Richard H Hopper dalam bukunya Ribuan Tahun Sumatera Tengah ~ Sejarah Manusia, Rempah, Timah & Emas Hitam (2016) menuliskan bahwa pada Mei 1973 Caltex mencatatkan produksi puncak 1 juta barel per hari. Sejak pertama kali berproduksi pada awal 1950-an, lapangan-lapangan migas di Riau yang dikelola PT CPI telah memberikan kontribusi terhadap produksi nasional lebih dari 12 miliar barel secara kumulatif, di antaranya bersumber dari lapangan minyak raksasa Minas. Dan selama perjalanannya, industri “emas hitam” tersebut telah membentuk Riau seperti sekarang dan peninggalannya masih dipergunakan hingga kini.
Haryanto menegaskan, dalam perkembangan sektor migas di Riau, banyak pembangunan yang menjadi tonggak sejarah di Riau yakni infrastruktur jalan, jembatan dan pendidikan.
Jalan Minyak
Salah satu peninggalan penting dari industri minyak bagi Riau adalah infrastruktur jalan. Pada masanya ada sebutan “jalan minyak” yang kini ceritanya sudah mulai terlupakan.
Camat Mandau Riki Rihardi kepada Riau Pos mengakui, dulu jalan di Duri terbuat dari tanah liat yang digaru dan digilas alat berat jenis grader, kemudian dikeraskan dengan semprotan minyak mentah sebagai pengganti aspal. Tanah liat yang digaru ini disiram dengan sludge atau residu minyak yang tidak terpakai. Dan dalam perawatannya, lapisan minyak lama dikerok dulu kemudian disiram dengan yang baru. Cara penyiraman ampas minyak itu rupanya berhasil memperkuat konstruksi jalan sehingga bisa dilintasi truk-truk tonase besar termasuk untuk membawa minyak mentah.
“Waktu hujan licinnya minta ampun. Ban mobil terpaksa dirajut dengan rantai besi sebagai perangkat anti slip agar kuat mencengkeram permukaan jalan. Adanya jalan minyak pada masa itu sangat menolong warga di daerah pesisir. Sampai sekarang jalan seperti ini masih ada tetapi tidak lagi disiram pakai minyak mentah,’’ ujar Riki.
Mayoritas jalan yang menghubungkan daerah-daerah di Sumatera Tengah pada waktu itu dirintis oleh PT CPI. Jalan itu merupakan akses transportasi darat pertama yang menyambungkan Padang, Sumatera Barat, hingga ke Dumai. Jalan minyak tersebut kini masih digunakan, menjadi bagian dari Jalan Lintas Timur Sumatera yang menghubungkan Riau dengan Sumatera Utara.
PT CPI awalnya menggunakan jalan itu khusus untuk operasionalnya, dan baru sekitar 1960-an fasilitas itu dibuka untuk publik. Ketika berstatus jalan nasional, rute jalan Pekanbaru-Dumai dipangkas sekitar 24 kilometer di bagian yang curam. Perusahaan Amerika Serikat itu kemudian membuat jalan baru khusus untuk operasionalnya, dan masih digunakan sampai sekarang. Jalan minyak itu sendiri baru diaspal pada dekade 1980-an. Riau Pos pun sempat merasakan bagaimana melewati ‘jalan minyak’ ini seperti Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Hangtuah Duri.
Disebutkan Riki, tidak hanya membangun ‘jalan minyak ini, masyarakat Duri juga tahu PT CPI sedikit banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Manfaat bagi masyarakat sekitar tersebut di antaranya seperti peningkatan kesejahteraan, penyerapan tenaga kerja ataupun dalam tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Tidak bisa dipungkiri bahwa awal Kota Duri ini tumbuh adalah berkat dibukanya perusahaan migas asing di kawasan Kota Duri.
‘’Chevron berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja sehingga berdampak pada pendapatan masyarakat dan roda perekonomian di Kota Duri. Dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, Chevron juga memberikan pengaruh dalam tumbuh kembangnya Kota Duri. Chevron sering memberikan beasiswa pada siswa berprestasi ataupun siswa tidak mampu. Untuk yang lainnya Chevron juga membuka layanan pendidikan seperti sekolah Cendana, memang sekolah tersebut sebagian besar diisi oleh anak kayawan Chevron tetapi masyarakat sekitar juga diperbolehkan mengikuti pengajaran di sekolah tersebut, yang mana sekolah tersebut sudah berstandar internasional dan bagus untuk kemajuan SDM Kota Duri,’’terang putra asli Mandau ini.
Bangun Jembatan
Warga lama di Kota Pekanbaru lebih mengenalnya dengan sebutan Jembatan Lekton atau Leton, ketimbang nama aslinya Jembatan Siak I. Jembatan itu bukan infrastruktur penghubung pertama yang dibuat untuk menyeberangi Sungai Siak di Pekanbaru. Sebelumnya PT CPI membuat jembatan apung di Terminal Boom Lama, tepatnya di Kelurahan Kampung Bandar, Kecamatan Senapelan, yang membentang ke Kecamatan Rumbai Pesisir. Jembatan apung itu dibangun sekitar tahun 1958. Jembatan apung sejatinya adalah perahu besi atau ponton yang disambung-sambung.Terminal PT CPI saat itu berdiri di Rumbai Pesisir yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi Riau Safety Driving Center (RSDC). Terminal Boom Lama yang tersisa adalah sebuah halte di Kampung Bandar, kini dikelilingi oleh taman di bawah Jembatan Siak IV.
Jembatan apung tidak digunakan lagi setelah Jembatan Siak I rampung. Perlu waktu sekitar empat tahun untuk membangun jembatan sepanjang 350 meter dan lebar 9,3 meter itu. Jembatan Siak I diresmikan oleh Presiden ke-2 Indonesia Soeharto pada 19 April 1977. Jembatan Siak I dibangun oleh PT CPI yang kemudian menunjuk PT Leighton Indonesia Construction Company sebagai pihak kontraktor pelaksana. PT Leighton merupakan sebuah perusahaan konstruksi asal Australia.
Infrastruktur Pendidikan
Setalah membangun infrastruktur ekonomi dan perkembangan wilayah, PT CPI juga menjadi perintis berdirinya berbagai fasilitas pendidikan yang memberikan akses bagi pengembangan sumber daya manusia di Provinsi Riau.
Tonggak sejarah tersebut ditandai dengan penyerahan bangunan SMA pertama di Pekanbaru pada 8 Oktober 1957. Sekolah yang kini bernama SMA Negeri 1 Pekanbaru itu tumbuh sebagai sekolah favorit dan sudah banyak melahirkan tokoh masyarakat dan pemerintahan di Riau. PT CPI juga bermitra dengan pemerintah daerah dalam pendirian ratusan sekolah SD, SMP, dan SMA lainnya di Riau, termasuk pembangunan SMKN pertama di Kecamatan Kandis dan Tapung.
Di tingkat pendidikan tinggi, pendirian Politeknik Caltex Riau (PCR) merupakan salah satu langkah monumental dan strategis untuk menjawab kebutuhan SDM yang terampil, profesional, dan siap pakai. PCR yang merupakan politeknik pertama di Riau secara resmi beroperasi pada 2001 atas prakarsa Pemprov Riau dan PT CPI melalui anggaran pembangunan yang disetujui Pertamina-BPPKA (sekarang bernama SKK Migas).
Peraturan Migas
Menurut Haryanto, perkembanguan sector migas tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan yang mengikatnya. Undang-undang (UU) Nomor 44 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, mengatur bahan galian minyak dan gas bumi merupakan kekayaan nasional yang harus dikuasai oleh negara. Dimana hak pengusahaannya dilaksanakan oleh Perusahaan Negara. Sedangkan kontraktor hanyalah pihak yang bekerja untuk membantu Perusahaan Negara dan menerima imbalan untuk hasil kerja tersebut.
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 44 Tahun 1960 praktis lndishce Mijn Wet tidak berlaku lagi di Indonesia dan secara otomatis semua perusahaan asing yang beroperasi di wilayah Riau harus mengembalikan seluruh wilayahnya kepada Pemerintah Indonesia. Dan selanjutnya pengelolaan industri minyak dan gas bumi dilanjutkan oleh Negara.
Pada tahun 1963 Perusahaan Negara yang ditunjuk untuk melanjutkan pengelolaan minyak dan gas bumi di wilayah Riau membuat perjanjian kontrak karya dengan kontraktor. PN Pertamina menandatangani perjanjian Kontrak Karya (KK = Contract of work) untuk wilayah konsesi milik NPPM yaitu dengan PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI). Dimana PT CPI yang didirikan pada Februari 1963 yang dimiliki oleh Chevron dan Texaco. Sedangkan PN Perniagaan sebagai Perusahaan Negara menandatangani kontrak konsesi untuk wilayah milik NV. SVPM dengan PT Stanvac Indonesia (PTSI).
Secara faktual PT CPI memegang hak pengelolaan yang paling besar di Riau. Perjanjian Kontrak Karya PT CPI dengan PT Permina yang ditandatangani bulan September 1963 meliputi Block Rokan I dan Rokan III dengan luas wilayah 9.030 km2. Dan pada tahun 1968 PT CPI juga mendapat tambahan empat daerah baru (Sebanga, Minas Tenggara, Libo Tenggara dan Libo Barat Laut) sehingga total wilayah kerja PT CPI menjadi 9.898 km2. Luas wilayah pengelolaan PT CPI menjadi semakin besar karena di samping melaksanakan kegiatan sebagai kontraktor, PT CPI juga bertindak sebagai operator. Dalam hal ini PT CPI menjadi operator bagi wilayah kerja Calasiatic/Chevron dan Topco/Texaco (C/T).
Dengan latar belakang gerakan reformasi dimana terdapat semangat untuk melakukan perbaikan dalam tata kelola pemerintahan, maka dikeluarkan Undang Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Bagi masyarakat daerah, lahirnya undang-undang ini dapat memberikan harapan baru tentang kemandirian pengelolaan industri hulu minyak dan gas bumi. Pengelolaan industri hulu minyak dan gas bumi oleh daerah didasarkan pada ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) diperbolehkan melakukan kegiatan usaha sektor hulu dan hilir Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan Usaha Hulu bisa mencakup usaha di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Sedangkan kegiatan usaha hilir mencakup kegiatan dalam bidang pengolahan, pengangkutan, penyimpanan serta penjualan minyak dan gas bumi.
Masyarakat di Provinsi sejak awal reformasi sangat berkeinginan untuk mengelola Blok Migas. Latar belakangnya adalah sebagai diantaranya adalah karena produksi Crude Oil terbesar di Indonesia berada di Wilayah Provinsi Riau. Sementara itu sebagian besar masyarakat Riau sebagai penonton di negeri sendiri. Dari jumlah tenaga kerja yang terserap dalam industri hulu migas, jumlah pekerja lokal tidak lebih dari 5 persen. Dalam hal ini masyarakat Riau berkeinginan ikut terlibat dalam usaha kegiatan hulu migas, meliputi investasi, SDM dan teknologi, serta mendapat manfaat lebih dari kehadiran kegiatan hulu migas. Tuntutan daerah Riau untuk mengelola blok minyak dan gas bumi mendapat dukungan dan aspirasi seluruh lapisan masyarakat dan Pemerintah Daerah Riau.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, masyarakat Riau akhirnya berhasil mengambil alih pengelolaan 2 blok minyak yaitu Coastal Plain and Pekanbaru (CPP) Block dan Mountain Front Kuantan (MFK) Block. Pengelolaan CPP Block pada tanggal 6 Agustus 2002, dialihkelolakan dari PT CPI kepada konsorsium BUMD (PT Bumi Siak Pusako) dan BUMN (Pertamina Hulu). Sedangkan Blok Langgak (Mountain Front Kuantan, MFK) dialihkan dari PT CPI kepada konsorsium BUMD Pemerintah Provinsi Riau (PT Sarana Pembangunan Riau) dan Kingswood Capital Ltd mulai efektif tanggal 20 April 2010. Dan pada 2021, CPP Block ini dikelola PT Bumi Siak Pusako (BSP) dan Blok Rokan oleh PT Pertamina Hulu Rokan.
‘’Saat ini ada delapan KKKS yang berproduksi yakni PT Chevron Pacific Indonesia, EMP Bentu, EMP Malacca Strait SA, BOB PT BSP - Pertamina Hulu, PHE Siak, PHE Kampar, Pertamina EP Field Lirik dan SPR Langgak. Yang paling aktif melakukan eksplorasi adalah EMP Bentu dan EMP Malacca Strait SA,’’ terang Haryanto.
Gubernur Riau Drs H Syamsuar mengakui pertumbuhan ekonomi Riau saat ini masuh bergantung pada sektor Migas. Karena itu ke depannya Pemprov Riau tidak bisa hanya mengandalkan Migas guna mendongkrak perekonomian Riau.
Perkembangan industri migas (minyak dan gas) di Riau merupakan potret perjalanan sebuah peradaban. Berkelindan dengan kearifan dan budaya lokal, industri ini turut berkontribusi terhadap perkembangan wilayah, ekonomi, maupun sumber daya manusia yang unggul. Dan, perkembangan serta kemajuan Provinsi Riau tak bisa dilepaskan dari peran industri migas.
“Kalau hanya mengandalkan Migas, tentu akan sulit. Karena kita tidak tahu sampai kapan harga Migas naik, tapi memang Migas ini tidak bisa kita tinggalkan,” sebutnya,, beberapa waktu lalu.
Hal senada juga disampaikan Camat Mandau Riki Rihardi. Dia mengatakan, tidak selamanya sektor migas ini menjadi sektor yang paling diandalkan. Untuk itu, pihaknya mulai mengembangkan sektor ekonomi lainnya seperti perkebunan dan perdagangan. ‘’Saya akan mendorong Kota Duri ini menjadi kota Industri atau perdagangan. Kita harus mampu melepaskan Kota Duri ini dari ketergantungan terhadap perusahaan migas. Bila Kota Duri jadi kota industri atau perdagangan, kota ini mampu mandiri tanpa migas’’ tutup Riki.***
Laporan Henny Elyati, Pekanbaru