Kebijakan Energi Nasional Perlu Ditinjau Ulang

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 28 Oktober 2022 - 10:28 WIB

Kebijakan Energi Nasional Perlu Ditinjau Ulang
Komisaris Utama Energi Mega Persada (EMP) Suyitno Patmosukismo saat menjadi narasumber dalam diskusi inspiratif 2nd Northern Sumatera Forum (NSF) yang dilaksanakan SKK Migas dan KKKS di Hotel Adimulia, Medan, Kamis (27/10/2022). (SKK MIGAS UNTUK RIAU POS)

MEDAN (RIAUPOS.CO) - KONDISI energi nasional saat ini "sangat tidak ideal". Oleh karena itu kebijakan energi nasional 2014 perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kondisi nasional dan global.

Demikian dikatakan Komisaris Utama Energi Mega Persada (EMP) Suyitno Patmosukismo saat menjadi narasumber dalam diskusi inspiratif 2nd Northern Sumatera Forum (NSF) yang dilaksanakan SKK Migas dan KKKS di Hotel Adimulia, Kamis (27/10).


Tidak hanya kebijakan energi nasional, lanjut Suyitno,   RUEN sebagai Rancangan Umum Energi Nasional untuk setiap 5 tahun selama 25 tahun perlu disusun kembali sesuai dengan KEN yang baru dan memuat rencana pelaksanaan kebijakan ke depan, termasuk menyusun prioritas, biaya dan sumber dana investasi serta dampaknya terhadap pengembangan sektor energi dan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. "RUEN harus ditinjau setiap 2-3 tahunan," ujar Suyitno.

Perubahan signifikan pada kondisi lingkungan usaha migas berdampak sangat besar terhadap sektor energi nasional. Demikian juga komitmen Indonesia pada ‘COP 26’ akan menambah berat tantangan yang dihadapi, dengan kebutuhan investasi yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

"Tidak melihat ada pilihan lain, kecuali dengan melakukan upaya-upaya yang lebih agresif untuk melakukan perubahan fundamental dalam menarik investasi dari luar negeri. Hal tersebut menjadi lebih mendesak lagi dengan adanya perubahan lingkungan usaha energi di dunia dimana juga masalah lindungan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim telah menjadi faktor perhitungan risiko untuk sustainability investasi di sektor energi. Investasi dari luar negeri merupakan kebutuhan mutlak," jelasnya.

Menurut Suyitno, tidak ada sektor perekonomian yang tidak memerlukan energi. Perkembangan sektor energi sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara. Sektor energi harus menjadi pendorong dan penunjang perekonomian negara karena tanpa peran ini negara kita akan terjebak dalam middle income trap dan mustahil cita-cita menjadi salah satu negara paling maju di dunia pada tahun 2045 akan bisa tercapai.

Kemandirian dan ketahanan energi terkait dengan langkah operasional yang sasarannya dapat dikuantifikasi (terukur) dan dalam alurnya sering disebut sebagai target oriented. "Bagi negara sebagai pengekspor minyak net oil exporter (neto) yang berarti dapat mencukupi keperluannya sendiri dan bahkan berlebih, sehingga sebagian diekspor untuk memperoleh hasil devisa," paparnya.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan ketahanan energi jangka panjang, strategi difokuskan pada meningkatkan ketahanan energi, seperti dengan langkah intensifikasi, diversifikasi dan konservasi. Namun, sejak Indonesia menjadi pengimpor minyak neto tahun 2004, kebijakan energi tidak berubah dan masih menerapkan tiga langkah kebijakan seperti tersebut di atas.

Langkah strategis yang umum dilakukan oleh negara pengimpor minyak neto untuk meningkatkan ketahanan energi adalah dengan membangun Strategic Petroleum Reserves (SPR). Hal ini tidak dilakukan oleh Indonesia, mungkin juga karena tidak mempunyai dana yang cukup. "Pemerintah hanya concern dengan ketahanan BBM, itupun terbatas dalam hitungan sekitar 20 hari," tegasnya.

Kondisi Migas saat ini dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014-2050: Pertama, pengembangan energi dengan mempertimbangkan keseimbangan keekonomian energi, keamanan pasokan energi, dan pelestarian lingkungan hidup. Kedua,  maksimalkan EBT dengan memperhatikan tingkat keekonomian. Ketiga, meminimalkan penggunaan minyak bumi. Keempat, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi dan EBT. Kelima, menggunakan batubara sebagai andalan energi nasional. Keenam, memanfaatkan energi nuklir skala besar sebagai pilihan terakhir untuk mengurangi emisi karbon dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.

Perpres No. 22/2017 pemerintah menetapkan RUEN yang bersifat lintas-sektor untuk mencapai sasaran KEN, memuat hasil pemodelan kebutuhan dan pasokan energi tahun 2015-2050 mencakup kebijakan, strategi, program pengembangan energi, serta kegiatan yang mengacu pada sasaran KEN secara rinci. Namun, RUEN tidak menjabarkan bagaimana mencapainya, siapa yang harus melaksanakannya, berapa biaya yang diperlukan, dan bagaimana mekanisme monitoringnya.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa sasaran dan tujuan pengelolaan energi nasional jauh dari apa yang diinginkan dalam KEN. Tanpa terobosan dan perubahan fundamental dalam pengelolaan sektor energi, sasaran Bauran Energi yang diinginkan dalam KEN sampai tahun 2025 tidak akan tercapai, demikian pula target yang lebih jauh pada tahun 2050. Faktor yang sangat perlu diperhatikan pemerintah adalah bahwa untuk merealisasikan sasaran dan tujuan KEN tersebut dibutuhkan dana investasi yang sangat besar (ribuan triliun rupiah) yang tidak mungkin dapat dipenuhi hanya dari sumber daya dalam negeri.

Dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini, lingkungan usaha energi dunia mengalami perubahan cukup drastis dengan sangat menguatnya tekanan publik dan politik di negara-negara industri maju terhadap aspek lindungan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim. Semua energi fosil (minyak bumi, gas bumi, batubara), beserta produk energi turunannya menjadi sasarannya dan energi terbarukan menjadi primadonanya. "Intinya pengurangan emisi karbon untuk mitigasi perubahan iklim maupun isu lindungan lingkungan sudah diadopsi publik di negara industri maju secara luas dan telah merubah iklim investasi global secara signifikan," terang Suyitno.

Pertimbangan rasional ekonomi, margin usaha dan iklim investasi yang kondusif saja sudah tidak cukup. Aspek lingkungan yang tercakup dalam Environmental Social Impact Governance (ESG) menjadi faktor tambahan dalam perhitungan resiko untuk keberlanjutan (sustainability) suatu investasi.

Sejalan dengan pandangan dan langkah kebijakan dunia, Pemerintah RI telah menerbitkan Undang-undang No. 16/2016, yang meratifikasi United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yaitu kesepakatan komitmen untuk mitigasi perubahan iklim, dengan komitmen (Nationally Determined Contribution atau NDC) untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen sampai tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan Kerjasama Internasional.  Pemerintah – yang waktu itu telah memiliki KEN – berkeyakinan bahwa target NDC tersebut akan dapat dicapai.

Meskipun telah dicapai kemajuan yang berarti dalam pengurangan emisi melalui program Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dan mendapat apresiasi luas dunia internasional, namun hasilnya belum maksimal dengan bertambahnya emisi dari sektor energi.  Komitmen NDC tersebut bukan saja tidak akan dapat tercapai, bahkan emisi akan bertambah apabila kondisi seperti sekarang berlanjut.

Akibat pandemi Covid-19, kondisi lingkungan usaha energi global dan nasional mengalami kontraksi yang berat dengan drastisnya penurunan konsumsi di tahun 2020, utamanya penurunan drastis semua komoditas energi primer. Harga brent crude oil yang di tahun 2019 berada di kisaran 60-70 dolar AS menjadi sekitar 25 dolar AS per barrel di April 2020, demikian pula harga gas dan batubara.

Tahun 2021 konsumsi komoditas energi berangsur pulih sejalan dengan proses pemulihan ekonomi dunia dengan mulai terkendalinya dampak dari pandemi Covid-19. Namun proses pemulihan berjalan dengan akselerasi di luar dugaan, terutama dengan meningkat tajamnya konsumsi energi di dunia. Harga komoditas energi melonjak tajam pada akhir tahun, dimana batubara mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, demikian pula untuk gas bumi/LNG dan produk BBM. Harga crude oil mencapai yang tertinggi sejak akhir tahun 2014.(esi)

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook