Aturan Bea Masuk Lindungi UMKM

Ekonomi-Bisnis | Rabu, 25 Desember 2019 - 14:29 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pemberlakuan aturan bea masuk barang impor menjadi 3 dolar AS tak selamanya memiliki dampak negatif. Menurut peneliti INDEF Bhima Yudhistira, aturan tersebut justru lebih banyak memiliki sisi positif. Dia menilai, memang diperlukan regulasi yang lebih ketat untuk mengendalikan produk impor yang dijual via e-commerce.

’’Bahkan, kalau bisa, minimumnya 1 dolar AS sampai 2 dolar AS per barang. Karena selama ini memang harus diakui ada banjir barang impor, khususnya dari Cina, yang memanfaatkan channel e-commerce,’’ jelasnya kemarin.


Hal tersebut dapat menimbulkan kerugian. Sebab, sulit bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk bersaing dari sisi biaya produksi jika produk impor yang nominalnya kecil sekalipun tidak dikenakan bea masuk.

Namun, Bhima mengakui, juga ada dampak negatif dari aturan itu. Yakni, pertumbuhan e-commerce akan sedikit melambat, khususnya yang business to consumer (B2C). ’’Atau platform yang andalkan barang impor akan terdampak keuntungannya,’’ lanjutnya.

Peneliti senior Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Alexander Sugandi juga menilai lebih banyak sisi positif ketimbang negatif dari pemberlakuan aturan baru tersebut. Aturan itu bisa membantu menurunkan impor dan defisit neraca dagang. Sebab, selama ini barang-barang yang dibeli via e-commerce yang dikenai bea masuk hanya yang harganya 75 dolar AS  atau lebih.

’’Aturan tersebut juga menciptakan iklim bisnis yang lebih fair bagi para pedagang ritel yang menggunakan metode konvensional dalam mengimpor barang dengan membayar bea masuk sesuai aturan yang berlaku. Kebijakan itu juga bisa membantu menambah penerimaan pemerintah,’’ ujarnya.

Manajer Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah idEA Rofi Uddarojat menjelaskan, pihaknya akan mengkaji lebih dalam mengenai dampak kebijakan pemerintah yang baru terhadap industri. ’’Tapi, kami yakini usulan tersebut merupakan upaya melindungi produk lokal dan IKM (industri kecil dan menengah),’’ ucapnya.

Rofi mencatat, angka transaksi cross border e-commerce tidak besar. Kebanyakan produk yang dijual anggota idEA merupakan produk dalam negeri yang diproduksi IKM. ’’Secara umum, kurang dari 10 persen (persentase produk impor). Tapi, angka resminya di tiap perusahaan,’’ tuturnya.

Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Arif Baharudin menuturkan, pihaknya sudah mengirimkan berkas revisi kepada Kementerian Hukum dan HAM. Batasan 3 dolar AS bukan ditentukan tanpa sebab. Menurut catatan Kemenkeu, rata-rata nilai barang kiriman melalui e-commerce adalah 3,8 dolar AS per pengiriman.

Arif menjelaskan, modus itulah yang membuat Kemenkeu memutuskan menurunkannya hingga ke 3 dolar AS. Dia mengungkapkan, mayoritas negara sudah menggunakan batasan di bawah 75 dolar AS per pengiriman. Beberapa di antaranya adalah Inggris, Kanada, dan Denmark.

Tidak sedikit juga yang menerapkan kebijakan de minimis value hingga 2 dolar AS seperti Liberia, Ghana, dan Madagaskar. Bahkan, ada negara yang tanpa de minimis value atau menerapkan bea masuk ke seluruh barang kiriman. ’’Misalnya, Kosta Rika, Bangladesh, El Salvador, dan Paraguay,’’ kata Arif.(ken/dee/c22/oki/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook