Kemiskinan memaksa perempuan-perempuan di Myanmar untuk mencari pekerjaan selepas SMA. Sayang, banyak yang ditipu dan dijual ke negeri seberang, Tiongkok.
JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Bayi yang masih berusia 9 hari itu berkulit kuning langsat. Matanya sipit. Jauh berbeda dengan sang ibu, Nyo. Siapa pun yang melihat pasti menyadari bahwa bayi perempuan mungil itu berdarah Tiongkok.
"Dia seperti ayahnya. Bibirnya juga sama," ujar Nyo seperti dikutip New York Times.
Ada kegetiran dalam jawaban Nyo. Dia mencintai bayinya. Tapi, perawakannya yang mirip dengan ayahnya bagai sebuah kutukan bagi Nyo. Sebab, Nyo tak pernah mencintai pria yang dilabeli sebagai suaminya tersebut. Perempuan 17 tahun itu adalah korban perdagangan manusia. Dia sempat ingin menyerahkan putrinya untuk diadopsi. Namun, dia membatalkan niatnya.
Nasib malang yang dialami Nyo bermula pada Juli 2018. Dia baru lulus SMA. Bersama temannya, Phyu, Nyo ingin mencari kehidupan layak. Mereka berdua tinggal di salah satu desa miskin di Mong Yal, Shan, Myanmar. Rumah orang tua mereka hanya beratap seng. Perang sipil juga kerap terjadi di wilayah tersebut. Barak militer ada di mana-mana.
"Penyelundupan perempuan untuk dijadikan pengantin adalah konsekuensi dari perang sipil," ujar Lauh Khaw Swang, manajer proyek di Htoi Gender and Development Foundation, Kachin, Myanmar.
Tetangga Nyo, San Kyi dan Hnin Wai, menawarkan pekerjaan sebagai pelayan di wilayah yang berbatasan dengan Tiongkok. Hnin Wai adalah salah satu orang kaya di desa itu. Rumahnya paling mewah. Nyo dan Phyu percaya kepadanya.
Suatu pagi mereka dijemput mobil van dan melalui jalan berkelok khas pegunungan. Phyu yang merasa pusing disuruh minum empat pil dan disuntik. Dia tidak bisa mengingat jelas perjalanannya. "Mereka memberinya sesuatu untuk membuatnya lupa dan memicu seksualitasnya. Mereka juga memukulinya," kata Aye Oo, ibunda Phyu.
Nyo berbeda. Dia menolak minum obat apa pun. Dia mengingat dengan jelas perjalanannya. Nyo dan Phyu berusaha lari dua kali, tapi tertangkap karena tak tahu harus ke mana. Mereka dikurung. Suatu ketika dua pria Tiongkok datang dan melihat mereka. Nyo dan Phyu dibawa ke Tiongkok. Mereka dijual untuk dijadikan istri. Phyu menikah dengan Yuan Feng, sedangkan Nyo dengan Gao Ji. Mereka berdua warga Xiangcheng County, Henan, Tiongkok. Masing-masing dijual seharga USD 26 ribu atau setara Rp370 juta.
Kebijakan satu anak yang pernah diterapkan di Tiongkok memang membuat populasi perempuan tidak sebanding dengan laki-laki. Dulu para orang tua memilih aborsi jika hamil anak perempuan. Imbasnya, kini para pria sulit mencari pasangan. Para pria Tiongkok membeli istri dari negara-negara tetangga. Termasuk Myanmar dan Thailand.
Hasil penelitian Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health dan Kachin Women’s Association memperkirakan, ada 21 ribu perempuan dari wilayah utara Myanmar yang dijual ke Tiongkok pada 2013-2017 untuk dijadikan istri. Perhitungan itu hanya satu provinsi di Tiongkok.
Di awal-awal pernikahan, Phyu sering dipukul. Dia juga disuntik sebelum akhirnya ditiduri Yuan. Phyu akhirnya pura-pura bahagia. Dia diajak jalan-jalan. Phyu mulai mencari tahu password telepon genggam suaminya. Phyu berhasil menghubungi ibunya.
Nasib Nyo tak jauh berbeda. Dia berhasil mendapatkan kepercayaan suaminya setelah beberapa pekan. Dia mulai mencari tahu di mana dirinya berada dan menghubungi Myo Zaw Win, aktivis yang membantu perempuan yang diperjualbelikan. Dalam setiap percakapan, Myo berpura-pura sebagai kakak Nyo.
Myo menghubungi polisi Tiongkok dan mulai berkoordinasi. Dua bulan kemudian, Yuan dan Gao ditangkap. Nyo dan Phyu akhirnya bisa pulang. Tetangga yang menjual mereka, San Kyi, juga ditangkap. Sedangkan Hnin Wai berhasil melarikan diri.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi