Mengiringi mimpi dengan kerja keras dan usaha. Menjadikan proses jalan panjang ikhtiar dan doa seorang anak yang lahir dan sekolah di Pekanbaru, hingga berkeliling dunia membawa misi mulia menjalankan tugas dengan hati, sekalipun ke daerah berbahaya. Tentu, tak ada mata ajarnya di bangku kuliah. Demikian Malikah Amril memotivasi generasi muda Riau.
Laporan EKA G PUTRA, Pekanbaru
BERN, ibu kota Swiss terlalu mempesona bagi penikmatnya. Kota-kota di Swiss juga barangkali kerap kita temukan keindahannya melalui literasi gambar yang bisa ditemukan dalam mesin pencarian Google maupun pada kartu pos dan lainnya.
Untuk negara yang relatif kecil dan terkurung daratan, Swiss mengandung sejumlah besar keindahan alam dan keragaman budaya dengan empat bahasa resmi dan semua varietas yang mereka wakili. Penelusuran Riau Pos, terdapat 10 hal yang tersebar di seluruh negeri ini menunjukkan yang terbaik yang ditawarkan Swiss dalam hal pemandangan gunung yang spektakuler, jalan-jalan alam berbunga-bunga, keindahan tepi danau, dan pusat-pusat bersejarah yang indah.
Selain Bern, sebut saja Zurich, Guarda, Interlaken, Lucerne, Montreux, Morcote, Coglio, Stein Am Rhein, Wengen, Zermat. Dan tentunya Jenewa yang juga tak kalah indah dan kaya sejarah, yang menjadi markas berbagai organisasi dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Semua indah. Tapi Indonesia juga tak kalah indah sebenarnya," kata Malikah Amril.
Pekan ketiga Oktober, sebagai bagian dari negara Eropa, Swiss masih memasuki musim panas. Jarak waktu antara berbagai negara di benua hijau tersebut sekitar kurang lebih 5 jam dengan Waktu Indonesia Barat (WIB). Namun, memasuki Oktober nanti, musim dingin. Jarak waktu dengan Pekanbaru menjadi lebih jauh, 7 jam.
Akhir pekan kemarin (23/10), Pekanbaru sedikit mendung. Setelah hujan seharian dua hari sebelumnya. Banjir beberapa titik menjadi pemandangan rutin yang mau tak mau harus dinikmati warga ibu kota Provinsi Riau ini. Pukul 09 pagi waktu Bern, dan pukul 14.00 WIB, Riau Pos sudah janjian dengan Malikah Amril. Seorang perempuan yang sehari-sehari bekerja di salah satu badan organisasi dunia, PBB. Ia menetap di Swiss bersama sang suami, Ciro Damiano. Dari namanya, suami Malikah bisa ditebak, warga kebangsaan Italia.
Malikah Amril saat berfoto di depan Gedung Parlemen Swis di Bern.
"Jelang komitmen berkeluarga, suami saya mualaf," kata Malikah dalam bincang ringan akhir pekan bersama Riau Pos melalui video call di pesan WhatsApp.
Tiga tahun silam, ketika bulan puasa perdana sang suami, dia sampai tidak terima dibangunkan sahur. Sebab mereka harus makan berat pukul 02.00 dini hari waktu setempat. Suatu kebiasaan yang tidak dibuat bangsa Eropa. Makan berat di saat manusia terlelap.
"Namun setelah saya jelaskan, sebagai bagian dari rukun Islam, maka dia (Ciro, red) mau. Dan perjuangannya berat hingga berbuka, karena waktu berbukanya pukul 9-an lewat," kenangnya tertawa.
Serupa jarak waktu dengan WIB, memang waktu di Eropa pada musim panam lebih panjang siang dibanding malam. Namun pada waktu lain pula, seperti musim dingin. Waktu siang lebih singkat. Hal ini pun dikisahkan Malikah, ketika ia tengah kuliah untuk jenjang strata dua (S2) di Belanda beberapa tahun silam.