JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah dan DPR RI dituntut segera memperbaiki UU Cipta Kerja (Ciptaker) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan produk legislasi itu inkonstitusional bersyarat. Proses perbaikan harus melibatkan partisipasi masyarakat luas.
Pesan yang disampaikan MK, menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, sangat jelas. Yakni, setiap rumusan yang berkenaan dengan kepentingan umum harus dibahas bersama-sama. "Artinya, jika itu menyangkut kepentingan rakyat, seharusnya partisipasi publik dipastikan ada," katanya kepada awak media.
Anam menilai partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU Ciptaker sangat minim. Masyarakat tidak mendapat ruang yang tepat dalam pembahasan aturan tersebut. "Sehingga terabaikan suara-suara (masyarakat) itu," kata dia.
Maka, tidak heran MK memutus UU tersebut inkonstitusional bersyarat. "Karena itu, apa yang harus dilakukan dua tahun ke depan (untuk merevisi UU Ciptaker) itu jantungnya pada partisipasi," sambungnya.
Menurut Anam, partisipasi publik dalam perbaikan UU Ciptaker substansial. "Gampangnya, kalau yang protes adalah yang mengajukan gugatan di MK, (mereka) itulah yang didengarkan," ujarnya.
Pemerintah, lanjut dia, tidak boleh lagi asal mengundang, lantas menyebutkan bahwa sudah ada partisipasi masyarakat dalam perbaikan UU tersebut. "Jadi, bukan partisipasi pokoknya semua orang diundang, tidak kayak begitu," tegas dia.
Kemudian, dalam perbaikan UU Ciptaker, tidak boleh ada lagi pihak-pihak yang memaksakan kehendak. "Bahwa yang namanya keadilan, kesejahteraan itu ya mendengarkan siapa yang mau menikmati keadilan dan kesejahteraan. Bukan merumuskan sendiri, terus orang lain harus menanggung," bebernya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Habib Aboebakar Alhabsyi mengatakan, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah pasca putusan MK terkait pengujian UU Cipta Kerja adalah menganulir penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Itu sejalan dengan amar putusan yang ditetapkan MK. "Salah satu amar putusan MK adalah penangguhan kebijakan strategis terkait UU Cipta Kerja," katanya.
Amar putusan MK memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta, tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU 11/ 2020 tentang Cipta Kerja.
Dia menjelaskan, UMK adalah kebijakan strategis dan berdampak luas. UMK 2022 didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan tersebut merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Selain itu, kata Aboebakar, penetapan UMK dengan PP tersebut mendapat penolakan yang masif dari buruh. Di sisi lain, legal standing penetapan UMK tersebut dianggap MK tidak konstitusional. Karena itu, pemerintah wajib patuh terhadap putusan MK agar tidak menggunakan perhitungan UMK 2022 yang merujuk PP 36/2021. "Seharusnya jika mengikuti amar putusan MK, pemerintah mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015 untuk menetapkan UMK 2022," tegas politikus PKS itu.
Di bagian lain, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengajak pelaku usaha untuk melihat putusan MK terkait UU Cipta Kerja dari sisi positif. Sebelumnya, pemerintah menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja, salah satunya akan menggenjot investasi. "Ini tidak dibatalkan, lho. Semua aturan turunan tetap berjalan. Dalam waktu dua tahun itu masih harus disempurnakan pemerintah," ujar Arjad.(syn/lum/agf/c7/fal/jpg)