DARI HIDUP BERPINDAH, KEMBANGKAN PERTANIAN MODERN

Sakai Tak Lagi Terpinggirkan

Feature | Minggu, 27 Juni 2021 - 13:35 WIB

Sakai Tak Lagi Terpinggirkan
Salah satu rumah warga Sakai yang dibangun pemerintah di Desa Tasik Serai, Kecamatan Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis dijual pemiliknya ke warga suku lain dan meninggalkan pemukiman warga Sakai yang direlokasi pemerintah. Foto diambil baru-baru ini. (HENNY ELYATI/RIAUPOS.CO)

Seperti kebanyakan suku-suku terasing di Indonesia, cara hidup Suku Sakai sangat bergantung kepada alam. Alihfungsi kawasan hutan menjadi daerah ndustry dan usaha, membuat mayoritas masyarakat suku yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera ini harus hidup berpindah-pindah di dalam hutan.

Laporan: HENNY ELYATI (Duri)


Pesatnya perkebunan sawit di Provinsi Riau khususnya Kabupaten Bengkalis membuat Suku Sakai tak lagi punya hutan belantara. Padahal, dulunya mereka hidup bergantung dengan alam. Ilmu alam mereka soal tanda-tanda alam tak bisa lagi mereka gunakan. Padahal dulunya, mereka berburu cukup mengenali jenis pohon dan rerumputan sudah bisa menentukan jenis satwa  apa yang ada di sana. Akankah Suku Sakai hilang di tanah Melayu nan kaya ini?

Tidak mudah memang menjadikan Suku Sakai untuk hidup sebagai masyarakat yang hidup modern. Suku Sakai sudah dikenal orang sebagai salah satu suku asli  yang ada di Provinsi Riau. Sebagai suku pedalaman, tentu bertahan hidup bergantung hasil tangkapan ikan di sungai dan hasil perburuan di hutan.

Karim (45) asyik mengaduk-aduk pakan ternak. Kulitnya yang hitam semakin mengkilap diterpa terik matahari bercampur keringat. Dedak, cacahan ubi kayu dan jagung dicampurnya jadi satu. Dia dan beberapa warga Sakai lainnya bersama-sama mengelola peternakan ayam,  kolam ikan dan ladang pertanian sayur-mayur.

Karim dan puluhan warga Sakai lainnya tidak lagi memilih hidup berpindah. Hal itu tidak lagi dilakukan, sebab  anak-anak Suku Sakai kini mulai membuat tambak atau kolam untuk mendapatkan ikan dan bertani untuk memperoleh sayur-mayur dan beternak sapi/kambing untuk memperoleh daging.

Karim hanya tersenyum simpul saat didekati. “Ini pakan ternak, untuk ayam pedaging. Jumlahnya lebih dari 1.000 ekor. Mudah-mudahan kali ini hasilnya lumayan, bisa untuk sekolah anak-anak,” ujar Karim kepada Riau Pos, Sabtu (18/6) lalu.

Karim salah satu warga Suku Sakai yang mau dibina dan diajari cara beternak ayam, bertani dan memelihara ikan di areal Kelompok Pertanian Terpadu Sakai di Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.

Kelompok Pertanian Terpadu Sakai ini merupakan kelompok tani Sakai pertama kali mendapat perhatian dan binaan dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang memiliki daerah operasional paling besar di Kota Duri. Kelurahan Pematang Pudu berjarak sekitar 8 kilometer dari pusat Kota Duri. Sedangkan Kota Duri memiliki jarak 127 kilometer dari Kota Pekanbaru. Lokasi pertanian Kelompok Pertanian Terpadu Sakai Pematang Pudu ini jauh dari pemukiman warga. Rumah-rumah warga Sakai berjarak 500 meter hingga 1 kilometer. Terlihat rumah-rumah panggung yang tiang dan tongkat rumahnya terbuat dari kayu (rumah Suku Sakai pada umumnya panggung). Sedangkan dinding rumah terbuat dari kulit kayu dan juga seberan papan (sisa papan). Kemudian atap rumah terbuat dari daun rumbia yang dianyam sedemikian rupa. Jauh ke daerah pemukiman Suku Sakai, masih ada pondok-pondok warga Suku Sakai rumah yang menggunakan terpal baik dinding maupun atapnya. Sedangkan tiang, kerangka pondok dan lantai terbuat dari batang-batang kayu yang disusun rapat.  Kesederhanaan gubuk tersebut tak mengurangi kegembiraan anak-anak Suku Sakai kala itu, karena mereka masih tetap ceria bermain di halaman rumah mereka.

Sungai dan Hutan Kini Tak Dapat Diandalkan
Dengan jumlah penduduk Suku Sakai di Pematang Pudu mencapai 300 KK tentu tak mudah mengharapkan hasil hutan dan sungai. Apalagi setiap harinya jumlah tangkapan ikan dari sungai-sungai yang ada di Pematang Pudu semakin tak bisa dipedoman.

Kadang-kadang turun ke sungai menggunakan sonik tak dapat ikan, kalaupun ada hanya bisa untuk makan saja. Hal ini disebabkan semakin banyaknya anak-anak sungai yang mengering dan tak adanya hutan. “Dalam artian benteng terakhir kehidupan kami, yaitu sungai tak bisa diandalkan lagi,” kata Mus Mulyadi, tokoh muda Sakai kepada Riau Pos.

Keterbatasan hasil benteng terakhir kehidupan itulah membuat warga Suku Sakai terpanggil untuk mengembangkan pertanian secara modren sehingga anak-anak bisa melanjutkan sekolah dan menghidupi keluarga setiap harinya.  “Keluarga kita mau hidup juga. Makanya ada kesadaran untuk membentuk kelompok tani ini,” katanya.

Miliki Aturan Jaga Kelestarian Alam 
Sebagai suku terpencil di Provinsi Riau, Suku Sakai memiliki aturan-aturan yang bisa menjamin kelestarian hutan dan sungai yakni kearifan lokal mereka menjadi tolak ukur keberhasilan Suku Sakai dalam melestarikan hutan dan sungai.. Bila aturan-aturan yang diberlakukan Suku Sakai ini juga dijalankan suku-suku lain yang ada di Provinsi Riau maka permasalahan kerusakan hutan dan sungai bisa diminimalisir. Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga ekologi hutan dan perairan adalah dengan menerapkan zonifikasi lahan yang ketat. Hutan ulayat masyarakat sakai dibagi dalam beberapa kategori yaitu hutan adat, hutan larangan dan hutan perladangan. Hutan adat hanya boleh diambil rotannya, damar dan madu lebah, tetapi pohon-pohon utamanya tidak boleh ditebang. Sedangkan hutan larangan, yang biasanya berada di bantaran sungai, sama sekali tidak boleh diusik. Hutan perladangan boleh ditebang untuk ladang dengan sistem rotasi. Dalam membuka ladang, warga Sakai dari dulu hinggga sekarang masih menggunakan teknologi sederhana. Kesederhanaan teknologi sebagai perlambang kearifan lokal yang menjaga lingkungan. Sistem nilai sederhana yang dianut memberikan kebaikan kepada lingkungan.

Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian dengan cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak lingkungan. Kondisi alam asli bukan berubah dalam suatu rangkaian keadaan yang tidak mengejutkan. Itu sama halnya dengan kelestarian. Masyarakat Sakai yang menggunakan peralatan tersebut, secara tidak langsung turut melestarikan budaya leluhur.Alat-alat dan bahan-bahan yang tidak menggunakan mesin atau listrik sehingga ramah lingkungan dan bahan pembuatan yang umumnya berasal dari kayu, rotan, dan bambu yang mudah ditemukan di hutan.

Di Provinsi Riau, kondisi hutan dan sungai baik yang dikelola pemerintah dan perusahaan dalam kondisi kritis akibat penebangan hutan secara liar. Termasuklah hutan ulayat Suku Sakai yang berada di Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Mandau hanya tinggal sekitar 40 hektare saja yang masih terlihat asri. Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna sudah mulai berkurang jumlahnya. Hal ini diakibatkan karena hutan Suku Sakai sebagian besar sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan karet, sawit dan kertas.

Dalam berburu orang sakai tidak membunuh hewan tangkapannya, tetapi mereka melakukan dengan menjerat alat buruan mereka yaitu Konjouw. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Hewan yang mereka sering buru adalah kera, babi hutan, kijang, dan kancil. Hasil tangkapan buruan ini mereka gunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari biasanya mereka jadikan sebagai lauk pauk. Tidak hanya berburu, orang sakai sangat terkenal dengan mencari ikan.

Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengail, serta mereka juga senang menangkap udang dengan menggunakan tangguk, suku sakai mengenal lebih dari 30 jenis ikan. Di rawa-rawa atau di sungai-sungai kecil mereka menangkap ikan dengan menggunakan lukah dan jaring, orang-orang sakai pada masa lalunya memasang lukah dari jaring pada sore hari menjelang malam dan pada pagi hari dapat dilihat hasil tangkapannya.

Pada biasanya ikan yang mereka tangkap langsung mereka goreng. Jika jumlah tangkapannya relatif banyak maka sebagian dari ikan itu untuk dijual kepada orang lain, bahkan suku sakai biasanya membarter ikan tangkapan dengan barang yang mereka perlukan. Peralatan tradisional yang digunakan masyarakat Sakai ini merupakan peninggalan leluhur. Masyarakat Sakai yang menggunakan peralatan tersebut, secara tidak langsung turut melestarikan budaya leluhur. Alat-alat dan bahan-bahan yang tidak menggunakan mesin atau listrik sehingga ramah lingkungan dan bahan pembuatan yang umumnya berasal dari kayu, rotan, dan bambu yang mudah ditemukan di hutan.

Rumah orang Sakai ini termasuk rumah yang sangat unik, karena dapat berdiri dengan kokoh tanpa menggunakan paku. Hanya disambung dengan tali rotan. Keunikan lainnya adalah mereka menggunakan kayu sebagai bahan utamanya seperti tiang dan juga yang lain dengan cara kayu utuh. Rumah orang Sakai juga tergolong rumah yang sederhana, hanya ada satu ruangan yang digunakan untuk serbaguna. Hanya berkisar ukuran 4 x 6 meter saja. Lantai dan dindingnya terbuat dari kulit kayu, sedangkan atapnya terbuat dari jerami atau daun kelapa.

Hutan Penyanggah Hidup Sakai
Di dalam hutan adat Kesumbo Ampai, kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis terdapat sekitar 250 spesies baik flora dan tumbuhan berkhasiat obat serta fauna seperti harimau dan lain-lain. Dalam tradisi Sakai yang hidup bersebati dengan hutan, katanya, berlaku ketentuan adat bahwa setiap menebang satu batang pohon harus menanam satu bibit pohon baru di sampingnya. Masyarakat Sakai setempat pun punya konsensus adat terkait pemeliharaan hutan ini.Penebangan maupun penjualan lahan di kawasan hutan adat itu dilarang dan diharamkan.

“Hutan itu sebagai penyanggah hidup masyarakat Sakai. Lestarikanlah,” ujar sesepuh Sakai Mohammad Yatim kepada Riau Pos.

Jual beli lahan itu dianggap aib yang akan memberi malu pada suku. Pelanggaran terhadap konsensus bersama itu pun ada sanksinya. Diperkuat pula dengan sumpah: Ke rimba tak dapat makan, ke laut tak dapat minum, bertelur busuk, beranak mati. Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah dilarik kumbang. Dengan konsensus dan sumpah setia seperti itu diharapkan hutan adat inibakal lestari.

Menurut M Yatim, ada sanksi yang diberikan kepada anak kemenakan Sakai yang melakukan penebangan pohon. Di mana dalam membuka ladang dulu ada istilah darah ganti darah, nyawa diganti nyawa. Artinya jika menebang pohon ada tunggulnya maka harus diganti dengan pohon lain sehingga pohon tetap ada. Pohon ini berfungsi sebagai pengganti dan pelindung bagi tanaman lain. Pancung alai Sakai yakni siapa yang mengambil hasil hutan jika terus terang dikenakan pajak dan dibayar kepada batin (pemimpin) yang nantinya dananya dipergunakan untuk kemajuan desa.
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook