TELUKKUANTAN (RIAUPOS.CO) - Kini, lanjut Abdul Rauf, permainan ini sudah bisa dimainkan kalangan masyarakat luas dari kelompok usia yang beragam, mulai dari orang tua hingga anak-anak sekalipun. Dalam praktiknya, permainan ini berbeda dengan sepaktakraw.
''Permainan ini dilakukan dalam sebuah garis lingkaran dikelilingi daun kelapa. Yang di bagian atasnya tepat di tengah-tengah garis lingkaran ini diletakkan sebuah payung dengan posisi terbalik. Maka payung yang berada di atas berfungsi sebagai sasaran untuk memasukkan bola,'' beber Abdul Rauf.
Permainan ini, dahulunya dilakukan dengan sistem tim, namun saat ini tidak berlaku lagi. Setiap permainan biasanya terdiri beberapa orang. Sebelum permainan ini dimulai para pemain wajib untuk bersuci dengan mengambil wudhu, setelah itu pemain baru memasuki lapangan.
Pemain segera melempar bola rago tinggi kepada seorang pemain. Penyepak pertama kali disebut sumandan. Pemain penerima bola rago akan mengambil bola dengan kaki kanannya dan gerakannya menyerupai gerakan silat.
Usai bola disepak sumandan, dilanjutkan lagi pemain kedua. Pemain penerima bola berikutnya disebut dengan tunangan. Posisi antara pemain saling berhadapan para tunangan akan berusaha memasukkan bola ke payung yang tingginya bisa mencapai 10-15 meter dari permukaan tanah.
Selain itu, tunangan juga harus selalu berusaha memainkan bola supaya bola selalu berada di udara. Sedapat mungkin jangan sampai jatuh.
Pemain sepak rago tinggi terdiri 7 hingga 11 orang. Dalam permainan ini, tunangan menjemput bola ke dalam wilayah lingkaran, ketika bola rago masih di atas udara apabila bola rago menuju tunangan, maka tunangan yang mendapat bola akan berteriak dengan menyebut ''tabiak'', ''opp'' atau ''hauu'', beserta diikuti dengan isyarat tangan kanan menunjuk ke atas sejajar dengan bola rago tinggi tersebut.
Pada saat permainan, untuk arah jatuh bola rago harus sebelah kanan penyambut bola rago. Apabila pemain jatuh atau lelah, maka pemain akan diistirahatkan. Dia dijemput oleh dara atau anak gadis ke dalam gelanggang permainan.
Pemain yang jatuh diajak duduk sambil makan sirih atau dikasi sebatang rokok yang telah disediakan oleh dara atau anak gadis yang paling cantik di Kenegerian Kopah.
Dalam permainan ini, harus diiringi rarak godang (sejenis musik tradisional asli Kopah. Juga ditambah dengan nada ogung godang, dengan pukulan sesekali. Sedangkan pakaiannya menggunakan pakaian Melayu lengkap.
Acara ini dilaksanakan di depan balai adat atau rumah godang yang ada di Kenegerian Kopah saat panen padi atau Hari Raya Idulfitri.
Satu keharusan yakni setiap dilangsungkan permainan rago tinggi, panitia wajib mengundang penghulu, ninik-mamak, cerdik pandai serta para menti atau dubalang dari empat suku yang ada di Kenegerian Kopah (Melayu, Patopang, Chaniago, Paliang).***
Laporan Mardias Can, Telukkuantan