JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Keberhasilan Indonesia mengatasi peningkatan kasus baru dalam dua bulan terakhir ini, diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III-2021 akan dapat menyusul angka pertumbuhan di triwulan sebelumnya. Pada triwulan II-2021 yang lalu, perekonomian Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan tertinggi sejak krisis sub-prime mortgage yakni mencapai 7,07 persen (yoy).
Pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut juga didorong oleh permintaan yang meningkat pada sektor informasi dan komunikasi karena terjadi pergeseran perilaku masyarakat ke arah ekonomi digital, terutama di masa pandemi yang mengharuskan masyarakat membatasi kegiatannya di luar rumah. Situasi ini menjadi peluang untuk akselerasi transformasi digital di berbagai sektor ekonomi yang akan mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
"Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas ekonomi digital di Indonesia yang terus meningkat, bahkan 41,9 persen total transaksi ekonomi digital ASEAN selama 2020 berasal dari Indonesia yang mencapai 44 miliar dolar AS, dan di 2025 diproyeksikan mencapai 124 miliar dolar AS," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara The 1st International Conference on Humanities and Social Sciences (ICHSS) 2021, Selasa (26/10).
Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh President University secara virtual dengan mengambil tema The Opportunities of Crisis: International Experiences and Best Practices in the Time of Covid-19 and Beyond in Society 5.0. Teknologi digital digunakan dalam berbagai sektor ekonomi dan bisnis, seperti fintech, e-commerce, layanan kesehatan/pendidikan/transportasi online, maupun Internet of Things (IoT). Khusus untuk layanan kesehatan dan pendidikan diprediksi akan menjadi sangat besar kontribusinya dalam ekonomi digital ke depannya.
"Namun, untuk sekarang, e-commerce adalah sektor utama yang mendukung ekonomi digital di Indonesia. Sebanyak 72,73 persen dari total transaksi ekonomi digital di Indonesia berasal dari e-commerce. Pada 2020, nilai e-commerce mencapai 32 miliar dolar AS, dan diproyeksikan akan mencapai 83 miliar dolar AS di 2025," jelas Menko Airlangga.
Menurut Airlangga, Indonesia memiliki bonus demografi yang mendukung pembentukan ekosistem digital yang berkelanjutan. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Generasi Z dan Milenial berusia 8 sampai 39 tahun yang memiliki tingkat adopsi digital tinggi. Sementara, terdapat 37 persen konsumen baru ekonomi digital yang muncul selama pandemi Covid-19 dan 93 persen di antaranya akan tetap memanfaatkan produk ekonomi digital pasca pandemi Covid-19 (Google, Bain, Temasek; 2020).
Peran dari para anak muda yang termasuk Generasi Z dan Milenial dalam era digital ini antara lain sebagai talenta digital, wirausahawan digital, ataupun konsumen potensial dari produk-produk domestik. Namun, dunia wirausaha di Indonesia yang didominasi oleh pengusaha milenial (25-34 tahun) tersebut juga mencatat Rasio Wirausaha yang masih rendah yakni 3,30 persen di 2019 dan 3,47 persen di 2020 (Kemenkop UKM, 2020).
Pemerintah juga telah berupaya mengakselerasi pembentukan talenta digital dan pengembangan ekonomi digital dengan melakukan pembangunan infrastruktur seperti akses internet 5G dan data center, melakukan pelatihan melalui Program Kartu Prakerja dan Digital Leadership Academy, mengeluarkan regulasi UU Cipta Kerja dan aturan pelaksanaannya, mengembangkan ekosistem UMKM digital, serta menyediakan fasilitas pembiayaan untuk membantu perusahaan rintisan (start-up) di bidang teknologi digital.
Indonesia pun harus siap menghadapi perubahan menjadi Society 5.0, di mana sejumlah besar informasi dari sensor wilayah fisik diakumulasikan ke dalam wilayah maya (cyberspace). Dalam cyberspace, big data dianalisis oleh Artificial Intelligence (AI), dan hasilnya akan dikembalikan ke wilayah fisik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. "Kuncinya adalah tetap kita harus membangun talenta digital dan meningkatkan literasi digital kepada masyarakat umum," ujar Menko Airlangga.
Menko Airlangga menambahkan, semua pemangku kepentingan mempunyai peran penting dalam pengembangan kewirausahaan dan ekosistem digital, termasuk dari Lembaga Pendidikan Tinggi atau Universitas. "Kita menggunakan konsep pentahelix yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah, komunitas, akademisi, pengusaha, dan media. Di sini, pemerintah menjadi fasilitator juga regulator, sementara akademisi menjadi pencetus kurikulum kewirausahaan yang bagus, dan pendorong penciptaan lebih banyak lagi perusahaan start-up yang dimulai dari inovasi mahasiswa," ujarnya.(egp)