MELIHAT GAJAH-GAJAH TERLATIH (FLYING SQUAD) TNTN

Histeria Rimbani saat Jumpa Lisa

Feature | Minggu, 22 Agustus 2021 - 09:30 WIB

Histeria Rimbani saat Jumpa Lisa
Rimbani dengan raungan kerasnya di samping adiknya Riyu dan induknya Lisa, beberapa waktu lalu. (MUHAMMAD AMIN/RIAU POS)

Fase birahi gajah jantan kerap disebut musht. Hal itu ditandai dengan keluarnya kelenjar hitam berbau menyengat dari pelipisnya. Saat kondisi seperti itu, gajah jantan sangat agresif. Sering kali mengamuk, menabrak apa saja, menjatuhkan pohon, bahkan menyerang apa saja yang ada di dekatnya. Fase ini bisa redam saat gajah jantan menemukan betinanya dan kawin. Lisa, gajah Flying Squad TNTN, sudah berkali-kali didatangi gajah jantan liar ini.

"Dalam periode tertentu, gajah jantan itu datang lagi," ujar Eko.


Lisa, gajah betina yang ditangkap dari kawasan Serengge, Kecamatan Batang Peranap, Inhu pada 1997 ini sudah beberapa kali beranak. Setidaknya sudah empat kali. Gajah memiliki waktu bunting 23 bulan. Ia bisa kawin sekali empat tahun.

Terakhir, anak keempatnya adalah Riyu yang lahir pada Jumat, 11 Desember 2020, sekitar pukul 05.00 WIB. Riyu berjenis kelamin jantan. Di Dari pengukuran morfometri bayi gajah tersebut ketika lahir, tinggi badannya 95 cm, panjang 1,10 cm, dan lingkar badan 1,20 cm. Sedangkan berat badannya 114 kilogram, sudah setara sapi jelang dewasa.

Selain dua induk gajah yang ditampilkan, ada dua gajah dewasa lagi berjenis kelamin jantan. Keduanya diberi nama Rahman (48) dan Indro (42). Keduanya, dan juga beberapa yang lainnya tidak diperlihatkan ketika itu.

Latar Berbeda
Keempat gajah dewasa ini memiliki latar belakang yang berbeda. Selain Lisa dari Serangge pada 1997, Ria ditangkap di Duri pada 1990. Ria merupakan gajah pertama yang dilatih Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas setelah PLG ini dibuka pada 1988. Gajah jantan Rahman berasal dari kawasan hutan PLTA. Gajah ini sempat berkonflik dengan masyarakat sekitar karena habitatnya yang terganggu di kawasan Pulau Gadang, PLTA Koto Panjang. Gajah ini ditangkap pada 1995. Sedangkan Indro ditangkap tak jauh dari Pekanbaru, tepatnya di kawasan Muara Fajar pada 1998. Indro merupakan penghuni Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim. Keempat gajah ini awalnya dilatih di PLG Minas. Ketika ditangkap dari habitatnya, umur mereka rata-rata masih 15 tahun. Masih remaja. Menurut Eko, umur gajah hampir sama dengan manusia. Gajah bisa hidup antara 60-70 tahun di alam liar.

"Awalnya empat gajah ini dengan empat mahout juga, termasuk saya. Setelah dilatih di PLG, baru kemudian dibawa ke mari (TNTN)," ujar Eko.

Mahout ini awalnya bekerja sama dengan World Wide Fund for Nature (WWF). Tapi setelah putus kontrak dengan WWF, para mahout bekerja langsung di bawah Balai Taman Nasional Tesso Nilo.

Kini terdapat sembilan gajah di sini. Selain empat gajah dewasa, terdapat lima anakan dari hasil perkawinan di antara gajah Flying Squad TNTN, juga dengan gajah liar. Anak-anak itu adalah Rimbani (6), Harmoni Rimba (4), Tesso (15), Imbo (10), dan Riyu (tujuh bulan). Terdapat juga gajah yang mati bernama Nela. Gajah anakan ini juga merupakan anak Lisa, hasil perkawinan dengan sesama gajah Flying Squad TNTN, Rahman.

"Kematian Nela diduga karena masuk angin," ujar Eko.

Patroli Rutin
Eko menyebutkan, empat gajah dewasa rutin melakukan patroli untuk mengatasi konflik antara manusia dan gajah. Yang dilakukan adalah mengusir gajah liar kembali ke habitatnya dan tidak masuk ke permukiman. Menurut Eko, sebenarnya gajah takut pada manusia. Jika pun ada konflik, memakan tanaman manusia, bahkan ada yang merobohkan rumah atau menyebabkan kematian manusia, itu terjadi karena manusia yang memasuki kawasan gajah. Ada wilayah jelajah gajah yang rutin dilalui mereka, tapi kemudian sudah berganti dengan kebun sawit atau bahkan perumahan.

"Bagaimana pun, kalau ada konflik, kita berusaha mengusir gajah liar kembali ke hutan," ujarnya.

Habitat Terancam
Kepala Balai TNTN Heru Sukmantoro menyebutkan, gajah merupakan satu dari banyak kekayaan Taman Nasional Tesso Nilo yang harus dijaga. Menjaganya tetap utuh menjadi tantangan tersendiri. Heru yang baru beberapa bulan sebagai kepala balai ini menyebut, sulitnya menjaga TNTN tak bisa lepas dari sejarah terbentuknya TNTN yang merupakan bekas hutan produksi. Hutan produksi itu pun sudah rusak dan berganti perkebunan sawit. Hutan produksi itu awalnya memiliki luas 38 ribu hektare. Pada tahun 2009 kawasan TNTN diperluas menjadi 81.793 hektare. Kemudian dipetakan lagi tata batasnya pada 2011 dan ditetapkan 2014 seluas 81 ribu hektare.

"Kita akui, yang tersisa kurang dari 14 ribu hektare," ujar Heru.

Itulah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya konflik manusia dengan hewan liar, dalam hal ini gajah. Habitatnya terancam dan bahkan sudah benar-benar porak-poranda. Bukannya tidak ada solusi. Edukasi, sosialisasi, pendekatan keekonomian, bahkan penegakan hukum sudah dilakukan. Preventif maupun represif sudah diterapkan. Tapi tidak juga mempan. Satu-dua masyarakat sudah dipenjara karena merusak kawasan hutan, mengokupasi kawasan hutan dan menjadikannya perkebunan sawit.

"Kalau kami mau, sebulan bisa tuntas. Misalnya dengan herbisida udara. Sawit-sawit ilegal di dalam kawasan akan mati. Tapi kalau itu kami lakukan, dampak sosialnya sangat besar," ujar Heru.

Sebagai taman nasional, tentu saja kawasan ini dapat sedikit terbuka, termasuk untuk zona wisata. Selain zona inti seluas 6 ribu hektare, di TNTN juga ada zona rimba seluas 16 ribu hektare, zona pemanfaatan, antara lain wisata alam seluas 2 ribu hektare. Selain juga ada zona religi, dan zona tradisional. Tapi di antara kawasan itu sudah terokupasi sawit seluas 60 ribu hektare. Zona wisata alam menjadi salah satu upaya Balai TNTN untuk mengedukasi masyarakat termasuk para siswa dan mahasiswa untuk mencintai alam dan berbagi ruang dengan satwa.

"Termasuk kita mengedukasi dengan gajah-gajah di Flying Squad TNTN ini," ujarnya.***


Laporan Muhammad Amin, Pelalawan









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook