanjuruhan pukul 23.00 WIB. Setibanya di lokasi, korban-korban sudah dibawa menuju beberapa rumah sakit, Sodik lantas beranjak ke Kantor BPBD Kabupaten Malang, yang lokasinya tidak jauh dari Stadion Kanjuruhan. Tujuannya untuk berkoordinasi dan bergabung dengan relawan-relawan lainnya.

Setelah berkoordinasi, para relawan dan ambulans dari Kota Malang disebar ke sejumlah rumah sakit untuk membantu evakuasi. Mulai dari RS Wava Husada, RSUD Kanjuruhan, RS Teja Husada, dan banyak lainnya.

Khusus untuk korban meninggal dunia, lokasinya berpusat di RSUD Dr Saiful Anwar (RSSA) Malang. “Saya sendiri ditugaskan di RS Wava Husada. Saat pertama kali datang, saya menghitung seluruh korban meninggal dunia,” kata pria kelahiran 19 Mei 1976 itu.

Tugas itu dia jalani sampai pukul 06.40 WIB, 2 Oktober lalu. Total ada 18 jenazah yang akhirnya belum teridentifikasi. Semua jenazah itu kemudian diberangkatkan ke RSSA Malang.

Di RSSA Malang, Sodik membantu menunjukkan foto-foto jenazah yang belum teridentifikasi. Momen tersebut tidak meninggalkan trauma baginya. Dia hanya tak sanggup jika harus menceritakan tiga momen memilukan yang dialaminya 1 Oktober lalu.

Trauma baru dirasakan Sodik beberapa hari setelah tragedi. Tepatnya pada 4 Oktober lalu. Saat itu, Sodik sedang mengendarai motor di Jalan Karanglo selepas pulang dari Singosari menuju Kota Malang.

Di saat berkendara itulah Sodik tiba-tiba menangis histeris. Sampai salah seorang pengendara memintanya untuk menepi. Baru satu jam kemudian, Sodik akhirnya bisa melanjutkan perjalanan.

“Saat itu, saya merasakan ada suara menusuk seperti pada waktu membantu pemulasaran korban di RS Wava Husada. Kemudian, hari Rabu tanggal 5 Oktober, saya coba ke Puskesmas Kedungkandang untuk berkonsultasi,” imbuh pria yang dikaruniai dua anak tersebut. Sampai saat ini dia sudah tiga kali menjalani sesi pendampingan psikolog.

Aipda Muis Andhika, anggota tim trauma healing Polresta Malang Kota, menyebut bahwa Sodik merasa punya ikatan emosi dengan korban. Itu terjadi karena dia juga merupakan warga asli Malang. Untuk mengubur memori kelam tentang tragedi Kanjuruhan, Sodik disarankan untuk mengisi waktu dengan kegiatan-kegiatan yang positif.

“Sejak ikut trauma healing, saya jadi belajar lagi soal meditasi dan cara menenangkan diri. Jadi begitu terbayang, saya langsung mempraktikkan ilmu pengaturan napas yang diajarkan (tim trauma healing Polresta),” kata Sodik.

Oleh salah seorang rekannya yang pernah mengalami hal serupa, Sodik juga disarankan untuk mengunjungi kembali tempat dia mendengar suara yang mengganggunya. Tepatnya di RS Wava Husada.

“Kalau kata dokter dari kepolisian, sebenarnya langkah itu berisiko. Karena ada dua kemungkinan. Antara bisa sembuh atau malah semakin parah. Tapi kan belum dicoba. Saya kalau ada larangan, malah semakin tertantang. Jadi kemungkinan akan saya coba,” kata dia.

Sodik sendiri tidak menyangka akan mengalami trauma pascatragedi Kanjuruhan. Terlebih, dia sudah menjadi relawan hampir dua dekade.

Berbagai upaya penyelamatan, seperti bencana meletusnya Gunung Kelud dan Gunung Semeru pernah diikutinya. Namun di tragedi Kanjuruhan lah hatinya begitu terpukul. Sebab itu bukan termasuk bencana alam, namun korban meninggal begitu banyak.

Selama ini, Sodik tidak tergabung dalam kesatuan relawan mana pun. Dia hanya pernah bergabung dalam Tim SAR Rescue 020. Saat ini, statusnya adalah relawan mandiri. Momen pertamanya melakukan proses evakuasi korban terjadi di tahun 1998. Saat itu ada salah satu anggota TNI yang terlibat kecelakaan di depan rumahnya. Sodik membawanya menuju RS menggunakan angkot. Namun korban meninggal di pangkuannya. Sejak saat itu dia ingin berusaha membantu banyak orang.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Edwar Yaman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook