SURABAYA (RIAUPOS.CO) - Kementerian Perdagangan berkomitmen mendorong ekspor tahun ini. Tidak hanya membuka pasar baru, tapi juga meratifikasi sejumlah perjanjian perdagangan. Apalagi dua tahun terakhir, pertumbuhan ekspor tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, gejolak perekonomian global memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Pada 2017 ekspor tumbuh 16 persen. Tahun berikutnya, ekspor hanya tumbuh sekitar 6,5 persen atau di bawah target yang ditetapkan 11 persen. Tahun ini kementerian memproyeksikan pertumbuhan ekspor di angka 7,5 persen.
’’Saya akui ada defisit perdagangan hingga 8,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 119 triliun),” katanya dalam Bincang Bisnis Optimisme Perdagangan dan Ekonomi 2019 di Spazio, kemarin (26/2).
Namun, dia buru-buru menambahkan bahwa defisit itu muncul karena terjadi peningkatan impor bahan baku dan barang modal. Buntut aktivitas itu adalah meningkatnya investasi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Karena itu, dia meminta publik tidak berkecil hati.
Untuk mencapai target pertumbuhan ekspor, kementerian bakal mempercepat penandatanganan sejumlah perjanjian dagang. ’’Banyak negara yang sudah menandatangani FTA. Tanpa kesepakatan itu, kita akan kalah bersaing,” terang Enggar.
Negara-negara yang sudah meneken FTA adalah Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Selain FTA, Maret nanti kementerian menandatangani Preferential Trade Agreement (PTA) Indonesia-Mozambik. Menyusul setelahnya adalah perjanjian yang sama dengan Tunisia dan Maroko. ’’Tahun ini saya harap dari semula 13 bisa tambah 15 yang berproses,’’ lanjutnya.
Tidak hanya mendorong pengusaha untuk menggenjot ekspor, Enggar juga menyarankan para pengusaha mengisi pasar dalam negeri. Sebab, potensi pasar dalam negeri tidak kalah dengan ekspor. Khususnya untuk produk UKM. Produk-produk UKM berpotensi besar dipasarkan ke seluruh Indonesia melalui jaringan ritel modern.
’’Tadi (kemarin, red) di pameran saya melihat produk makanan frozen yang tahan hingga enam bulan. Sesegera mungkin produk-produk seperti itu bisa masuk minimarket maupun ritel modern lain,” harap Enggar.
Setelah produk-produk UKM masuk pasar modern dan bisa melakukan penetrasi di pasar domestik, UKM bisa menggarap pasar ekspor. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyatakan bahwa sebelum 2015, ritel terpuruk karena tingginya inflasi yang menyentuh angka 7-8 persen.
Namun, pada akhir tahun lalu, ritel lambat laun mencatatkan pertumbuhan meskipun belum signifikan. ’’Terlihat dari indeks kepercayaan yang meningkat menjadi 122,4 dari sebelumnya 121,6,’’ paparnya.(res/c7/hep/jpg)