Desak Pemerintah Tarik Omnibus Law Cipta Kerja

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 28 Februari 2020 - 10:12 WIB

Desak Pemerintah Tarik Omnibus Law Cipta Kerja
Fadli Zon

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- RUU Cipta Kerja semakin menjadi polemik. Selain didemo para buruh, muncul desakan agar pemerintah menarik rancangan peraturan yang masuk Omnibus Law. Ada lima alasan yang mendasari tuntutan tersebut.

Desakan itu disampaikan anggota DPR RI Fadli Zon. Menurut dia, draf Omnibus Law mengandung banyak sekali cacat. Apalagi ditemukannya Pasal 170 yang menyatakan bahwa peraturan pemerintah (PP) bisa mengubah isi undang-undang. Pasal tersebut sangat jelas bertentangan dengan logika hukum dan perundang-undangan. Secara hirarkis, posisi PP adalah di bawah UU. "Sehingga seharusnya PP tunduk kepada UU, bukan justru mengubah ketentuan yang ada dalam UU," terang dia.

Baca Juga :Ketua DPRD Siak Berikan Bantuan untuk Warga Terdampak Banjir

Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, keberadaan pasal tersebut tidak boleh dianggap hanya sebuah bentuk salah ketik, atau ketidaksengajaan, melainkan harus dilihat sebagai sebuah kesalahan fatal yang telah merusak kredibilitas draf Omnibus Law yang telah diajukan Pemerintah secara keseluruhan. Kesalahan fatal tersebut menunjukkan adanya proses yang cacat, atau tendensi bermasalah dari penyusunan draf itu, sehingga harus ditarik kembali dan diperbaiki.

Mantan Wakil Ketua DPR RI itu mengatakan, ada lima alasan yang menjadi dasar agar RUU tersebut ditarik.  Pertama, Omnibus Law potensial melanggar prinsip demokrasi mengenai trias politika, karena cenderung memperkuat kewenangan Presiden hingga ke tingkat yang luar biasa besar. Bahkan, dengan adanya Pasal 170, kekuasaan presiden dalam proses penyusunan perundang-undangan jadi bersifat tunggal dan absolut, tak perlu lagi melibatkan parlemen.

Padahal, menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, dengan jelas disebutkan bahwa pembentukan undang-undang merupakan kewenangan DPR, bukan Pemerintah. "Artinya, menurut konstitusi, DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk perundang-undangan," ucap dia.

Selain itu, ada ketidaksinkronan antara persoalan yang didiagnosis oleh Omnibus Law dengan resep yang disusunnya. RUU ini dirancang sebagai solusi terhadap masalah ekonomi, pengangguran, dan investasi, namun resep-resep yang disusunnya justru bersifat kontraproduktif, bahkan cenderung destruktif bagi perekonomian.

Di satu sisi, RUU itu ingin menciptakan lapangan kerja, namun isinya justru melemahkan dan cenderung mengabaikan hak-hak kaum pekerja. Di sisi yang lain, meski bisa menciptakan kepastian hukum bagi investasi, namun isinya justru bisa menciptakan ketidakpastian stabilitas sosial-politik, mengingat luasnya penolakan atas RUU ini. "Ujungnya, saya melihat hal ini hanya akan kian menjauhkan investasi dari Indonesia, seiring meningkatnya political risk di negeri kita," papar dia.

Selanjutnya, kata dia, melalui RUU itu pemerintah telah mengabaikan perlindungan terhadap rakyatnya sendiri. Dari sisi perburuhan misalnya, Omnibus Law Cipta Kerja akan menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, menjebak kaum buruh dalam status outsourcing seumur hidup, melegalkan tenaga kerja asing tak terdidik masuk ke Indonesia, menghilangkan jaminan sosial bagi kaum buruh, serta memudahkan terjadinya PHK.

Alasan berikutnya, walaupun yang sering disebut adalah soal investasi, tapi pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.  Kemudian alasan terakhir, kata Fadli, pemerintah mematok target yang tak masuk akal bagi pembahasan RUU, yaitu hanya dalam waktu 100 hari. Menurutnya, target itu jelas bermasalah. (lum/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook