Kearifan lokal Sakai lainnya seperti dalam mengambil madu lebah. Batin Lapan punya pohon sialang kayu kapur. Ada batin Petani punya pohon sialang kayu ara. Jika ada di wilayah ini (hutan ulayat Kesembo Ampai) ada pohon kayu ara, maka masyarakat Sakai Desa Kesumbo Ampai tidak boleh serta merta mengambil madunya namun harus meminta izin dulu kepada batin Petani yang memiliki pohon ara ini. “Jika kita ambil dikenakan denda. Jika ada yang menebang pohon sialang maka yang menebang harus menanam 7 pohon dan dari batangnya diselimuti kain putih” sebut pria berusia 83 tahun ini.
Lahan-lahan yang sudah tidak ada hutannya ditanam kembali karena seluruh anak kemenakan warga Sakai sudah diminta melakukan pembibitan tanaman pohon.Ada pohon ditebang, maka di samping pohon itu ditanam pohon baru, fungsinya untuk melindungi tanaman yang ada di sekitarnya seperti kacang panjang, dan lain sebagainya.
Dalam membuka ladang, warga Sakai dari dulu hingga sekarang masih menggunakan teknologi sederhana. Kesederhanaan teknologi sebagai perlambang kearifan lingkungan. Sistem nilai sederhana yang dianut memberikan kebaikan kepada lingkungan. Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian dengan cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak lingkungan. Kondisi alam asli bukan berubah dalam suatu rangkaian keadaan yang tidak mengejutkan. Itu sama halnya dengan kelestarian. Dalam menanam bibit, masyarakat Sakai sangat jarang mengolah tanah.Ini dilakukan selain menghemat tenaga, waktu dan biaya. Kearifan lokal yang ada mempermudah masyarakat untuk melakukan penanaman dengan cara menungal (membuat lubang) di tanah. Di samping itu, pemanfaatan lahan tanpa pengolahan tanah bisa melestarikan lahan pada kondisi alaminya.
Menurut Muhammad Yatim hewan yang sering buru masyarakat Sakai adalah kera, babi hutan, kijang, dan kancil. Hasil tangkapan buruan ini digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari yang dijadikan sebagai lauk pauk. Tidak hanya berburu, orang Sakai sangat terkenal dengan mencari ikan. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengail, serta mereka juga senang menangkap udang dengan menggunakan tangguk, suku Sakai mengenal lebih dari 30 jenis ikan.
Di rawa-rawa atau di sungai-sungai kecil mereka menangkap ikan dengan menggunakan lukah dan jaring. Masyarakat Sakai masa ini hidup dari perburuan, mereka telah mengenal berbagai alat untuk menangkap ikan (jaring) dan mungkin juga jerat serta yang paling penting adalah mereka telah hidup dengan bercocok tanam, baik itu menanam umbi-umbian dan juga padi. Peralatan yang paling sederhana masih menggunakan batu (beliung), namun sudah diupam di seluruh bagiannya dan dilengkapi dengan tangkai. Selain itu mereka menghasilkan berbagai bentuk gerabah sebagai wadah untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari. Sedikitnya gerabah yang digunakan oleh masyarakat Sakai kemungkinan berkaitan dengan cara hidup yang nomaden, sehingga peralatan hidup seperti halnya gerabah sangat mudah pecah, sehingga pemanfaatan gerabah sangat terbatas.
Tidak Seperti Membalik Telapak Tangan
Tokoh muda Sakai, Mus Mulyadi mulai usaha dari nol. Dia kini berhasil mandiri berkat kegigihan dan kemauan kerasnya untuk terus belajar. Pada 1999-2000, Mus Mulyadi mulai bekerja padat karya di lingkungan PT CPI dengan tugas menyapu, membersihkan parit, dan memotong rumput. Dia kemudian berkeinginan untuk menjadi pengusaha. Awal tahun 2000-an, PT CPI meluncurkan Program Local Business Development (LBD), atau program pengembangan usaha lokal, yang bertujuan mengembangkan kemampuan pengusaha-pengusaha kecil di sekitar wilayah operasi perusahaan.
”Selain bidang pendidikan, program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PT CPI juga menyentuh bidang ekonomi kecil dan menengah,” jelas warga asli Sakai ini.
Mus Mulyadi merupakan ketua pertama Gapensus Duri yang membuat kerja sama dengan PT CPI. Gapensus kependekan dari Gabungan Pengusaha Suku Sakai. Saat ini, jelas Mus Mulyadi, ada 43 badan usaha milik Sakai yang tergabung dalam Gapensus. Pada 2012, Mus Mulyadi mulai merambah ke bidang pertanian terpadu. Dengan dukungan PT CPI, dia dan beberapa keluarga Sakai membuat peternakan ikan di kolam berukuran 10 m x 20 m.
Mereka diberikan 10 ribu bibit ikan lele, pakan, pelatihan, hingga pendampingan agar usaha tersebut berkesinambungan. ”Saya dikirim ke berbagai daerah untuk belajar budidaya ikan ke Sukabumi, Garut, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Mus Mulyadi.
Kelompok yang dia pimpin mengembangkan pertanian terpadu di atas lahan seluas 12 hektar. Perlahan tapi pasti, usaha mereka mulai berkembang. Mulai dari satu kolam, kemudian menjadi dua kolam, tiga kolam, hingga sekarang 16 kolam. Masing-masing kolam berisikan 20 ribu ekor lele, kecuali lele di keramba berukuran 5 x 10 meter yang berisi 10 ribu ekor. Saat ini, kelompoknya mengelola 24 keramba. Mereka menabur benih ikan setiap 10 hari sekali.
”Usaha ini sangat menjanjikan bagi saya maupun para keluarga Sakai yang ikut,” terangnya. Saat ini, kelompok taninya mampu memasok hampir 1 ton ikan lele per hari ke pasar-pasar di Duri, dan 500 kg per minggu ke langganan di Dumai. Setelah budidaya ikan berkembang, kemudian Mus Mulyadi melihat peluang lain. Yakni, bertanam buah dan sayuran.” Pihak PT CPI menantang kami untuk membuktikan bahwa kami mampu melakukan apa yang kami inginkan.
Kami menyambut tantangan itu dengan bekerja keras, mencangkuli tanah untuk membuat kebun,” kenang Mus Mulyadi.
Pada tahap awal, mereka menanam cabai, timun, dan kacang. Kemudian berkembang ke peternakan ayam, bebek, dan burung puyuh. Ada juga masyarakat Sakai yang menekuni peternakan dan penggemukan sapi.
”Saya senang karena kerja keras kami membuahkan hasil. Kini, masyarakat Sakai sudah mampu untuk membeli sepeda motor maupun keperluan lainnya. Bahkan juga ada yang membuat usaha budidaya ikan atau tanaman sendiri,” ceritanya.
Chevron Beri Perhatian Khusus
Perhatian serius dilakukan PT Chevron Pacific Indonesia terhadap warga Sakai yang tersebar di Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak dan Kabupaten Rokan Hulu. Perhatian khusus diberikan kepada Kelompok Tani Sakai Terpadu, terutama pengadaan bibit yang diperlukan dan pelatihan warga Sakai agar mandiri.
Peran Chevron hanya sebagai public partnership dari kelompok tani tersebut. Terutama penyediaan peralatan dan bibit. Bantuan ini sifatnya bergulir. Jadi bibit-bibit ini diberi kemudian dikembangkan dan diawasi pihak Chevron hingga berhasil. Setelah itu hasilnya dibelikan bibitnya kembali tanpa harus mendapat suntikan dana dari Chevron lagi.
“Chevron peduli terhadap kebutuhan dasar manusia, kesehatan, pendidikan, perekonomian. Bantuan yang kami lakukan ini merupakan pemberdayaan ekonomi masyarakat Sakai,” kata Sonitha Poernomo Manager Corporate Communication. “Kami berharap pilot project ini berhasil sehingga ekonomi masyarakat Sakai bisa terangkat,” terangnya.
Sebenarnya,Chevron sudah mulai konsen membantu warga Sakai sejak tahun 2001. Bantuan yang diberikan berupa pendidikan untuk 1.400 warga Sakai di tingkat SMA/SMK, beasiswa bagi 160 orang warga Sakai di tingkat perguruan tinggi, bantuan ekonomi kerakyatan melalui kelompok tani, memberikan kesempatan kepada warga Sakai untuk menjadi pengusaha melalui program LBD (local business development) dan sebagainya.
Chevron juga mendukung pendidikan bagi masyrakat Sakai, suku asli Riau. Fokusnya adalah menyediakan akses peningkatan jenjang dan kualitas pendidikan serta pembangunan kapasitas siswa Sakai. Chevron menyediakan buku-buku, memberikan insentif untuk para guru dan menawarkan beasiswa kepada ribuan anak-anak Sakai melalui program Beasiswa Anak Asuh Sakai. “Sejak tahun 2001, sekitar 2.000 masyarakat Sakai telah menerima bantuan pendidikan ini,” tegas Sonitha.
Pembinaan masyarakat Suku Sakai merupakan salah satu program investasi sosial Chevron di bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat. Program PRISMA bertujuan menciptakan kemandirian masyarakat melalui pelatihan pengembangan kapasitas, bantuan teknis, dan menawarkan bantuan pinjaman melalui lembaga keuangan mikro kepada kelompok tani, usaha kecil, dan koperasi.
Program PRISMA telah mendukung lebih dari 2.500 mitra binaan. Pelaksanaannya mencakup 30 sektor, termasuk pertanian, perikanan, komoditas makanan olahan, industri kreatif seperti kerajinan tenun, batik, serta desa wisata berwawasan ekonomi (ekowisata). Chevron juga membantu mendirikan sentra-sentra Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di sekitar wilayah operasinya. "Sentra UKM berfungsi sebagai rumah dagang dan pusat bimbingan usaha," katanya.
Untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri, kata dia, Chevron dan mitra pelaksana program terus melakukan pembinaan, penyebaran peralatan pendukung program, dan pendampingan di lapangan guna meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menjalankan usaha serta mengembangkan potensi lokal.***