Ketika "Tujuh Hantu" Tak Lagi Adang BBM Rakyat

Feature | Selasa, 06 November 2018 - 21:13 WIB

Ketika "Tujuh Hantu" Tak Lagi Adang BBM Rakyat
DI DEPAN SPBU: Zainal Abidin berada di depan SPBU Kompak Labuhan Bilik, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, beberapa waktu lalu.

Teluk Meranti sedang menggeliat. Biasanya bahan bakar minyak (BBM) begitu sulit didapat di kecamatan di daerah pesisir Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau ini. Kalaupun ada, harganya melangit. Sangat mahal. Ada “tujuh hantu” yang mengadangnya di muara Sungai Kampar. Itulah gelombang bono. Akibat gelombang besar itu, distribusi BBM ke desa-desa di Kecamatan Teluk Meranti, juga Kecamatan Kuala Kampar tersendat. Kadang hingga berhari-hari dan berbilang pekan. Kini dan ke depan, semuanya jadi cerita lama. Solusi permanen sudah ada.

Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Suara mesin las masih riuh. Pekerja juga masih sibuk melakukan pekerjaan akhir (finishing), Senin (5/11). Persiapan jelang peresmian stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Kompak Desa Labuhan Bilik, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau itu makin dekat.

Tapi, aktivitas jual beli BBM berupa premium dan solar sudah dilakukan. Belum menggunakan dispenser dan nozle seperti SPBU atau APMS (agen premium dan minyak solar) lainnya. Masih ketengan atau manual. Lokasinya pun agak jauh dari SPBU Kompak Labuhan Bilik, terkait keamanan. Tapi, harganya sama dengan di SPBU lainnya, Rp6.450 per liter untuk premium, dan Rp5.150 per liter untuk solar. Ini yang berbeda dari biasanya. Sebab, biasanya premium di tempat ini dijual seharga Rp13 ribu hingga Rp15 ribu per botol isi satu setengah liter atau Rp8 ribu hingga Rp12 ribu per liter. Kadang harganya bisa empat hingga lima kali lipat, yakni Rp20 ribu hingga Rp25 ribu per liter jika pasokan putus. Penyebabnya adalah jarak distribusi yang sangat jauh. Ada juga adangan bono dalam perjalanan distribusi itu.

Bono merupakan gelombang panjang hasil pertemuan arus laut dan arus Sungai Kampar di kawasan Semenanjung Kampar (sebutan kawasan lahan gambut di muara sungai ini). Terdapat tujuh gelombang besar yang beriringan dengan tinggi tiga hingga lima meter. Satu gelombang besar di depan, enam di belakangnya. Tujuh gelombang ini kerap disebut masyarakat setempat sebagai "tujuh hantu bono". Gelombang bono ini sangat mematikan. Banyak kapal yang hancur dan nyawa yang melayang akibat dihantam gelombang bono.

Masyarakat yang sudah memahami karakter "sang tujuh hantu" akan menunggu bono lewat. Kadang hingga dua jam. Bisa lebih. Makanya, transportasi apapun yang melewati muara Sungai Kampar ini tidak bisa dipastikan jadwalnya. Harus menyesuaikan dengan jadwal bono.

Desa Labuhan Bilik, Kecamatan Teluk Meranti merupakan satu desa yang rutin dilewati bono. Sama seperti beberapa desa lainnya di sepanjang muara Sungai Kampar ini, yakni Teluk Meranti, Pulau Muda, Segamai, dan Gambut Mutiara. Bahan bakar minyak (BBM) selama ini dibawa beberapa pengusaha kampung menggunakan jeriken atau gelen dengan menggunakan kapal. Mereka membawa sekali sepekan dengan mengisi di SPBU Sorek, APMS Bunut, kadang SPBU Pangkalan Kerinci. Tentu dengan diam-diam, menyerempet pelanggaran hukum. Setidaknya tidak sesuai standar seharusnya. Dari sana, BBM itu didistribusikan ke beberapa desa, melewati rintangan bono Sungai Kampar.

Hal itu pula yang dulu dilakukan Direktur SPBU  Kompak Labuhan Bilik, Zainal Abidin. Keluarganya sejak dulu membeli BBM di SPBU atau APMS, lalu menjualnya di Penyalai dan Labuhan Bilik.

‘’Dulu kami juga main kucing-kucingan dengan petugas Pak. Kami beli pakai gelen (jeriken, red),” ujar Zainal.

Tapi keadaan memang seperti itu. Jika tak ada yang bergerak, maka masyarakat tak akan bisa mendapatkan BBM. Bagi masyarakat, yang penting BBM ada. Walaupun mahal, tetap akan dicari. Kalau bisa dengan harga yang sama dengan BBM di perkotaan, tentu mereka lebih senang. Transportasi sungai ini tentunya tak bisa ditebak, kecuali bagi yang sudah berpengalaman. Bono kadang datang siang, kadang malam, tergantung bulan. Biasanya, setelah membawa BBM dari SPBU dengan kapal, mereka menunggu reda bono di Tanjung Bebayang sampai air benar-benar surut dan kapal kandas.

“Setelah air naik, baru berangkat lagi ke tujuan,” ujarnya.

Zainal menyebutkan, biasanya, mereka membawa hingga 1 ton BBM, baik jenis solar maupun premium. BBM itu dibawa dengan jeriken-jeriken. Satu jeriken bisa memuat 32-33 liter. Dengan pengeluaran biaya transportasi, anak buah kapal (ABK), dan lainnya, keuntungan per jeriken “hanya” Rp10 ribu.

Bermula dari Usaha Keluarga

Usaha menjual BBM ini sudah cukup lama digeluti keluarga Zainal. Ayah dan ibunya berjualan BBM sejak mereka muda. Bahkan, anak-anak keluarga ini dibesarkan dari penjualan BBM selain perkebunan kelapa. Awalnya, cerita Zainal, keluarganya lebih banyak berkebun kelapa. Kawasan di muara Sungai Kampar sejak masa awal kemerdekaan memang terkenal subur karena membawa lumpur dari hulu. Komoditas pertanian dan perkebunan melimpah di sana, termasuk di desa kelahiran Zainal, Labuhan Bilik. Kelapa salah satunya. Akan tetapi harga kelapa terus merosot. Jika sebelumnya harga kelapa mencapai Rp2.000 per butir, belakangan hingga kini hanya Rp500 per butir. Biasanya, para pekebun kelapa di Labuhan Bilik menjual kelapa mereka di daerah Guntung di Kabupaten Indragiri Hilir. Sejak harga kelapa turun, maka usaha penjualan BBM ini yang diteruskan dan bertahan.  

Keluarga ini menjual BBM awalnya di Labuhan Bilik. Akan tetapi, mereka kemudian pindah ke Pulau Penyalai atau disebut juga Pulau Mendol, juga di muara Sungai Kampar. Zainal pun lebih banyak berkiprah di Penyalai, yang masuk wilayah Kecamatan Kuala Kampar.

“Hampir semua kami pindah. Hanya satu bibi yang masih jualan bensin di Labuhan Bilik,” ujar Zainal.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook