“Kalau ular masuk kantor sudah tidak terhitung. Kadang piton, pernah juga kobra,” ujar analis Steam Station Area 6 Duri Field PT PHR, Yusuf Ismail.
Yusuf Ismail adalah salah satu petugas lapangan PT PHR yang sehari-hari berkutat dengan mesin operasi minyak dan kawasan sekitarnya, termasuk hewan liarnya. Ular termasuk sering mampir “menyapa” mereka. Tak hanya ke area mesin atau gardu yang tidak ada orang, tapi juga masuk kantor.
Problem ular saat ini ditangani oleh pengendali hama (pest control) yang dibentuk khusus. Bahkan terdapat peringatan di setiap CSS untuk menangani situasi adanya hewan liar. Beberapa plang terpampang, termasuk di CSS 6 pada sisi kanan pintu masuk, yang isinya mengenai standar operasional prosedur (SOP) ketika berjumpa hewan liar, apalagi yang sampai mengganggu operasional.
Menurut Yusuf Ismail, pihaknya sudah terbiasa dan terlatih untuk tidak melakukan tindakan apapun jika berhadapan dengan hewan liar, termasuk ular. Mereka selalu menghindar dan menelepon petugas pest control untuk melakukan tindakan. Biasanya, petugas akan melakukan evakuasi segera jika ada ular yang masuk.
Area pengeboran sumur minyak Blok Rokan yang sekarang dikelola PHR memang berada di area belantara dengan beberapa fauna khas, bahkan buas, termasuk harimau dan gajah. Area antara Duri dan Minas juga merupakan daerah lintasan gajah dan harimau sumatra.
Manager Steam Station PHR, Joko Laksono menambahkan, gajah dan harimau juga menjadi tantangan tersendiri bagi para petugas di lapangan. Hanya saja mereka sudah terlatih untuk tidak melakukan tindakan apapun ketika berhadapan dengan gajah dan harimau.
“Sudah ada SOP-nya. Kita lapor pest control dan sedapat mungkin menghindar. Jika sulit melakukan evakuasi, maka kami berkoordinasi dengan BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam),” ujar Joko.
Situasi paling berat tentunya ketika didapatkan laporan adanya harimau di sekitar area kerja. Padahal pekerjaan mengawasi pompa tidak bisa dihindari dan wajib dilakukan agar operasional pompa tetap berjalan. Jika pompa tidak diawasi dan ada kendala, maka produksi bisa terhenti. Makanya saat ini sudah dibuat prosedur keamanan, jika didapati ada laporan harimau di sekitar area lokasi pengeboran, maka petugas harus benar-benar mengamati area sekitar sebelum keluar dari mobil. Petugas harus mengitari area pompa terlebih dahulu sebelum melaksanakan niat utama mengawasi pompa, terutama di malam hari. Petugas juga harus membunyikan klakson mobil dan menyoroti area pengeboran atau pompa dengan lampu mobil.
“Bahkan sekarang ada prosedur, yakni area pengeboran itu harus bersih dari semak belukar radius 10 hingga 15 meter, sehingga dipastikan area pompa itu tidak ada hewan buas seperti harimau atau ular,” ujar Joko.
Para petugas di lapangan juga diminta menggunakan topeng di bagian belakang kepala mereka jika ada peringatan bahaya harimau. Sebab, ujar Joko, harimau selalu menerkam mangsanya dari arah belakang tengkuk, bukan dari depan. Makanya, jika kebetulan berhadapan dengan harimau, para petugas lapangan ini diminta tidak lari, melainkan tetap tenang dan tetap berhadapan. Mereka juga harus melihat ke arah kaki harimau, bukan ke matanya. Selanjutnya mereka berjalan mundur perlahan dengan wajah tetap ke hadapan harimau dan bergerak perlahan menuju mobil, lalu pergi.
“Sejauh ini, setahu saya tidak ada kejadian petugas diterkam harimau. Cuma antisipasi sudah kami siapkan,” ujar Joko.
Selain harimau, gajah juga menjadi tantangan tersendiri di lapangan minyak Duri dan Minas. Tapi gajah tidak banyak mengganggu proses produksi, seperti menumbangkan pompa atau masuk dan mengganggu area pengolahan minyak. Gajah lebih banyak berkonflik ketika area jalan-jalan mereka atau koridor jalan mereka mencari makan terhambat. Kadang-kadang gajah juga masuk area perkampungan, termasuk pada camp para pekerja PHR.
“Pernah juga masuk ke perumahan dan merusak dapur rumah kami,” ujar Joko.
Untuk mengatasi hal ini, pihaknya merespon dengan mitigasi dan mendatangkan gajah jinak, agar gajah-gajah liar itu bisa diarahkan kembali ke hutan. Bahkan PHR juga membina Pusat Latihan gajah (PLG) Minas. Ada juga program memasang kalung global positioning system (GPS collar). Kalung yang terpasang di leher gajah ini memungkinkan pihak berkepentingan untuk memantau gerakan gajah-gajah liar melalui satelit. Dengan demikian, ketika mereka mulai mendekat ke fasilitas pertambangan atau perumahan penduduk, bisa diantisipasi dengan segera.
Tantangan “Teri” Sumur Tua
Tantangan sesungguhnya para perwira (sebutan pekerja BUMN) dan manajemen PHR adalah kondisi sumur-sumur tua. Era kejayaan Blok Rokan pelan-pelan mulai pudar. Di era operator lama yakni PT Chevron Pasific Indonesia dan sebelumnya Caltex Pacific Indonesia (CPI), sumber-sumber minyak di Blok Rokan pernah konsisten memproduksi minyak mentah rata-rata 600 ribu barel per hari. Masa keemasan itu terjadi pada 1970 sampai 2003. Puncaknya terjadi pada 1973 yang mencapai 1 juta barel per hari. Ketika itu, kombinasi fluida yang ditarik dari perut Bumi masih lebih banyak minyak dibanding air, pasir, atau gas. Sekarang, komposisi fluida yang ditarik dari perut Bumi lebih banyak air dibanding minyak, gas, atau pasirnya.
“Rata-rata sekarang 90 persen air, dan hanya 5 persen minyak. Sisanya gas dan pasir. Jadi kalau dulu itu ‘kakap’, sekarang ini ‘teri’,” ujar EVP Upstream Bussines PHR Edwil Suzandi.
Menurut Edwil, dari 500 barel fluida yang ditarik dari perut Bumi di satu sumur, hanya 5-10 barel yang berupa minyak, sisanya air. Ini yang membuat mereka menyebut, kondisi sekarang adalah mengumpulkan “teri”, bukan “kakap” lagi.
Lapangan minyak yang 95 sampai 100 persen berisi minyak, tanpa ada air, tidak ada di Indonesia. Sumur minyak kelas “paus” itu ada di kawasan Arab dan beberapa negara lainnya. Indonesia pernah memiliki kawasan “kakap” yakni Blok Rokan. Tapi waktu menjadikan blok ini menjadi “teri”. Tantangan mengembalikan kejayaan Blok Rokan inilah yang kini dihadapi PHR.
WK Rokan mempunyai luas wilayah 6.220,29 km persegi. Ada 10 lapangan utama yakni Duri, Minas, Bekasap, Bangko, Balam South, Petani, Kota Batak, Lematang, Petapahan, dan Pager. Terdapat 35 stasiun pengumpul, 13.200 km jaringan pipa yang setara dengan jarak Sabang sampai Merauke, dan 500 km pipa aliran jaringan shipping line.
Sejak beroperasi 1952, penurunan produksi mulai terjadi pada 2003. Rata-rata penurunan produksi mencapai 11 persen per tahun. Kondisi ini dinilai membahayakan karena di awal alih kelola dari CPI ke PHR pada 9 Agustus 2021, penurunan bahkan mencapai 26 persen. Ketika alih kelola, produksi Blok Rokan mencapai 158,5 ribu barel per hari. Penurunan produksi terus terjadi dengan kalkulasi 4 ribu barel per hari dan terus turun. Makanya, manajemen Pertamina mengubah mindset dengan menambah produksi, bukan lagi menahan laju penurunan produksi. Sebab, sebagai sumur tua kelas “teri”, sudah sulit mengembalikan kejayaan sumur-sumur tua itu.