KISAH PROGRAM PENANAMAN MANGROVE KLHK DI BATAS NEGARA

Menghadang Ombak Selat Melaka Menjaga Kedaulatan Indonesia

Feature | Kamis, 10 Desember 2020 - 21:58 WIB

Menghadang Ombak Selat Melaka Menjaga Kedaulatan Indonesia
Desa Muntai Barat, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis yang mendapatkan program penanaman mangrove dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, foto bersama di lokasi penanaman. (KLHK FOR RIAUPOS.CO)

Cahaya matahari baru berpendar di Desa Muntai Barat, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Solihin (46) memandang nanar ke arah hamparan pantai luas, yang langsung berhadapan dengan laut lepas.

''Dahulunya di sana itu daratan. Ada pemukiman. Karena abrasi ombak laut, semuanya perlahan hilang menjadi lautan. Banyak penduduk di kampung kami punya surat tanah, tapi rumahnya ada di laut,'' ceritanya lirih sambil menunjuk ke arah pantai yang sedang surut. 


Sejauh mata memandang, hamparan pantai berlumpur terlihat. Ada sisa-sisa tonggak tapak rumah. Menandakan bahwa dulu di atasnya ada tempat berteduh yang kini sudah runtuh. Jika diambil garis lurus menggunakan kapal, Desa ini cuma berjarak 30 menit saja dari negara tetangga, Malaysia. Kedua daratan hanya dipisahkan oleh Selat Melaka. Inilah Desa terluar, sekaligus terdepan di batas negara Republik Indonesia.

Tidak hanya rumah, abrasi telah membuat banyak kebun warga di banyak Desa berubah menjadi laut. Hal yang membuat warga semakin sedih, tidak sekali dua kapal nelayan negara tetangga, kemudian terlihat melaut di garis pantai bekas kampung mereka. 

Tak ingin larut melihat kondisi itu, Solihin merangkul masyarakat kampungnya mendirikan LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli Lingkungan (IPMPL). Mereka mulai menyuarakan penyelamatan kawasan pesisir pantai Pulau Bengkalis dengan penanaman mangrove. 

Namun sayangnya, meski berbagai cara telah mereka lakukan, tak banyak respon yang mereka dapat dari pemerintah ataupun pihak swasta lainnya. Ada banyak pihak yang datang, tapi hanya sekedar berjanji saja. Solihin memperkirakan ada lebih dari 60 Km garis pantai dari Desa Tanjung Jati hingga ke Tanjung Sekodi Pulau Bengkalis yang terancam abrasi dan tidak bisa hanya menunggu janji melainkan aksi nyata.

Baca Juga : PLN-KLHK Teken MoU

Di desa mereka saja, abrasi bisa memakan daratan dengan rata-rata 30-40 meter per tahun. Berdasarkan hasil penelitian akademisi Unri (Sigit, 2014) pada kurun waktu 26 tahun menunjukkan bahwa Pulau Bengkalis mengalami pengurangan luas daratan rata-rata 42,5 ha/tahun akibat abrasi.

''Rasanya mau menangis saat melihat tiap jengkal tanah jatuh ke laut. Rasanya sudah ada 1 km daratan desa kami berubah jadi lautan. Padahal di sinilah daratan yang berhadapan langsung antara Indonesia dan Malaysia. Setiap jengkal tanah di sini sangat berarti untuk menjaga kedaulatan negara,'' tutur pria kelahiran 21 Agustus 1974 ini.

Setelah penantian yang cukup lama, angin segar mulai menyapa kampung mereka melalui program Penanaman Mangrove Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PMN KLHK) 2020. Program ini menjadi bagian dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menyikapi dampak pandemi Covid-19 Corona.

Didampingi tim dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan, Kelompok Ikatan Pemuda Melayu Peduli Lingkungan (IPMPL), yang kemudian diperluas menjadi IPML I, II dan III, mendapatkan bantuan dari KLHK untuk penanaman mangrove seluas 210 ha. Ini menjadi lokasi paling terluas dari program PMN KLHK di Provinsi Riau.

''Alhamdulillah, inilah pertama kalinya kami mendapatkan perhatian pemerintah dalam bentuk program nyata untuk menahan laju abrasi. IPMPL I mengerjakan 100 ha di Desa Muntai Barat. IPML 2 mengerjakan 80 ha di Desa Muntai, dan IPMPL III mengerjakan seluas 30 ha di Desa Pambang Pesisir. Lebih kurang penanaman mangrove ini menjangkau hingga 10,5 Km garis pantai pulau Bengkalis,'' kata Solihin yang kemudian didapuk anggotanya menjadi penasehat utama Kelompok Tani Hutan (KTH) pelaksana program pemerintah ini.

Awalnya tidak sedikit dari anggota kelompok merasa pesimisis dan khawatir jika tawaran program ini hanyalah janji manis tanpa bukti. Namun dengan pendampingan dan komunikasi yang intens dengan tim BPDASHL Indragiri Rokan KLHK, pihaknya merasa yakin bahwa penantian sejak lama itu beneran nyata adanya.

''Saya sampai pasang badan ke masyarakat, andai program ini tak jadi, biarlah saya yang mengganti rugi. Kami rapat hampir tiap malam, dan sayapun tak pulang berbulan-bulan demi mengawal program ini di lapangan. Semata-mata karena ini adalah amanah yang harus dijaga, dan telah menjadi penantian panjang untuk menyelamatkan tiap jengkal tanah di kampung kami,'' tegas Solihin.

Program padat karya KLHK membangkitkan kembali semangat masyarakat. Sadar akan manfaat menanam mangrove, penduduk kampung ikut turun beramai-ramai terlibat. Per hektar kawasan pantai bekas abrasi ditanami lebih kurang 10 ribu bibit, dengan jarak tanam 1x1 meter. Sehingga ada sekitar 2,1 juta bibit propagul yang ditanam di lokasi tiga desa ini. Propagul adalah buah mangrove yang telah mengalami perkecambahan.

Tidak semata hanya mendapatkan manfaat pemulihan lingkungan, melalui program ini lebih dari 1.000 masyarakat di tiga desa mendapatkan manfaat langsung secara ekonomi. Mulai dari pengadaan bibit, pengerjaan, hingga penanaman, seluruhnya memiliki hitungan pembiayaan yang langsung dibayarkan ke rekening kelompok dan rekening masing-masing anggota.

Tidak hanya sekedar semangat menanam, masyarakat dengan inisiatifnya menjaga bibit yang sudah mereka tanam. Mereka membeli kamera CCTV, dan drone untuk mengawasi luas hamparan tanam yang berkilo-kilometer jauhnya. Tantangan terbesar yang mereka hadapi kini adalah faktor alam, salah satunya ombak laut.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook