Mendulang Rezeki dari Keindahan Negeri

Feature | Jumat, 13 September 2019 - 15:44 WIB

Mendulang Rezeki dari Keindahan Negeri
PETANG HARI: Suasana petang hari di Pulau Cinta, Desa Telukjering, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Ahad (1/9/2019).(MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS)

"Dalam adat kami, danau, suak (telaga), boncah (kubangan air), pantai nan tajorok, dikuasai ninik mamak untuk kemaslahatan bersama," ujar Mubarak.

Saat hamparan pasir muncul, sebenarnya godaan itu pun ada. Masyarakat diiming-imingi pengusaha. Masyarakat Telukjering yang rata-rata miskin karena sebagian besar hanya petani dan nelayan diminta untuk ikut dalam proyek penambangan pasir. Ninik mamak pun digoda dengan setumpuk rupiah, tak kurang dari Rp5 miliar. Warga tentu bisa kecipratan. Sebab, warga juga bisa mendapatkan pekerjaan tambahan. Dalam sehari, tiga kubik pasir bisa diangkut dari kawasan ini.


"Tapi ninik mamak mempertahankan kawasan ini tetap seperti sedia kala. Nah, ternyata muncul keberkahan lain berupa kunjungan wisatawan yang luar biasa," ujar Mubarak.

Ada pula kearifan lokal lainnya yang terus terjaga yakni makan bersama. Tradisi ini dilakukan sepanjang bulan Sya'ban, menjelang masuk Ramadan.  Setiap rumah akan menyediakan makan siang dan malam secara bergantian. Sebanyak 55 rumah itu didatangi tiap hari oleh warga secara simultan. Di sana muncul interaksi dan mempererat kebersamaan. Pada momen yang lebih besar ada tradisi makan bajambau, yakni makan bersama seluruh warga. Hidangan dijejerkan dengan alas daun pisang. Bisa hingga puluhan meter. Lalu semua warga makan bersama. Jika ada pengunjung yang datang di waktu itu, semuanya ikut diajak makan. Termasuk anak-anak mahasiswa yang sedang berkemah.

"Jadi mungkin keramahan ini yang turut mempopulerkan kampung kami," ujar Mubarak.

Kearifan lokal juga yang dipertahankan masyarakat Kuantan dengan pacu jalurnya. Kearifan lokal ini bahkan sudah melegenda karena sudah berusia lebih dari satu abad. Momentum awalnya adalah ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina lebih seabad silam. Jalur berasal dari kayu hutan Kuantan yang diambil bersama, dipahat dan dijadikan sampan panjang berisi lima puluh pendayung. Sampan panjang itulah yang dipacu. Ada warisan panjang kearifan lokal di sini, karena proses pembuatan jalur hingga memacunya memerlukan kerja sama seluruh warga desa selama berbulan-bulan. Mulai memilih pohon, maleo (menarik), melayur (mengapikan), hingga membentuk jalurnya.

Kegiatan tahunan pada tiap Agustus ini menyedot animo masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Lebih seratus ribu pengunjung selalu memadati Tepian Narosa Kota Telukkuantan untuk menyaksikan para lelaki perkasa mengayuh dayung.

Bahkan, pada puncak final pacu jalur 2019, Menteri Pariwisata Arief Yahya ikut hadir. Dua rekor Museum Rekor Indonesia (Muri) juga ditorehkan dalam kesempatan itu. Dua rekor itu adalah tari randai dan pacu jalur terbanyak. Tari randai  dibawakan oleh 1.574 orang. Biasanya tarian tersebut diikuti 30-40 peserta. Sedangkan pacu jalur 2019 lalu meraih rekor Muri setelah menampilkan 175 jalur dengan 9.625 anak pacu.

"Dengan budaya dan kearifan lokal ini, pengembangan wisata bisa bertahan lama," ujar tokoh masyarakat Kuantan Singingi Datuk Bisai Edyanus Herman Halim.

Pacu Ekonomi Rakyat

Pengembangan pariwisata sesungguhnya bisa menjadi tonggak peningkatan ekonomi rakyat. Apalagi, promosi wisata kini tidak lagi serumit dulu. Dengan berbekal telepon pintar (smartphone) saja, potensi pariwisata dapat dikenalkan ke seluruh dunia. Dunia digital yang berevolusi sedemikian dahsyat membantunya. Kreatifitas kaum milenial membawanya lebih cepat. Tinggal bagaimana meningkatkan promosi itu dan ujungnya untuk kesejahteraan rakyat.

"Di era sekarang ini, pariwisata merupakan salah satu sektor utama ekonomi rakyat," ujar Edyanus, yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau ini.

Dia mencontohkan pada kegiatan pacu jalur yang sedemikian spektakuler. Di sana, selama sepekan pengunjung terkonsentrasi di suatu tempat. Mereka makan, minum, menginap, melakukan mobilisasi, bergerak. Mereka juga perlu oleh-oleh, cenderamata, buah tangan, dan lainnya. Semuanya merupakan potensi ekonomi, yang jika digarap secara profesional akan sangat meningkatkan ekonomi rakyat. Apalagi, bagi masyarakat asal Kuantan Singingi, yang kini sudah menyebar ke berbagai kota, provinsi dan negara, pulang kampung saat pacu jalur merupakan kewajiban. Bahkan, lebih utama bagi mereka pulang kampung saat pacu jalur dibandingkan saat Hari Raya Idul Fitri.

"Bagi orang rantau Kuantan, kalau tak pulang kampung saat pacu jalur ini bisa demam mereka," ujar Edyanus.

Untuk itulah, potensi besar ini harusnya digarap dengan baik dan profesional. Dia membayangkan tata kelola pariwisata Kuansing dan Riau pada umumnya seperti Bali yang sudah sedemikian profesional. Rakyat perlu dilatih mengelola rumah singgah yang baik, bersih, rapi dan membuat betah pengunjung. Mereka perlu dilatih lebih intensif untuk sadar wisata, mampu membuat cenderamata, oleh-oleh makanan kelas internasional. Kemasan, logo, higienisitas, dan standar kesehatannya harus terjamin.

"Sekarang sudah ada, tapi masih musiman. Harus lebih baik lagi," ujarnya.

Sebagai kegiatan tradisional, pacu jalur sesungguhnya sudah go international dengan hadirnya atlet-atlet mantan anak pacu (sebutan pendayung) di iven SEA Games dan Asian Games. Mereka bahkan meraih medali. Rio Akbar, Maizir Riyondra, dan Raudani Fitrah adalah beberapa nama yang pernah meraih emas, perak, dan perunggu, mewakili Indonesia di ajang Asian Games, nomor Dragon Boat jarak 500 meter dan beberapa iven lainnya skala internasional. Mereka bertiga dibesarkan dari mengayuh jalur di Sungai Kuantan dan kemudian menjelma menjadi atlet profesional.

Menurut Edyanus, perlu dilanjutkan ide ini dengan menjadikan pacu jalur sebagai agenda internasional. Caranya dengan mengundang atlet asing berpacu jalur. Memperkenalkan kegiatan ini akan lebih efektif dengan menerjunkan mereka langsung sebagai peserta. Mereka diyakini akan terkesan dengan pacu jalur ini dan akan memposting rasa terkesan itu di laman Facebook atau Instagram. Ini akan mengundang teman, rekan, keluarga dan sejawat lainnya datang pada kesempatan berikutnya.

"Ini jauh lebih baik daripada sekadar promosi konvensional," ujarnya.

Selain pacu jalur, di Kuansing yang berkontur perbukitan karena berada di kawasan Bukit Barisan Pulau Sumatera ini juga banyak objek wisata lain. Sebutlah air terjun guruh gemurai, air terjun Batang Koban, air terjun tujuh tingkat, dan lainnya. Keindahan air terjun-air terjun itu tak diragukan. Eksotisme alamnya memukau. Bak potongan surga yang tersembunyi di Bumi. Ini bisa menjadi tujuan wisata lainnya bagi wisatawan, selain pacu jalur.

Efek dominonya, ekonomi rakyat pun terangkat. Bahkan, pariwisata ini bisa menjadi penopang ekonomi nasional dalam skala yang lebih luas. Jika benar-benar profesional, para pembuat cenderamata, pembuat oleh-oleh, penyedia rumah singgah akan menuai keuntungan besar. Rakyat pun akan sejahtera.

Secara umum, Riau memang memiliki kekayaan alam yang besar. Tapi minyak Bumi itu pelan-pelan akan habis. Saatnya Riau memiliki sumber daya baru. Salah satu kekayaan itu adalah keindahan alam yang tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota. Keindahan alam itu harus dapat dikonversi menjadi sumber penghasilan bagi rakyat. Tujuannya untuk meningkatkan ekonomi rakyat.

"Kalau ekonomi rakyat terangkat, bangsa akan cepat maju. Sebab, kemajuan sebuah bangsa tergantung kekuatan ekonomi rakyatnya," ujarnya.***

Laporan: Muhammad Amin (Pekanbaru)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook